Pemkab Bogor Pasung Hak Beribadah 3 Gereja di Parungpanjang
BOGOR, SATUHARAPAN.COM – Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor pada hari Kamis (9/3) yang diwakili oleh Musyawarah Pimpinan Kecamatan (Muspika) Parungpanjang Edi Mulyadi didampingi Kapolsek Parungpanjang Lusi B, Majelis Ulama Indonesia dan Kantor Urusan Agama setempat, menyampaikan kesepakatan sepihak yang memutuskan tiga gereja yaitu Katolik, Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) dan Methodis di Perumahan Griya Parung Panjang, Bogor tidak boleh digunakan untuk kegiatan apa saja termasuk beribadah.
Status Quo tersebut berlaku hingga akhir Maret 2017 dan keputusan tersebut dibuat tanpa sepengetahuan atau melibatkan ketiga gereja tersebut.
SETARA Institute menilai pemasungan hak beribadah yang dilakukan oleh Pemkab melalui Muspika dan Muspida telah mencederai kebebasan beragama dan hak warga negara Indonesia dalam menjalankan ibadahnya.
Apalagi, dalih yang dibuat untuk dasar status quo itu adalah ketiga gereja tersebut tidak memiliki izin dan diikuti oleh sikap arogan dari kelompok yang mengatasnamakan Muslim melalui takmir masjid di Griya Parungpanjang, Blok E II/1,3 dengan menolak keras rumah tinggal sebagai tempat pelaksanaan peribadatan termasuk fasilitas umum yang tidak sesuai peruntukannya.
“Dalih tidak adanya izin mendirikan geraja merupakan alasan terklasik yang digunakan oleh kelompok-kelompok intoleran melakukan pelarangan terhadap anak bangsa berbeda keyakinan untuk menjalankan agama sesuai keyakinannya. Di lain pihak pemerintah daerah selaku penanggungjawab terkait perizinan rumah ibadah sekaligus penyelesaian sengketa rumah ibadah, seringkali lembek dan kalah. Akibatnya insiden diskriminasi dan intoleransi menjadi terkesan sengaja dilakukan,” demikian pernyataan SETARA Institute yang diterima oleh satuharapan.com, hari Sabtu (11/3).
Menambah Deretan Panjang Kasus Intoleransi di Jabar
Sepuluh tahun terakhir, Provinsi Jawa Barat dan hampir semua Kabupaten/Kota di dalamnya tercatat sebagai daerah yang menduduki peringkat pertama kasus-kasus intoleran terhadap kebebasan beragama dan berkepercayaan. Hal ini sudah menjadi rahasia umum selain disebabkan sikap pemerintah daerah seringkali tunduk pada tekanan massa kelompok intoleran, tetapi juga memelihara kelompok-kelompok tersebut sebagai konstituen politiknya.
Oleh karena itu, SETARA Institute secara tegas mengecam praktik-praktik diskriminasi kolaboratif antara kelompok intoleran dan pemerintah setempat. Pertama, SETARA Institute meminta pemerintah pusat untuk segera hadir mencarikan solusi agar kelompok-kelompok yang terdiskriminasi dapat melaksanakan peribadatan baik secara individu maupun secara kelompok sebagaimana amanat konstitusi.
Kedua, menggunakan pendekatan khusus terhadap Jawa Barat sebagai daerah yang 10 (sepuluh) tahun terakhir menjadi daerah rawan praktek diskriminasi dan intoleransi sebagai darurat intoleransi karena seringkali melibatkan secara kolaboratif antara kelompok intoleran dan Pemdanya.
Ketiga, meninjau ulang atau mencabut Peraturan Bersama Menteri (PBM) 2006 tentang tanggungjawab kepala daerah dalam penyelesaian sengketa rumah ibadah, karena sering merugikan kelompok-kelompok minoritas. Antara lain; Pasal 14 [2], poin b. yang justru menjadi kendala utama kelompok-kelompok minoritas dapat mendirikan rumah ibadah meskipun sudah didasarkan pada keperluan nyata dan sungguh-sungguh berdasarkan komposisi jumlah penduduk bagi pelayanan umat beragama yang bersangkutan di wilayah kelurahan/desa.
Editor : Diah Anggraeni Retnaningrum
Albania akan Blokir TikTok Setahun
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Pemerintah Albania menyatakan akan memblokir media sosial TikTok selama s...