Penembakan Bunuh 21 Orang di Pasar Sudan, PBB Desak Pasukan Independen Lindungi Warga Sipil
KHARTOUM, SATUHARAPAN.COM-Penembakan menewaskan sedikitnya 21 orang di sebuah pasar di Sudan tenggara pada hari Minggu (8/9), sehari setelah para penguasa negara itu menolak seruan para ahli PBB untuk pasukan independen guna melindungi warga sipil dari perang saudara yang menghancurkan.
Jaringan Dokter Sudan menyalahkan Pasukan Dukungan Cepat paramiliter (RSF) atas penembakan tersebut, yang terjadi di kota Sennar. Selain 21 orang yang tewas, disebutkan lebih dari 70 orang terluka dalam serangan itu.
Serangan itu merupakan yang terbaru dalam konflik berdarah yang meletus pada April tahun lalu antara tentara dan pasukan paramiliter. Konflik itu telah menewaskan puluhan ribu orang dan memicu salah satu krisis kemanusiaan terburuk di dunia.
Penembakan pasar pada hari Minggu terjadi sehari setelah Kementerian Luar Negeri Sudan menolak seruan para ahli independen PBB agar "pasukan yang independen dan tidak memihak dengan mandat untuk melindungi warga sipil" dikerahkan "tanpa penundaan".
Para ahli PBB angkat bicara pada hari Jumat (6/9), dengan mengatakan bahwa misi pencari fakta mereka telah mengungkap pelanggaran "mengerikan" oleh kedua belah pihak, "yang dapat dianggap sebagai kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan".
Namun, Kementerian Luar Negeri, yang setia kepada tentara di bawah Jenderal Abdel Fattah al-Burhan, mengesampingkan usulan mereka dalam sebuah pernyataan yang dikeluarkan Sabtu malam.
"Pemerintah Sudan menolak sepenuhnya rekomendasi misi PBB," katanya.
Mereka mengecam Dewan Hak Asasi Manusia PBB, yang membentuk misi pencari fakta tahun lalu, sebagai "badan politik dan ilegal", dan menyebut rekomendasi panel tersebut sebagai "pelanggaran mencolok terhadap mandat mereka".
Menargetkan Warga Sipil
RSF, yang dipimpin oleh Mohamed Hamdan Daglo, memerangi tentara Sudan di bawah pimpinan penguasa de facto negara itu, Burhan.
Pernyataan kementerian luar negeri hari Sabtu -- beberapa jam sebelum serangan pasar -- menuduh RSF "secara sistematis menargetkan warga sipil dan lembaga sipil".
"Perlindungan warga sipil tetap menjadi prioritas utama pemerintah Sudan," tambahnya.
Peran Dewan Hak Asasi Manusia PBB seharusnya "mendukung proses nasional, daripada berupaya memaksakan mekanisme eksternal yang berbeda", demikian argumennya.
Kementerian tersebut juga menolak seruan para ahli untuk embargo senjata.
Laporan para ahli PBB menemukan bahwa delapan juta warga sipil terpaksa mengungsi dari rumah mereka ke bagian lain negara itu, sementara dua juta orang lainnya telah mengungsi ke negara-negara tetangga.
Lebih dari 25 juta orang -- lebih dari separuh populasi negara itu -- menghadapi kekurangan pangan akut.
“Warga Sudan tengah menderita badai krisis yang dahsyat,” kata kepala Organisasi Kesehatan Dunia Tedros Adhanom Ghebreyesus saat berkunjung ke Sudan pada hari Minggu (8/9).
Ia menyebutkan “lebih dari 500 hari konflik”, pengungsian penduduk, kelaparan di beberapa daerah, bencana alam seperti banjir baru-baru ini yang disebabkan oleh jebolnya bendungan dan wabah penyakit.
“Skala keadaan darurat ini mengejutkan, begitu pula dengan tindakan yang tidak memadai untuk menghentikan konflik dan menanggapi penderitaan yang ditimbulkannya.”
Berbicara dari Port Sudan -- tempat kantor-kantor pemerintah dan Perserikatan Bangsa-bangsa telah dipindahkan karena pertempuran sengit di ibu kota Khartoum -- ia menyerukan kepada “dunia untuk bangun dan membantu Sudan keluar dari mimpi buruk yang sedang dialaminya”. (AFP)
Editor : Sabar Subekti
Penyakit Pneumonia Terus Menjadi Ancaman bagi Anak-anak
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM-Wakil Menteri Kesehatan, Dante Saksono Harbuwono, mengatakan, pneumonia ser...