Pemuda Islam, Kristen, dan Yahudi Promosikan Dialog Damai
BOSSEY, SATUHARAPAN.COM – Peserta muda dalam kursus musim panas antaragama yang diselenggarakan Dewan Gereja Dunia (World Council of Churches/WCC) yang mewakili Kristen, tradisi Yahudi, dan Muslim berharap untuk membuat kontribusi yang kuat terhadap dialog di negara asal mereka. Dialog dapat memecah stereotip dan membangun masyarakat yang damai, kata mereka.
Menurut peserta Muslim—25 tahun, dan jurnalis—kunci dialog adalah pengetahuan. “Sebagai seorang yang beragama, kita perlu mempelajari lebih dalam identitas kita sendiri. Kita harus mencari pengetahuan tentang agama yang berbeda dari kita dan menemukan landasan bersama untuk membangun masyarakat yang mungkin tetap beragam tapi damai,” katanya.
Kursus WCC musim panas diadakan dari 27 Juli-13 Agustus di Institut Ekumenis WCC di Bossey, Swiss.
Melebur Prasangka
“Perbedaan di antara tradisi keagamaan mendasar. Ada keterbatasan dalam pemahaman bersama. Tetapi, melalui kasih dan persahabatan saya berharap kami bisa mencairkan prasangka keagamaan kami,” kata Yonina Cohen, 23 tahun, dari tradisi Yahudi.
Cohen, yang berasal dari Yerusalem dan mahasiswa pemikiran dan filsafat Islam dan Yahudi, berbagi pendapatnya bahwa dialog masih belum mengakar di Israel. “Meskipun ada beberapa organisasi non-pemerintah bekerja untuk mendorong dialog, kami masih tidak memiliki tradisi kuat dialog dengan umat Islam, atau orang-orang dari agama-agama lain.”
Untuk Cohen, pengalaman berbicara dengan teman sekelas Muslim dan Kristen, dan hidup dengan mereka dalam masyarakat multi-agama di Ekumenis Institute, adalah manifestasi dari dialog.
“Di sini kami berkomunikasi tatap muka. Kami tidak bergantung pada narasi media. Hanya percakapan hati ke hati dan mengatasi perbedaan-perbedaan kami, ini menjadi tanda perdamaian. Melalui berbagi dan belajar dalam kursus ini, saya merasa kita sudah mengubah dunia,” kata Cohen.
Alkitab
Melalui sesi mendiskusikan kitab suci, teks-teks agama dari Kristen, Muslim, dan tradisi Yahudi dipelajari, Tsegahun Assefa—33 tahun dari Ethiopia Evangelical Church Mekane Yesus—telah belajar, berefleksi, dan menjelaskan kesalahpahaman.
“Ketika kami membaca dan membandingkan teks dari Alquran, Alkitab, Taurat, kami menjelaskan kesalahpahaman populer yang ada tentang tradisi agama kita,” katanya. Untuk Assefa, bacaan tersebut adalah cara yang relevan untuk menghilangkan stereotip agama dan untuk menemukan kesamaan antara agama-agama yang berbeda.
Assefa mengungkapkan keprihatinan tentang pengaruh kelompok ekstremis di Ethiopia. “Walaupun kami hidup bersama sebagai sebuah komunitas, kami masih perlu dialog antarkomunitas agama yang berbeda sehingga kita dapat menantang agenda kelompok ekstremis. Baru-baru ini, orang Kristen telah mengalami penganiayaan, dan gereja telah diserang oleh kelompok-kelompok ekstremis, “katanya.
Assefa, yang bekerja dengan anak-anak dan pelayanan pemuda serta dewan antar-agama dari Ethiopia, mengatakan bahwa belajar itu akan membantu dia memperkuat inisiatif dialog di negaranya.
Kursus musim panas antaragama ini disponsori oleh Institute Ekumenis di Bossey dengan program WCC dalam dialog dan kerja sama antar-agama, Fondation pour l'entre-Connaissance (Yayasan Memahami Antaragama) dan Fondation Racines et Sources (Yayasan Akar dan Sumber). (oikoumene.org)
Ikuti berita kami di Facebook
Bebras PENABUR Challenge : Asah Kemampuan Computational Thin...
Jakarta, satuharapan.com, Dunia yang berkembang begitu cepat memiliki tantangan baru bagi generasi m...