Loading...
SAINS
Penulis: Kartika Virgianti 15:58 WIB | Sabtu, 30 Agustus 2014

Pendidikan, Investasi Dongkrak Potensi Kelautan

Direktur Pusat Kajian Pembangunan Maritim sekaligus Dosen Universitas Trilogi Jakarta, Muhammad Karim. (Foto: Kartika Virgianti)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Direktur Pusat Kajian Pembangunan Maritim sekaligus Dosen Universitas Trilogi Jakarta, Muhammad Karim, menjelaskan harus ada ahli yang betul-betul memahami soal kelautan dan perikanan untuk menduduki kursi kabinet, karena ia diharapkan membangun sumber daya manusia (SDM).

“Menurut saya untuk membangun poros maritim, kuncinya ada di SDM. Pendidikan memang investasi jangka panjang, tetapi kalau kita ingin melihat hasilnya yang cepat, pelatihan yang paling tepat,” kata Karim dalam acara peluncuran dan bedah buku Bukan Bangsa Kuli yang diselenggarakan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), di kawasan Tebet, Jakarta Selatan, Jumat (29/8).

Buku tersebut ditulis oleh Sekretaris Jenderal (Sekjen) Kiara, Abdul Halim, tentang rekaman perjalanan kampanye dan advokasi penulis menemui nelayan yang hidupnya miskin dan sulit di tengah melimpahnya hasil laut kita.

Tahun 1980-an Indonesia pernah menggagas pentingnya bimbingan massal untuk pertanian yang dilakukan penyuluh. Hal penting lainnya yaitu peningkatan infrastruktur. Sejak itu, orang Indonesia banyak yang dikirim ke Jerman dan negara lainnya di Eropa untuk belajar, dan pulang menjadi pendidik.

Untuk pendidikan jangka panjang, Karim mengatakan harus ada SMK, misalnya jurusan perikanan, supaya siswa lulusannya bisa langsung berwirausaha, tanpa merusak alam, yaitu tidak menggunakan bahan kimia berbahaya.

Sedangkan untuk pelatihan, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sudah melakukan pelatihan yang diberi nama Pusat Pelatihan Mandiri Kelautan dan Perikanan (P2MKP) yang tersebar di seluruh Indonesia. Di P2MKP, yang melatih bukan guru ataupun pelatih, tetapi warga sendiri. Upaya ini untuk peningkatan sumber daya manusia kelautan (SDMK).

Karim mengatakan di wilayah Jabodetabek ada sekitar 300-an unit usaha yang dilakukan P2MKP. Restoran hasil P2MKP misalnya Pecel Lele Lela yang berasal dari Depok, dengan ide mengolah lele menjadi berbagai macam menu makanan dengan rasa yang sama enaknya. Budidayanya menggunakan teknologi biofloc dengan memanfaatkan proses bioremediasi. Sebelumnya orang tidak mau makan lele karena menganggap diternakkan di tempat kotor dan pakannya kotoran.

Dia kemudian menjelaskan mengenai pelatihan biofloc yang pernah ia jalani. Boifloc yaitu bagaimana membudidayakan ikan tanpa bau. Ikannya tidak bau dan kolamnya juga tidak berbau, karena memanfaatkan teknologi dengan proses bioremediasi.

Teknologi bioremediasi pernah dipraktikkan di Teluk Meksiko saat kejadian kapal pengangkut minyak tumpah di laut. Teknologi bioremediasi menggunakan bakteri yang memakan minyak. Dengan demikian membersihkan minyak tumpah tidak perlu lagi menggunakan kapal besar yang menyulitkan, dan menelan biaya mahal untuk membersihkannya. Teknologi bioremediasi seperti ini kemudian digunakan dalam budidaya ikan. Negara yang pertama mempraktikkan teknologi ini adalah Israel untuk tambak udang.

Jadi dengan pelatihan biofloc untuk masyarakat diharapkan membuat tambak udang tidak perlu lagi membabat hutan bakau (mangrove). Dengan teknologi itu, tambak bisa dibuat di darat dengan menggunakan kolam, kemudian airnya bisa dialirkan dari air laut yang dicampur dengan air sungai, sehingga menjadi air payau.

Perlu Revolusi Perbankan untuk Kelautan

Sudah hampir 70 tahun industri perkapalan bangsa kita belum juga bisa membuat kapal sendiri. Kita juga sangat sulit sekali mendapatkan bahan baku untuk kapal, sebagaimana dituturkan Karim.

Pertama karena hutan kita sudah habis dibabat, kedua sulit mendapatkan material besi yang menyebabkan banyak nelayan terpaksa mengimpor mesin kapal bekas dari Singapura dan Malaysia, dengan harga Rp 150 juta, "Itu sudah didiskon 50 persen, itu pun hanya bisa dipakai selama tiga tahun."

Masalah ketiga adalah permodalan. Tidak ada perbankan di Indonesia yang mau menjadikan kapal yang harganya mencapai Rp 1,5 miliar sebagai agunan, berbeda dengan mobil merek Avanza yang harganya sekitar Rp 150 juta bisa dijadikan jaminan.

“Undang-Undang Perbankan kita juga harus direvolusi. Bukan hanya mobil, rumah, tanah, tetapi kapal juga harus bisa dijadikan agunan di bank,” Karim menegaskan.

Sangat disayangkan negara kita lebih senang membuat jurusan otomotif atau bengkel untuk SMK, padahal menurut Karim itu hanya menguntungkan Jepang, bukan bangsa kita sendiri. Sementara itu SMK kelautan sangat sedikit jumlahnya.

 

Editor : Sotyati


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home