Pendidikan Agama Perlu Lebih Menekankan Etika Ketimbang Doktrin
Erry: pendidikan agama terkotak-kota. Rabi David: perlu mengembangkan "ruang iri yang suci."
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM-Prof. Dr. M. Amin Abdullah, Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, mengatakan bahwa pendidikan agama harus dikembangkan dengan menekankan aklak mulia (moralitas dan etika), di atas teologi.
Keyakinan agama (dogma) tidak bisa diubah dan dikompromikan, dan tidak bisa dijadikan landasan untuk kerja sama antar umat beragama. Maka diperlukan pendidikan yang mengutamakan etika sosial ketimbang didominasi teologi. Hal ini jauh lebih berharga ketimbang klaim superioritas agama atas yang lain.
Dia mengatakan hal itu dalam Webinar yang diselenggarakan Kementarian Agama dan Institut Leimena, hari Senin (18/1) yang bertema: Membangun saling memahami antara umat Muslim, Kristen, dan Yahudi sebagai keluarga Abrahamik melalui pendidikan. Dua pembicara lainnya adalahPdt. Dr. Henriette T. Hutabarat-Lebang (Ketua Majelis Pertimbangan Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia/PGI, Anggota Badan Standar Nasional Pendidikan), dan Rabbi David Rosen, KSG, CBE (Direktur Internasional Hubungan Lintas Agama American Jewish Committee, Anggota Dewan Direktur KAICIID).
Etika Universal
Amin Abdullah yang juga Ketua Komisi Kebudayaan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia, mengatakan bahwa setiap pemahaman agama sekarang ini harus mau untuk diuji dengan etika universal.
Dikatakan bahwa agama-agama di era global ini ditandai dengan fenomena di mana orang-orang dari berbagai latar belakang agama saling bertemu. Di mana ada orang Muslim, di situ juga ada orang Krisiten, di mana ada orang Kristen, di situ juga ada orang Yahudi, ada orang Muslim. Dengan demikian dalam realita pergaulan, untuk saling menghargai, orang perlu memahami agama orang lain.
Namun dalam pendidikan agama, guru hanya memahami agamanya sendiri, dan tidak tahu agama orang lain yang ada di tengah masyarakatnya. Menurut dia, guru agama perlu untuk memahami agama orang lain, karena itu bagian dari kenyataan kepelbagaian di masyarakat.
Saling memahami itu akan membangun kerja sama untuk mengatasi, misalnya kemiskinan, dan membangun peradaban manusia agar semakin dewasa dan matang.
Amin Abdullah menegaskan bahwa buah pendidikan adalah etika, perilaku yang baik dalam kehidupan masyarakat yang majemuk. Dan hal ini tidak bisa dengan mengaajarkan doktrin. “Tidak bisa indoktrinasi dan dogmatis, yang diperlukan adalah pendidikan yang kritis dan dialogis,” katanya dan menekankan bahwa pendidikan agama perlu mengubah lebih menekankan etika daripada teologi.
Dia mengatakan bahwa pendidikan agama di Indonesia masih jauh dari harapan seperti yang disampaikan. Yang diperlukan sekarang adalah upaya untuk keluar dari “jebakan kebenaran tunggal.” Ini adalah akar kesulitan dalam berhubungan dengan orang lain.
Agama dan pendidikan agama harus berhubungan dengan multikulturalisme. Sayangnya, “kita masih di jalan yang panjang untuk itu,” katanya.
Pendidikan Agama Terkotak-kotak
Sementara itu, Henriette T. Hutabarat-Lebang, menyoroti tumbuhnya kecurigaan dan permusuhan dalam masyarakat yang dipupukoleh kepentingan politik dan menggunakan sarana media sosial, sehingga hal itu menyusup sampai ke rumah tangga.
Menurut dia kita perlu komitmen besar untuk mengganti narasi kecurigaan dan kebencian dengan narasi kasih, keadilan dan perdamaian. Oleh karena itu, pendidikan harus mengembangkan strategi untuk menanamkan benih toleransi, keadilan dan solidaritas.
Dia menilai, pendidikan agama justru dikelola secara terkotak-kotak, sementara perlu secara sengaja untuk membangun kesadaran toleransi di tengah kemajemukan di masyarakat. Dia menyarakan agar kunjungan dan silaturahmi di antara pemeluk agama, dalam pendidikan agama bisa dilakukan baik oleh guru maupun murid.
Menurut dia perlu adanya perubahan dalam pendidikan agama, di mana para murid dari berbagai agama bisa berbagi pandangan tentang isu-isu bersama, seperti korupsi dan pemanasan global, dan tidak terkurung di agamanya sendiri.
“Rasa Iri Yang Suci”
Sementara itu, Rabbi David Rosen yang berbicara dari Yerusalem mengatakan bahwa pendidikan agama didedikasikan untuk kesucian, yaitu kesadaran menanamkan nilai-nilai kemuliaan bagi manusia.
Dalam upaya membangun hubungan yang saling menghormati melalui pendidikan, katanya kita harus orang lain memahami pihak lain dan memahami diri kita sendiri. Kemudian kita melihat lebih pada hal-hal yang bernilai dan baik dari pihak lain, ketimbang menggeneralisasi atas hal-hal yang buruk. Itu merupakan kesalahan besar.
Rabi juga menyarankan untuk pendidikan agama agar terbangun salng menghormati adalah dengan menyisakan “ruang rasa iri yang suci” pada diri kita. Ini adalah dorongan untuk melihat kebaikan pihak lain, dan ingin melakukan kebaikan itu, dan ini perlu dilakukan dalam pendidikan formal maupun nonformal.
David Rosen mengatakan dalam membangun saling menghormati, perlu memahami agama lain bukan hanya keyakinannya, tetapi juga ibadahnya, tempatnya, dan praktik etika dan cara hidupnya.
Dia mencontohkan perubahan yang terjadi di Maroko. Di sana seorang imam harus belajar juga tentang Kristen dan Yahudi sebelum menjalankan tugas. Sementara di Israel, para menteri dating ke sekolah-sekolah untuk menunjukkan bahwa koeksistensi bukan hanya sesuatu yang ulai, tetapi tanggung jawab yang harus dilakukan.
Editor : Sabar Subekti
AS Laporkan Kasus Flu Burung Parah Pertama pada Manusia
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Seorang pria di Louisiana, Amerika Serikat, menderita penyakit parah perta...