Pemimpin Yang Bersinar dan Redup di Tengah Bencana Sinabung
SATUHARAPAN.COM – Letusan Gunung Sinabung (2.460 meter dari permukaan laut) di Kabupaten Karo, Sumatera Utara, berdampak luas pada kehidupan warga di wilayah sekitarnya. Namun, bencana ini juga peristiwa yang mendorong dibukanya secara gamblang seberapa tinggi kualitas kepemimpinan di sana, di tingkat lokal hingga nasional.
Sinabung meletus pertama pada 28 Agustus 2010, setelah sekitar 400 tahun gunung itu dalam keadaan ‘’tidur’’. Sebanyak 26.000 orang yang tinggal di lereng gunung itu mengungsi, karena guguran lahar panas terus turun dan menimpa desa-desa. Letusan besar berikutnya dimulai pada 15 September 2013, dan sekitar 30.000 jiwa mengungsi.
Pekan lalu, ketika satuharapan.com mengunjungi wilayah Sinabung, masih sekitar 2.000 keluarga dari desa-desa di lereng Sinabung yang belum bisa kembali ke desa mereka. Mereka sebagai ‘’pengungsi’’ dengan menyewa rumah dan bangunan, serta menghidupi diri sebagai buruh harian.
Ketika bencana ini datang, wilayah yang tenang dan subur dalam kehidupan masyarakat agraris ini berubah mendadak dalam situasi darurat yang membutuhkan respons cepat. Situasi ini menuntut manajemen dan kepemimpinan yang handal. Akibatnya sejumlah pemimpin yang lembek segera jatuh dan tenggelam, sementara yang berkualitas justru makin cemerlang.
Yang Redup di Tengah Bencana
Salah satu yang gagal menunjukkan kepemimpinan di tengah situasi darurat itu adalah Bupati Karo, Kena Ukur Surbakti. DPRD Kabupaten Karo mengusulkan agar bupati yang seharusnya menjabat hingga 2015 ini diberhentikan, alasannya antara lain karena dia dinilai tidak mampu menangani bencana Sinabung.
Kena Ukur Surbakti, diberkentikan sebagai Bupati Karo pada Februari 2014, dia dinilai gagal sebagai pemimpin. (Foto: Ist)
Meskipun sampai surat keputusan pemberhentian diberikan, dan Kena Ukur Surbakti terus menanyakan apa kesalahan yang dilakukannya, Mahkamah Agung mengesahkan pemberhentian itu pada 13 Februari 2014. Berbagai protes, kritik dan kemarahan korban Sinabung sering diberitakan media, dan dilontarkan kepada pemerintahan Kena Ukur. Lamban dan tidak berbuat banyak di tengah situasi darurat adalah kritikan yang paling banyak dilontarkan.
Sebagai bupati dia dinilai gagal dalam menangani bencana Sinabung, dan terutama dalam membantu warga yang mengungsi. Situasi sekarang di mana 2.000 keluarga lebih warga masih mengungsi, dan belum jelas bagaimana kehidupan mereka selanjutnya harus dijalani, adalah bukti kegagalan pemerintah daerah dalam menangani masalah ini.
Situasi yang lebih meprihatinkan adalah nasib warga dari tiga desa yang tidak bisa kembali, karena dinyatakan tertutup, yaitu Desa Sukameriah, Bekerah dan Simacem. Rumah hunian tetap yang dibangun pemerintah baru 103 unit dari seribu lebih yang dibutuhkan. Itupun baru 50 yang pekan lalu diserahkan dan siap huni.
Itu pun tidak memenuhi harapan. Para pengungsi justru memilih meninggalkan rumah itu, karena mereka tidak bisa bekerja untuk hidup. Alasan itu diceritakan oleh Jeda Malem Sembiring (60 tahun). ‘’Sebagai petani, kami perlu tanah untuk bisa melanjutkan hidup. Kalau di Huntap, kami hanya diam, kami bisa mati di sana,’’ kata dia. (Baca Juga: Pengungsi Sinabung Tinggalkan Huntap).
Selain, Kena Ukur yang dicopot dari jabatan bupati, sejumlah mengungsi menceritakan juga tentang beberapa pemimpin lokal yang ‘’jatuh’’ dalam situasi itu. ‘’Ada camat yang dikejar-kejar oleh warga, karena dia tidak peduli dengan kondisi para pengungsi dan mengeluarkan kata-kata yang tidak baik. Kalau tertangkap dia bisa dipukuli,’’ kata seorang warga yang sekarang mengungsi di bangunan bekas Universitas Karo.
Selain itu, menurut anggota Asigana, sukarelawan untuk bencana yang tergabung dalam Poskop GBKP, ada juga kepala desa yang dicopot dari jabatannya, karena dia memilih lari lebih dulu dari bencana dan tidak peduli dengan nasib warganya. Bahkan ada yang tinggal di hotel sementara warga hidup memprihatinkan di tenda-tenda. Dan tokoh adat tidak mampu menunjukkan eskistensinya.
Di kalangan gereja, seperti diceritakan oleh Pendeta Rosmalia Barus, yang sekarang menjabat Ketua Bidang Diakonia Sinode GBKP, ada juga pendeta yang akhirnya ‘’diberhentikan’’ oleh warga jemaat, karena gagal menunjukkan kepemimpinan ketika bencana menimpa jemaat itu. ‘’Ada satu dua pendeta yang mengalami hal itu,’’ kata dia.
