Pendidikan Karakter dalam Film “Toleransi di Mata Pemuda”
YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM-Mahasiswa angkatan 2018 jurusan Sosiologi Universitas Widya Mataram (UWM Yogyakarta) membuat film dengan konten pendidikan karakter untuk matakuliah Sosiologi Pluralis. Selama hampir satu bulan mereka menyiapkan seluruh materi film mulai dari naskah/script, alur, narasi-tema, pengadeganan, hingga penyuntingan. Keseluruhan proses dilakukan secara sederhana mengingat mereka tidak mendapatkan materi pembuatan film dalam perkuliahannya.
Film pendek berjudul “Toleransi di Mata Pemuda” tersebut merupakan respons keprihatinan mereka melihat data masuknya Yogyakarta sebagai salah satu dari sepuluh wilayah intoleran di Indonesia. Film berdurasi 17 menit 34 detik tersebut menjadi pemantik diskusi dengan tema toleransi, pluralisme-multikultural dalam pandangan mereka yang diselanggarakan pada, Senin (13/1) di Kampus UWM Yogyakarta.
Film “Toleransi di Mata Pemuda” melibatkan mahasiswa dari lima daerah yang berbeda sebagai aktor yaitu Kalimantan, Sumatra, Maluku, Jawa, dan Nusa Tenggara Timur. Pemilihan lima daerah tersebut sebagai usaha menampilkan pandangan yang berbeda-beda dari setiap daerah, selain itu juga sebagai bentuk memberikan ruang kepada mahasiswa untuk menyampaikan pendapat-pandangannya tentang realitas pluralisme-multikultur maupun terkait praktik-praktik intoleransi yang banyak merebak di berbagai wilayah Indonesia, tidak terkecuali wilayah Yogyakarta yang terlanjur men-declare sebagai city of tolerance.
Selain untuk menyelesaikan tugas akhir, pembuatan film ini juga menjadi salah satu bentuk tanggung jawab sosial mahasiswa Sosiologi Widya Mataram untuk merespon positif sebagai kampus yang berbasis budaya sekaligus bentuk praktik nyata untuk merefleksikan teori yang telah mereka dapatkan dalam rangkaian matakuliah Sosiologi Pluralis.
Dalam sepuluh tahun terakhir praktik intoleransi di Yogyakarta meningkat diikuti dengan kekerasan dalam kehidupan beragama-keyakinan oleh pihak-pihak tertentu baik intern maupun antar agama. Dalam catatan satuharapan.com pada tahun 2012 terjadi aksi pembubaran diskusi di kantor LKiS. Dalam waktu-waktu berdekatan juga terjadi pelemparan-perusakan di sebuah masjid di Ringroad utara, ancaman bom saat jelang perayaan Natal, pembubaran paksa pada orang yang sedang berziarah di pemakaman Pakualaman, pembubaran diskusi tentang Tapol di Sleman beberapa waktu lalu hingga penyerangan rumah pemilik penerbit Galang pers, serta penyerangan rumah ibadat di Ngaglik-Sleman pada tahun 2014.
Lima tahun terakhir praktik intoleransi tersebut semakin meningkat yang menempatkan DI Yogyakarta dalam 10 besar provinsi dengan jumlah kasus kebebasan beragama/berkeyakinan (KBB) tertinggi di Indonesia. Pada tahun 2019 tercatat 37 kasus diantaranya penolakan warga terhadap pendatang non-muslim di Pleret Bantul, pencabutan IMB Gereja Pantekosta di Indonesia (GPdI) Sedayu-Bantul, dan pembubaran upacara doa keagamaan di Pajangan Bantul.
Kasus terakhir adalah memasukkan yel-yel berbau SARA dan provokatif pada pihak lain dalam tepuk Pramuka yang dilakukan seorang pembina Pramuka saat acara Kursus Mahir Lanjut (KML) bagi para pembina Pramuka se-Kwarcab Kota Yogyakarta yang selenggarakan di SDN Timuran Yogyakarta, Jumat (10/1).
Praktik-praktik intoleran di wilayah Yogyakarta menjadi ironi mengingat Yogyakarta dikenal sebagai daerah tujuan pendidikan dari pelajar-mahasiswa berbagai daerah di Indonesia dengan berbagai latar belakang sosio-kultur yang beragam. Kondisi tersebut sejak lama telah membangun Yogyakarta menjadi sebuah salad bowl bagi warna-warni dinamika di masyarakat. Praktik-praktik intoleransi telah menjadi noktah hitam bagi Yogyakarta yang selama ini dikenal menghargai keberagaman/pluralitas.
