Peneliti UGM: Toleransi Beragama Ciri Kemajemukan Indonesia
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Peneliti Senior Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof Muhadjir Darwin mengatakan, toleransi beragama merupakan ciri khas dari kemajemukan bangsa Indonesia.
"Dengan saling memelihara budaya toleransi itu, justru merepresentasikan toleransi beragama yang indah," kata dia saat dihubungi dari Jakarta, Rabu (21/12).
Ia mengatakan, budaya toleransi seperti itu harus dipelihara oleh setiap warga Negara Indonesia, bukan justru dirusak. Sebab, hal itu juga sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945.
"Karenanya, negara berkewajiban menjaga iklim keagamaan yang inklusif nan indah ini, dan harus berani mengambil tindakan tegas terhadap siapa pun yang merusaknya," kata dia.
Terkait tindakan beberapa ormas Islam yang melakukan "sweeping" terhadap toko atau hotel yang menampilkan nuansa-nuansa perayaan Hari Raya Natal, Muhadjir mengingatkan, ormas Islam bukanlah Polri, dan bukan pula lembaga pengadilan negara.
“Namun sesungguhnya, ormas Islam adalah organisasi masyarakat, di mana aktivisnya adalah warga negara yang harus tunduk pada konstitusi negara,“ katanya.
Menurut Guru Besar Fisipol UGM itu, ormas bukanlah lembaga negara dan tidak memiliki otoritas untuk menegakkan hukum di masyarakat, apalagi membuat hukum sendiri.
"Hak mereka sebagai warga negara adalah melapor ke kepolisian atau melakukan gugatan ke lembaga hukum negara jika mereka menduga ada warga negara lain yang melanggar hukum negara. Namun jika mereka menciptakan hukum sendiri, dan melakukan tindakan hukum sesuai dengan hukumnya sendiri, itu artinya mereka telah melampaui wewenang negara," kata Muhadjir.
Ia mengatakan, tindakan seperti itu harus ditindak secara tegas oleh lembaga kepolisian, dan diproses di lembaga peradilan. Sebab jika aksi seperti itu dibiarkan, rusaklah tatanan kehidupan bernegara.
"Toko yang menjadi korban sweeping harus berani melapor ke kepolisian terhadap perbuatan melanggar hukum yang dilakukan ormas tersebut, dan kepolisian harus berani meresponsnya secara tegas dan adil," kata Muhadjir.
Selain itu, kata dia, setiap warga negara, termasuk pemilik hotel atau toko, mempunyai hak untuk menampilkan simbol agama apa pun di depan publik, seperti simbol Natal di sekitar perayaan Natal, atau simbol Islam di sekitar perayaan Idul Fitri. Itu hak asasi dari setiap warga negara yang harus dihormati dalam kehidupan bermasyarakat, dan dilindungi oleh negara.
Ia menambahkan, di suasana Natal, sebagian pemilik dari toko atau hotel yang memasang simbol-simbol Natal mungkin saja non-Kristiani. Tujuan mereka adalah untuk menghormati umat Kristiani dalam merayakan hari besarnya.
"Dan di suasana Idul Fitri, hampir semua pemilik tempat-tempat publik memajang simbol-simbol Islam. Sebagian dari mereka mungkin saja non-Muslim. Tujuan mereka juga untuk menghormati umat Islam," kata Muhadjir. (Ant)
Editor : Sotyati
Jakbar Tanam Ribuan Tanaman Hias di Srengseng
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Suku Dinas Pertamanan dan Hutan Kota Jakarta Barat menanam sebanyak 4.700...