Peneliti: Lahan Gambut Sangat Jarang Dipelajari
PALEMBANG, SATUHARAPAN.COM - Direktur Tropical Peat Research Laboratory Unit Malaysia, Lulie Melling, mengatakan lahan gambut terbilang sangat jarang dipelajari, jika dibandingkan jenis tanah lain sehingga banyak muncul pemahaman yang tidak berbasis pada ilmu pengetahuan.
"Dulu lahan gambut ini dianggap tidak berguna, sehingga tidak banyak peneliti yang mau mempelajarinya. Hasilnya, banyak cerita yang tidak benar soal gambut, atau dibumbui, sementara dalam ilmu pengetahuan ini membuat semakin tidak otentik. Jika pun ada, seperti cerita gajah bagi enam orang buta," kata Lulie di Palembang, Senin (21/12), dalam diskusi terbuka bertema "Restorasi Lahan Gambut" yang digelar Harian Kompas.
Namun, dengan berkembangnya ilmu pengetahuan, lahan gambut pun turut berkembang sehingga bisa digunakan untuk perkebunan sawit, dan hutan tanaman industri dalam menunjang perekonomian bangsa.
Di Malaysia, meski perkebunan sawit dibebani pajak hingga 60 persen, tetap saja memberikan keuntungan bagi pengusaha yang dapat dilihat dari lonjakan pendapatan dari 129 miliar ringgit Malaysia pada 2002-2010, menjadi 400 miliar ringgit pada 2011-2014.
Akan tetapi, riset yang ada saat ini tidaklah cukup karena karakteristik lahan gambut di belahan bumi sangat berbeda-beda, meski semua sepakat lahan gambut itu didefinisikan sebagai lahan yang basah dan berpori.
Untuk itu, terkait dengan kasus kebakaran lahan, menurutnya, peneliti Indonesia harus mengamati secara langsung dengan teliti atau tidak sebatas sebidang lahan, karena gambut ini sangat unik. Jika lahan mineral memiliki kadar air sekitar 25 persen, di lahan gambut mencapai 67 persen.
Tekstur tanah lahan gambut ini juga berbeda-beda, ada yang basah di atas dan kering di bawah, atau sebaliknya.
Artinya, lokasi yang di Indonesia seperti di Kalimantan, Sumatera, Jambi, dan lainnya bisa jadi sangat berbeda.
"Di Eropa, lahan gambutnya sudah tua, sehingga air yang mengalir di dalamnya tidak mengucur, beda dengan lahan gambut di Indonesia dan Malaysia yang masih perawan, sehingga air benar-benar mengucur. Lantas apakah dua negara ini mau memakai penelitian dari Eropa? Tentu tidak bisa, harus cek sendiri," kata dia.
Akan tetapi, berdasarkan penelitiannya, ia berkesimpulan lahan gambut harus dipadatkan dan lembab, agar baik untuk lahan pertanian (akar tumbuhan tetap tumbuh atau tidak busuk) dan mencegah risiko kebakaran (bukan membuat kanal).
Cara memadatkan lahan dilakukan dengan cara menggunakan eskavator, dan cara melembabkan lahan basah dengan metode kapiler.
"Jika pipa kecil maka air akan sangat kencang terpompa ke atas, tapi jika pipanya besar, sulit naik ke atas, malah merembes. Metode seperti ini yang dipakai di Malaysia, tepatnya di Sarawak," kata dia.
Guru besar Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya Robiyanto Hendro Susanto membenarkan bawah persoalan pengelolaan lahan gambut ini terletak pada manajemen air.
Namun, ia menyayangkan, tidak banyak yang mengetahui pola teknisnya sehingga muncul semangat untuk membuat kanal (alasan menyimpan air untuk kemarau dan mencegah kebakaran lahan) di area perkebunan yang justru membuat tanah over-drain (kekeringan).
Ia, yang meneliti lahan gambut sejak 1993 hingga sekarang, mengatakan sangat menyayangkan banyak sejumlah peneliti muncul ke media tapi tidak begitu paham mengenai karakteristik lahan gambut.
"Lahan gambut itu harus tergenang. Jika diturunkan level airnya, hanya boleh secukupnya. Ini kok malah dibuat kanal, sehingga air masuk semua ke satu saluran dengan kedalaman lima meter. Saat kemarau, lahan gambut kering itu menjadi bahan bakar," kata dia. (Ant)
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...