Pendidikan Keluarga yang Otoriter
Anak-anak bukan milik orangtua. Mereka mempunyai pikiran dan masa depan sendiri.
SATUHARAPAN.COM – Alexander, anak berusia 11 tahun, berlutut di depan ayah tirinya. Dengan mulut terkatup ia harus menerima tamparan sebagai hukuman. Sesudahnya ia mesti berdiri dan berterima kasih atas hukuman tersebut. Bagi ayah tirinya, sakit terencana akibat siksaan merupakan bukti kebajikan dan cinta kasih, sehingga Sang Anak berutang budi dalam urusan yang satu ini. ”Siapa yang dicintai Tuhan, ia harus menerima hukuman sebagai siksaan. Tuhan merotani setiap anak yang dicintai-Nya,” yakin Si Ayah Tiri. Dalam ranah ini orangtua ditafsir sebagai penjelmaan bahkan titisan Tuhan. Bagi Alexander tamparan demi tamparan yang dipanennya justru memudarkan kebaikan dalam dirinya dan mengobarkan api balas dendam.
Penggalan adegan di atas diangkat dari film ”Fanny dan Alexander” garapan Ingmar Bergmans (1982). Sutradara Swedia ini memaparkan suasana suatu keluarga pada awal abad ke-20. Emilie, janda dua anak dari keluarga bintang film Ekdahl menikah dengan seorang uskup Protestan, Edvard Vergerus. Bagi Fanny dan Alexander, pernikahan kembali ibunda mereka menjadi dentang berakhirnya kebahagiaan sekaligus awal kesengsaraan. Keduanya dididik uskup yang tiranis dengan keras, otoriter, asketis-puritanis, dan tanpa toleransi.
Bergmans menampilkan kekontrasan yang tajam. Suasana keluarga bintang film yang ceria dan glamour, dengan segala pelanggaran moral, namun sangat mencintai dan menikmati hidup. Keadaan ini bertolak belakang dengan kegersangan rumah dan perasaan dingin uskup yang puritan dengan dogmatisme moral dan ide kekudusannya.
Pada prinsipnya film ini merupakan lukisan biografi Bergmans dalam nada pemberontakan terhadap tempaan ayahnya, seorang pendeta Gereja Protestan Swedia. ”Karena Tuhan menghajar orang yang dikasihi-Nya, dan Ia menyesah orang yang diakui-Nya sebagai anak”—demikian falsafah hidup ayahanda Sang Sutradara mengutip Ibrani 12:6.
Falsafah konyol berbau kolonial ini pernah dan mungkin masih lumrah dalam pola pikir dan pendidikan kita di Indonesia: di keluarga, sekolah, agama, dan masyarakat. Hukuman fisik ditilik sebagai sarana pendidikan yang ampuh dan tablet mujarab untuk motivasi belajar. Kekerasan, hukuman, pukulan, bahkan siksaan diberlakukan agar anak-anak taat, tahu membedakan yang baik dan buruk, benar dan salah sekaligus demi melindungi mereka dari kesalahan yang lebih besar. Anggapan klasik nan konyol ini luluh di hadapan pandangan pedagogis dan psikologis kontemporer. Anak-anak dididik dengan penuh penghargaan, kasih sayang dan manusiawi. Ketaatan buta diganti dengan kebebasan yang bertanggung jawab dan rangsangan otonomi.
Di Jerman harkat dan martabat anak-anak sungguh berada pada posisi sentral. Bukan sebatas bahwa setiap keluarga mendapat tunjangan anak (Kindergeld) setiap bulan untuk masing-masing anak. Lebih dari itu, orangtua, guru atau siapa saja yang kedapatan memukul anak-anak—dengan alasan edukatif yang saleh sekalipun—akan didenda atau dijebloskan ke dalam penjara. Kalau peraturan ini diterapkan juga di nusantara tercinta secara jujur dan konsekuen (tanpa budaya amplop, suap, kongkalikong), mungkin akan terbentuk antrean panjang orangtua, guru, dan orang dewasa lainnya di gerbang tahanan.
Kahlil Gibran benar: ”Anak-anak bukan milik orangtua. Mereka mempunyai pikiran dan masa depan sendiri”. Kualitas etis-religius suatu masyarakat dapat juga diukur dari perlakuan terhadap anak-anak.
Editor: ymindrasmoro
Email: inspirasi@satuharapan.com
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...