Peneliti LIPI Temukan 14 Kandidat Spesies Baru di Enggano
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Tim Ekspedisi Bioresources Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), yang berangkat ke Pulau Enggano, Bengkulu pada 16 April – 5 Mei 2015 lalu, berhasil mengidentifikasi kemungkinan 13 kandidat spesies baru.
“Kandidat spesies baru ini terdiri dari dua mamalia kecil jenis kelalawar, dua burung jenis burung hantu dan burung pelatuk, katak, ikan, dua jenis udang, dua capung, dan empat kupu-kupu malam. Selain itu, untuk jenis tumbuhan terdapat tumbuhan salak dan tumbuhan pakis,” kata Dr Amir Hamidy, Ketua Tim Ekspedisi yang merupakan peneliti herpetofauna (katak dan reptil), Pusat Penelitian Biologi LIPI pada diskusi publik “LIPI Ungkap Hasil Eksplorasi Bioresources di Pulau Enggano” di Media Center LIPI, Kamis (5/11).
Selain kandidat spesies baru, tim peneliti juga berhasil menemukan jenis flora dan fauna endemik yang hanya bisa ditemukan di Enggano.
“Adapun hewan endemik terdiri dari 5 spesies burung, dua ular yang salah satunya adalah ular tikus yang selama 80 tahun terakhir belum ditemukan lagi. Sementara itu, untuk flora terdapat tiga jenis tumbuhan tinggi,” kata Amir.
Hasil ekspedisi ini, mengungkap kekayaan Enggano dengan potensi hayati masif untuk dikembangkan di masa depan.
Tim mikrobiologi LIPI juga meneliti beragam mikroorganisme Enggano, mulai dari kapang (jamur yang biasanya tumbuh pada permukaan makanan yang sudah basi), khamir (jamur ber sel satu), bakteri, aktinomisetes (bakteri), arkea (satu divisi organisme hidup yang utama), hingga mikroalga (alga berukuran mikro yang biasa dijumpai di air tawar dan air laut)
Zat aktif mikroorganisme itu diteliti dan beberapa di antaranya diyakini punya manfaat obat, antibiotika dan energi.
“Enggano juga memiliki potensi kayu industri, khususnya merbau yang berkekuatan tinggi. Namun, eksploitasi berlebihan kayu itu bisa membahayakan keseimbangan ekosistem Enggano,” kata Amir.
Tidak hanya kekayaan alam, ekspedisi multidisiplin ini juga berhasil mengumpulkan data terkait sejarah, bahasa, dan adat istiadat masyarakat setempat.
“Enggano mulai tercatat pada dokumen yang ditulis pada abad ke-16 oleh Kongsi Dagang Belanda (VOC), yang telah melakukan ekspedisi ke Enggano pada tahun 1645,” kata Dr Dedi Adhury, peneliti Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan LIPI.
Dulu penduduk Enggano berjumlah 6.000-8.000 orang, lebih besar daripada jumlah warga sekarang. "Wabah penyakit dan fertilitas orang Enggano yang rendah membuat jumlah warga turun drastis," kata Dedi.
Untuk bahasa, hasil penelitian menunjukkan bahwa bahasa Enggano relatif masih kuat dipegang dan digunakan oleh orang-orang Enggano.
“Namun hal yang mengkhawatirkan di sini adalah jumlah orang Enggano sendiri yang tidak banyak sehingga penutur bahasa ini juga sedikit,” kata Dedi. Sementara itu, untuk adat istiadat, tokoh-tokoh adat dan masyarakat kebanyakan masih menggunakan adat sebagai rujukan perilaku keseharian mereka.
“Karena itu masih sering terjadi konflik-konflik antara adat, dan pemerintahan ‘modern’.
“Pihak adat masih merasa memiliki hak atas penguasaan dan pengelolaan tanah-tanah adat, termasuk hutan, areal pertanian dan pemukiman,” kata Dedi.
Ekspedisi tentang Enggano terakhir kali dilaksanakan pada tahun 1935. Oleh karena itu, menurut Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Hayati (IPH) LIPI Prof Dr Enny Sudarmonowati, pendataan dan pencacatan kekayaan hayati dan budaya di Enggano sangat penting untuk dilakukan.
“Enggano merupakan salah satu dari 92 pulau terluar Indonesia yang harus kita jaga. Penelitian di pulau ini jadi bagian dari upaya pertahanan negara,” katanya.
“Selain itu, Tingkat endemisitas flora dan fauna di Enggano amat tinggi, karena pulau kecil itu dalam sejarah geologinya tak pernah bersatu dengan daratan besar Sumatera,” kata Enny. (lipi.go.id)
Editor : Bayu Probo
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...