Pendidikan Anak Pengungsi Nduga Terbengkalai, Pemerintah dan Gereja Harus Buka Mata
WAMENA, SATUHARAPAN.COM – Konflik bersenjata di Nduga, Papua, dalam delapan bulan terakhir membuat kegiatan belajar-mengajar anak-anak terbengkalai.
Lebih dari 700 anak kini terpaksa belajar di sekolah darurat yang dibangun para relawan. Anak-anak korban konflik ini menghadapi banyak kendala dalam mendapatkan hak pendidikan. Wartawan BBC News Indonesia di Wamena, Papua, Ayomi Amindoni, menuliskan laporannya.
Opinus, bocah laki-laki yang duduk di kelas empat sekolah dasar itu terbata-bata membaca tulisan yang disodorkan kepadanya.
Dia adalah salah satu anak pengungsi Nduga yang kini tinggal di Wamena, Kabupaten Jayawijaya. Akibat konflik, dia terpaksa terpisah dengan ibunya.
Sudah beberapa waktu lamanya, Opinus tidak belajar di sekolahnya yang terletak di Distrik Yigi.
Berbeda dengan Opinus, Dutiana yang sudah berbulan-bulan mengungsi di Wamena, sempat belajar di sekolah darurat yang dibangun untuk para pengungsi.
Bahkan, dia melaksanakan ujian akhir SD-nya di sekolah darurat tersebut.
Anak pengungsi lain, Balison, yang masih duduk di kelas tiga SD, mengaku mendapat banyak pelajaran ketika bersekolah di sekolah darurat yang terletak di halaman Gereja Weneroma.
Kondisi sekolah darurat yang rusak berat membuat anak-anak pengungsi terpaksa kembali tidak bisa mengenyam pendidikan.
Kini, para relawan sedang membangun kembali sekolah darurat yang sempat vakum selama satu bulan terakhir.
“Yang utama bagi kami adalah hak anak jangan hilang hanya karena ada konflik, ada persoalan politik,” ujar koordinator relawan pengungsi Nduga dari Yayasan Teratai Hati Papua, Ence Geong, kepada BBC News Indonesia, Kamis (1/8).
Ketua Yayasan Pengembangan Pendidikan dan Perekonomian Rakyat Papua, Aki Logoh, menyatakan harapannya agar pemerintah dan pihak gereja lebih memperhatikan nasib pendidikan anak-anak pengungsi.
“Siapkan tempat yang layak untuk anak-anak supaya mereka ada kesempatan belajar, karena semua harus belajar demi kepentingan masa depan,” ujar Aki.
“Seharusnya pemerintah buka mata, gereja juga buka mata. Kita semua kerja sama, pemerintah, masyarakat, gereja, kita semua kerja sama untuk mengangkat anak-anak ini,” ia menambahkan.
Sempat Rusak, Kini Dibangun Kembali
Bangunan semipermanen berdinding terpal dan beratap seng yang terletak di halaman Gereja Weneroma menjadi tempat bersekolah bagi sekitar 723 anak pengungsi Nduga yang kini tinggal di Wamena.
Dengan material seadanya, sekolah darurat dibangun pada 1 Februari silam, setelah pembangunan selesai sepekan sesudahnya, anak-anak pengungsi mulai bersekolah.
Awalnya, sekolah darurat menampung sekitar 320 anak sekolah dari 10 SD, empat SMP, dan satu SMA di 16 titik di Kabupaten Nduga.
Seiring berjalannya waktu, jumlah pengungsi bertambah. Jumlah terakhir anak pengungsi Nduga yang menempuh pendidikan di sekolah darurat mencapai 723 siswa.
“Jumlah itu kita tampung di sekolah darurat, apa adanya, kita punya sepuluh kelas di sekolah darurat ditambah tiga ruangan dari gedung sekolah minggu yang kita pinjam dari gereja,” Ence mengungkapkan.
Ia mengakui, kondisi sekolah darurat memang tidak layak. Bangunan sekolah itu hanya dibangun dari kayu dan beratap seng. Anak-anak yang sekolah pun terpaksa berimpitan satu sama lain.
“Anak-anak ada yang terpaksa berdiri saja atau duduk di tanah, atau kalau duduk berdempetan terlalu rapat sehingga sulit untuk menulis. Tapi itu kondisi yang bisa kami buat dan saat ini kalau kami bangun lagi, kami sedang bangun kembali, yang akan kami lakukan adalah memperluas ruang kelas,” Ence menjelaskan.
Bulan lalu, bangunan sekolah dalam kondisi rusak berat dengan kondisi terpal yang sudah compang-camping.
Ini membuat aktivitas sekolah sempat vakum, sehingga aktivitas belajar mengajar anak-anak pengungsi, tertinggal dari sekolah-sekolah lain.
Pemerintah Daerah Nduga sempat memberi opsi untuk menyekolahkan anak-anak tersebut di sekolah di Wamena, Kenyam, dan distrik-distrik lain.