Bukan hanya itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, juga tampaknya sebagai pemimpin nasional juga tidak berhasil merebut hati pengungsi Sibanung, meskipun Presiden dan anggota kabinet tampil menginap di sana di tenda yang cukup mewah. Sementara sejumlah pengungsi mengatakan bahwa SBY tidak melakukan apa-apa. Sama halnya ketika ditanya tentang kepemimpinan di tingkat provinsi.
Mereka Yang Tangguh
Di sisi lain, situasi bencana dan serba darurat itu juga menampilkan sosok pemimpin yang tangguh. Ketua Bidang Diakoni Sinode Gereja Batak Karo Protestan (GBKP), Pendeta Agustinus Purba, STh, MA, adalah salah sartunya. Dia memperoleh penghargaan “Tangguh Award 2014” untuk Tokoh Inspiratif Reksa Utama Anindha dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). (Baca Juga: Penghargaan dari BNPB untuk GBKP).
Pdt. Agustinus Purba, STh, MA, penerima penghargaan ''Tangguh Award 2014" dari BNPB. (Foto: GBKP)
Jemaat gereja itu bahkan memperlihatkan apresiasinya dengan memilihnya menjadi Ketua Umum Moderamen Sinode GBKP yang baru (2015-2020) pada awal bulan ini. Agustunus Purba adalah salah satu di balik Posko GBKP yang bekerja keras sejak Sinabung meletus pertama hingga hari ini terus berusaha membantu korban.
Yang terakhir Posko ini mengupayakan beasiswa untuk sekitar 700 mahasiswa dari keluarg korban. ‘’Tapi baru sekitar 30 persen yang sudah mendapat ‘orangtua angkat’ yang membantu menyelesaikan sekolah mereka,’’ kata Agustinus pada satuharapan.com.
Agustinus dan organisasi GBKP, serta relawan lain yang bekerja tak mengenal lelah, justru menunjukkan kualitas kepemimpinannya. Warga di wilayah yang terdampak sebagian besar (sekitar 70 persen) adalah warga GBKP, dan di antara mereka adalah para pendeta GBKP merupakan pemimpin setempat yang sangat berperan.
Menurut sejumlah pengungsi, pada letusan pertama tahun 2010, banyak warga menempati jambur, gedung pertemuan milik swasta yang biasa digunakan untuk pesta. Tetapi setelah pemerintah daerah mengingkari janji untuk memberikan ganti rugi, banyak pemilik gedung tidak memberikan izin ketika letusan kedua terjadi. Akibatnya, bangunan gereja dan masjid menjadi tempat utama menampung pengungsi.
Dalam percakapan dengan satuharapan.com. Agustinus menceritakan bahwa selama dua tahun lebih mengelola posko bencana, GBKP menempatkan para vikaris (calon pendeta) sebagai tenaga utama. Hal itu justru menjadi sarana penggemblengan kepemimpinan yang melayani bagi para calon pendeta itu. ''ini proses yang nyata dan penting,'' kata Agustinus.
‘’Saya melihat dan berharap, mereka akan menjadi pemimpin jemaat yang tangguh,’’ katanya. Sekarang para vikaris terus mendampingi para korban Sinabung, bahkan bersama warga kembali ke desa mereka dan melayani dalam membangun kembali jemaat.
Posko GBKP mengembangkan program membuat kerajinan bagi para pengungsi. Pemulihan kehidupan para korban merupakan program jangka panjang yang membutuhkan pendampingan terus-menerus. (Foto: GBKP)
Di antara vikaris itu adalah Aris Setyani Boru Ginting yang menjadi vikaris di GBKP Perbaji, Kecamatan Payung. ‘’Mudah-mudahan November mendatang saya ditahbiskan,’’ kata dia. Sejak Sinabung meletus dia terus bekerja membantu pengungsi, dan sekarang di bangunan gereja GBKP yang dia layani, masih menampung sekitar 70 keluarga. Mereka mengungsi karena adanya ancaman banjir lahar dingin ke wilayah itu.
Warga Jemaat GBKP Perbaji, tampaknya melihat Aris sebagai calon pemimpin jemaat yang sejauh ini memenuhi harapan mereka, bahkan beberapa memastikan dia akan ditahbiskan. ‘’Mungkin dilaksankan bersamaan dengan pemberkatan pernikahannya,’’ kata seorang warga. Dia akan menikah dengan tunangannya, Rizal Sitepu, relawan Asigana GBKP yang juga masih terus bekerja untuk Pokso bencana. Rupanya di tengah bencana Sinabung keduanya menemukan cinta.
Di kalangan korban Sinabung, Persiden Joko Widodo, yang setelah dilantik cepat berkunjung dengan protokoler yang lebih longgar, tampaknya merebut hati para korban, bahkan sebelum menjadi presiden. Di beberapa desa di sana Jokowi menang mutlak dalam pemilihan presiden. ‘’Di sini menang 100 persen,’’ kata warga Perbaji.
Apakah popularitas Jokowi juga akan bertahan? Di kalangan 2.000 keluarga pengungsi yang masih terkatung-katung nasibnya, mungkin mulai muncul pendapat yang berbeda tentang Jokowi. hal itu bergantung bagaimana Jokowi menunjukkan kualitas kepemimpinannya. Dan bencana selalu menjadi situasi kritis di mana pemimpin akan ditantang. Sebagian akan bersinar lebih terang, dan yang gagal akan redup dan tenggelam.
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...