Pendeta Pembela Petani akan Ditangguhkan Penahanannya
Keluarga dan kerabat dari Sekretaris Umum Gereja Kristen Sumatera Bagian Selatan (GKSBS) yang ditahan itu telah mengunjungi Sugianto di Polres Tulang Bawang.
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Ketua FSBKU KSN Wilayah Lampung, Joko, mengatakan Tim Advokasi yang tergabung dalam Pusat Perjuangan Rakyat Lampung (PPRL) sedang mengupayakan penangguhan penahanan Pendeta Sugianto yang ditahan di Polres Tulang Bawang, Lampung.
Menurut Joko, pada hari Selasa (18/10) status hukum Pendeta Sugianto baru dibuatkan berita acara pemeriksaan (BAP) dan sudah ada beberapa tokoh yang bersedia menjadi penjamin Pendeta Sugianto, salah satu di antaranya ada Anggota DPR RI Henry Yosodiningrat.
“Kemarin baru di BAP. Kami sedang upayakan penangguhan penahanan Pendeta Sugianto,” kata Ketua Federasi Serikat Buruh Karya Utama (FSBKU) Konfederasi Serikat Nasional (KSN) Wilayah Lampung itu kepada satuharapan.com dalam pesan singkat, hari Rabu (19/10).
“Juga sedang dimobilisasi oleh beberapa tokoh yang mau jadi penjamin. Sudah ada beberapa termasuk Henry Yosodiningrat (HY) Anggota DPR RI Dapil Lampung,” dia menambahkan.
Menurut Joko, Tim Advokasi akan melakukan rapat dengar pendapat dengan DPRD Provinsi Lampung guna mendesak penyelesaian konflik antara petani dengan PT Bangun Nusa Indah Lampung (BNIL).
“Team advokasi yang tergabung dalam Pusat Perjuangan Rakyat Lampung (PPRL) akan melakukan hearing ke DPRD propinsi dan mendesak Satuan Tugas penyelesaian konflik yang dibentuk Pemerintah Provinsi Lampung untuk segera diselesaikan,” kata dia.
“Beberapa dokumen sudah dibawa HY ke DPR termasuk menekan BPN (Badan Pertanahan Nasional) untuk tidak mengeluarkan Hak Guna Usaha (HGU) PT BNIL,” dia menambahkan.
Joko juga mengatakan, keluarga dan kerabat dari Sekretaris Umum Gereja Kristen Sumatera Bagian Selatan (GKSBS) yang ditahan itu telah mengunjungi Sugianto di Polres Tulang Bawang.
“Keluarga sudah datang mengunjungi. Kawan-kawan beliau pendeta dari GKSBS juga sudah berkunjung,” kata Joko.
Kronologis
Sebelumnya dalam siaran pers, Konfederasi Pergerakan Rakyat Indonesia (KPRI) menyesalkan penangkapan terhadap aktivis-aktivis gerakan rakyat oleh pihak kepolisian yang kembali terjadi. Menurut KPRI, penangkapan tersebut sering kali disebabkan karena para aktivis tersebut membela kepentingan rakyat dan berhadap-hadapan dengan pihak korporasi atau pemilik modal.
Ketua Dewan Pimpinan Nasional (DPN) KPRI, Chabibullah, menjelaskan, penangkapan Pendeta Sugianto tersebut terjadi di sekretariat bersama KPRI di Jakarta, pada tanggal 12 Oktober 2016 lalu, pukul 00.30 WIB.
Sekitar 15 aparat kepolisian berpakaian preman yang berasal dari Polres Tulang Bawang, Lampung menangkap Pendeta Sugianto karena diduga telah menghasut petani untuk melawan PT BNIL.
Sebelum penangkapan, pada tanggal 11 Oktober 2016 pukul 19.00 WIB, Pendeta Sugianto bersama petani lainnya datang ke sekretariat bersama KPRI untuk mendiskusikan duduk perkara kasus yang terjadi di Kabupaten Tulang Bawang, Lampung.
Namun diskusi tersebut belum terjadi karena para pengurus dan pimpinan nasional KPRI sedang menggelar rapat rutin hingga terjadinya penangkapan oleh aparat kepolisian.
"Bagi pimpinan nasional KPRI, penangkapan terhadap Pendeta Sugianto tersebut tentu saja mengejutkan karena sebelumnya tidak pernah diketahui bahwa Pendeta Sugianto sedang dalam target operasi oleh pihak kepolisian," kata Chabib.