Namun menurut Ence, ada kendala bagi anak-anak pengungsi. Akhirnya diputuskan sekolah darurat dibangun kembali.
“Kami mau tidak mau tetap membangun sekolah darurat, walaupun ini sudah terlambat satu bulan.”
“Kami sebenarnya merasa bersalah juga dengan adik-adik pengungsi. Tapi mau bilang apa, kami harus berkoordinasi, tidak bisa asal bangun saja,” Ence menambahkan.
Jumlah anak-anak Nduga yang mengungsi diperkirakan akan terus bertambah.
Setidaknya empat anak pengungsi baru bergabung dengan belasan anak pengungsi lain di rumah singgah yang dikelola oleh salah satu relawan, Raga Kogoya.
Raga menuturkan, anak-anak sudah tak sabar untuk bersekolah kembali.
“Saya bilang 'kamu tunggu ini kami lagi cari jalan’,” ujar Raga.
“Saya percaya minggu besok mereka akan usahakan masuk. Kami akan sampaikan bahwa tanggal lima kamu anak sekolah bisa datang, tanggal 5 (Agustus) akan operasi, itu janjinya. Sekolah sudah rusak total tapi kami berusaha,” ujar Raga.
Kendala Jika Sekolah Dipindahkan
Sebelumnya, Dirjen Perlindungan dan Jaminan Sosial Kementerian Sosial, Harry Hikmat, menuturkan pemerintah berencana untuk menyekolahkan anak-anak tersebut di sekolah terdekat.
“Pada saat bantuan-bantuan mungkin terbatas, akhirnya anak-anak tidak bisa diteruskan di sekolah darurat, sehingga dinas setempat sudah memberikan suatu kebijakan agar disekolahkan di sekolah-sekolah terdekat di sana,” kata dia.
Namun, kebijakan ini dianggap akan menimbulkan masalah baru bagi anak-anak pengungsi.
Ence Geong dari Yayasan Teratai Hati Papua yang mendampingi pengungsi sejak eskalasi konflik memanas pada Desember tahun lalu mengungkapkan anak-anak korban konflik masih trauma.
Bahkan, ketika bertemu dengan orang-orang baru, mereka selalu ketakutan.
“Apalagi orang baru yang mereka tidak kenal, yang bertemu sesekali, itu berisiko sekali, mereka tidak akan nyaman sekolah di situ.”
Bahasa, lanjut Ence, juga menjadi kendala karena kebanyakan anak-anak Nduga menggunakan bahasa daerah, yang berbeda jauh dengan bahasa daerah Wamena.
“Sehingga komunikasi tidak akan nyambung dan itu menghambat pergaulan anak-anak Nduga dan anak-anak yang ada di Wamena.”
Apalagi, kualitas pendidikan di Nduga, diakui Ence, tidak sebagus di Wamena.
Secara nasional, indeks pembangunan manusia di Nduga merupakan yang terendah.
Dari aspek pendidikan, menurut Ence, kualitas yang ada di Nduga terbilang rendah, demikian halnya dengan partisipasi siswa didik.
“Maka kalau anak-anak Nduga datang ke Wamena dan datang ke sekolah-sekolah di Wamena, itu ada perbedaan level yang akan jadi sulit untuk diimbangi oleh anak-anak Nduga,” Ence mengungkapkan.
Terpaksa Mengulang dari Awal
Pemerintah dan gereja didesak meningkatkan kerja sama menyedikana hak pendidikan bagi anak-anak pengungsi Nduga.
Ketua Yayasan Pengembangan Pendidikan dan Perekonomian Rakyat Papua, Aki Logoh, yang mengelola sekolah swasta Tiranus, saat ini sedang memproses kepindahan tujuh anak pengungsi Nduga di sekolahnya, termasuk Dutiana yang ingin melanjutkan pendidikan di sekolah menengah pertamanya di sekolah itu.
Aki Logoh menuturkan selain harus mengulang mulai dari kelas satu, mereka juga harus melengkapi surat-surat yang diperlukan, yang acap kali tidak mereka bawa ketika dalam pengungsian.
“Prioritas hanya itu saja, kartu keluarga, akta (kelahiran) karena harus masuk di data semua berdasar data kartu keluarga itu. Yang prioritas kami di sini kartu keluarga dulu. Kalau yang di SMP harus ada ijazah SD karena ijazahnya mau diubah, susah ya,” kata dia.
Jika banyak pengungsi dipindah ke sekolah-sekolah di Wamena, menurut Aki, juga menjadi kendala tersendiri karena kapasitas kelas yang terbatas.
“Karena kelas terbatas, jadi susah untuk terima banyak. Karena yang lain sudah ada duluan, jadi kita harus batasi beberapa,” kata dia.
Saat ini, jumlah siswa SD di yayasannya sudah melebihi kapasitas.
Kapasitas sekolah yang semestinya hanya diisi 120 siswa, kini diisi dengan 180 siswa yang terbagi dalam enam kelas. (bbc.com)
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...