Dosen pengampu Sosiologi Pluralis pada Jurusan Sosiologi UWM Yogyakarta Puji Qomariyah kepada satuharapan.com menjelaskan bahwa Yogyakarta sebagai city of tolerance akhir-akhir ini sering diwarnai perilaku yang intolerance. Ketika warga abai dan tidak peduli, kondisi ini akan memicu konflik yang perlahan-lahan akan berujung pada perilaku kriminal kepada pihak lain. Disintegrasi akan terjadi jika tidak segera ada usaha untuk melakukan resolusi atas konflik yang ada. Konflik kecil akan menjadi melebar besar jika terakumulasi, dan tinggal menunggu bom waktu sehingga menjadi eksplosif. Bagaimanapun sampai saat ini Yogyakarta masih menjadi barometer kota toleran, Indonesia mini.
“Sosiologi Pluralis adalah matakuliah yang tidak berhenti pada pemahaman mahasiswa pada teori saja, namun bagaimana mengimplementasikan teori yang sudah dikuasai, memberi contoh baik terhadap kondisi yang sangat pluralistik dan multikultur. Kampus sebagai institusi pendidikan merupakan media yang sangat penting untuk sosialisasi pendidikan multikultural. Pemahaman mahasiswa terhadap adanya perbedaan, keberagaman sebagai sebuah keniscayaan menjadi sangat penting dengan melihat kondisi yang sangat primordialis saat ini. Pemahaman-pemahaman tersebut itu nantinya diharapkan mereka bawa dalam kehidupan di masyarakat setelah mereka menyelesaikan studinya,” jelas Puji Qomariyah kepada satuharapan.com, Selasa (14/1) sore.
Di internal jurusan Sosiologi UWM Yogyakarta, Puji Qomariyah kerap memasukkan unsur-unsur pendidikan karakter dalam materi kuliah yang diampunya. Sebuah buku karangangya tentang pendidikan karakter diterbitkan tahun 2011 atas fasilitasi dari Ditjen Dikti Kemendikbud RI dengan judul Budaya Masuk Kampus, membaca dunia anak-anak membaca dunia-dunia anak membaca. Buku tersebut merupakan salah satu best practice pendidikan karakter untuk perguruan tinggi di Indonesia.
“UWM Yogyakarta sebagai kampus berbasis budaya sudah selayaknya memberikan best practise bagaimana menghadapi pluralitas yang cenderung memicu konflik. Multi-etnis, multiras, multi-agama, multibahasa pada sisi lain merupakan modal besar untuk pengembangan kampus dengan membangun pendidikan karakter yang khas,” papar Puji.
Puji menambahkan fighting-against intolerance with the real action, sosiologi adalah kajian yang banyak belajar tentang fenomena sosial, fakta empiris yang harus disikapi dengan open minded. Sosiologi Pluralis mengajak mahasiswa untuk kritis terhadap lingkungan sosial sekitar. Mereka harus mampu memotret fenomena yang ada baik di lingkungan kampus maupun di tempat lain.
“Melalui pembuatan film itulah mahasiswa belajar membaca-bahasakan realitas, mendiskusikan, mencoba memberikan tawaran solusi-resolusi, sekaligus menyampaikan pesan kepada masyarakat dalam tindakan yang nyata,” pungkas Puji.
Tentang respons terhadap dinamika sosial-politik akhir-akhir ini yang penuh dengan intrik-intrik, politik identitas, isu SARA, praktik kekerasan untuk merebut kekuasaan, yang berujung pada timbulnya rasa curiga, kebencian-kedengkian, ketidakpercayaan, hingga hilangnya penghormatan atas sesama, beberapa waktu lalu unit kegiatan mahasiswa Teater Dokumen UWM Yogyakarta juga mementaskan karya drama-tari puisi dengan tema “Kesatuan Melahirkan Kemanunggalan” yang digelar di Pendapa Agung nDalem Mangkubumen Yogyakarta, Sabtu (12/10) tahun lalu.
Diskusi film “Toleransi di Mata Pemuda” secara substansi memberikan gambaran bahwa perbedaan adalah sebuah keniscayaan, keberagaman adalah alamiah-manusiawi yang tidak harus dihindari, namun disikapi dengan keterbukaan, awareness, konsensus, dan sikap demokratis.
Editor : Sabar Subekti
Prasasti Batu Tertua Bertuliskan Sepuluh Perintah Tuhan Terj...
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Prasasti batu tertua yang diketahui yang bertuliskan Sepuluh Perintah Tuha...