KPRI mengecam penangkapan terhadap Pendeta Sugianto, yang selalu mendampingi Serikat Tani Korban Gusuran PT BNIL, oleh aparat kepolisian.
Menurut siaran pers KPRI, Pendeta Sugianto dijadikan tersangka karena peristiwa bentrokan, pada tanggal 1 Oktober 2016, antara massa Serikat Tani Korban Gusuran PT BNIL dengan petugas pengamanan Swakarsa, di areal pendudukan lahan oleh warga di PT BNIL Kabupaten Tulang Bawang, Lampung.
"Peristiwa penangkapan ini sendiri menunjukkan bahwa upaya kriminalisasi terhadap aktivis-aktivis gerakan rakyat masih terus berlangsung," kata Chabib.
Konflik Berkepanjangan
Perselisihan antara warga Tulang Bawang dengan PT. BNIL itu sendiri merupakan konflik yang sangat panjang, yakni dimulai pada tahun 1993. Menurut siaran pers KPRI, ketika itu lahan milik warga dirampas secara paksa PT. BNIL untuk menjadi lahan tebu.
Menurut versi KPRI, PT. BNIL bersama aparat TNI dan kepolisian saat itu memaksa warga untuk menjual lahannya kepada PT. BNIL dan hanya diberikan uang ganti rugi sebesar Rp 100.000.
Pada tahun-tahun berikutnya, warga kembali dipaksa untuk menyerahkan lahannya melalui transaksi jual beli dengan disertai ancaman, intimidasi dan kekerasan. Sejak konflik tersebut muncul di tahun 1990-an, peristiwa tersebut telah mengakibatkan meninggalnya sembilan korban jiwa.
Chabib mengatakan, untuk permasalahan tersebut, warga telah mengadukan kasusnya ke Komnas HAM terkait pelanggaran pendudukan lahan mereka oleh PT. BNIL. Dari 6.500 hektare lahan Hak Guna Usaha (HGU) PT. BNIL tersebut, masyarakat hanya memperoleh relokasi seluas 3.000an hektare.
Pada September 2016, sekitar 2000-an petani di Tulang Bawang melakukan aksi pendudukan lahan perkebunan tebu PT. BNIL untuk melakukan perlawanan. Para petani yang tergabung dalam Serikat Tani Korban Gusuran PT. BNIL tersebut mendirikan tenda-tenda di sekitar areal perkebunan. Namun pada tanggal 1 Oktober 2016 lalu, aksi pendudukan lahan oleh petani Tulang Bawang didatangi Pamswakarsa dan kemudian memprovokasi warga hingga terjadi bentrokan.
Peristiwa bentrokan tersebut mengakibatkan puluhan tenda terbakar dan belasan kendaraan roda dua hangus terbakar. Sebuah traktor juga turut terbakar beserta mobil yang diduga milik PT BNIL hancur.
"Dari peristiwa ini, POLDA Lampung kemudian mengerahkan empat kompi pasukan untuk menyerang warga yang masih menduduki lahan dan kemudian menangkap 12 orang petani serta menjadikan sejumlah aktivis yang mendampingi warga sebagai target operasi, termasuk salah satunya Pendeta Sugianto," kata Chabib.
Menurut KPRI, penangkapan terhadap Pendeta Sugianto dapat dimaknai sebagai salah satu upaya memberikan perlindungan kepada PT BNIL yang jelas-jelas memang telah melanggar peraturan di Indonesia, serta merampas hak rakyat.
"Maka dari itu, kami dari Konfederasi Pergerakan Rakyat Indonesia menyatakan sikap mengecam tindakan penangkapan terhadap Pendeta Sugianto dan bebaskan Pendeta Sugianto dari seluruh sangkaan serta tuntutan karena sesungguhnya yang dilakukan Pendeta Sugianto merupakan upaya membela hak-hak rakyat," kata pernyataan sikap KPRI yang dikeluarkan pada 13 Oktober 2016. .
KPRI juga mengecam upaya-upaya kriminalisasi terhadap seluruh aktivis gerakan rakyat di Indonesia dan berharap ada kekuatan politik alternatif dengan membentuk partai politik dari gerakan rakyat untuk mewujudkan daulat rakyat yang adil, setara dan sejahtera.
"Bangun persatuan dan solidaritas seluruh elemen rakyat untuk mewujudkan kedaulatan, kemandirian dan kesejahteraan bagi rakyat Indonesia," tulis pernyataan itu.
Editor : Eben E. Siadari
Mencegah Kebotakan di Usia 30an
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Rambut rontok, terutama di usia muda, bisa menjadi hal yang membuat frust...