Pengadilan Myanmar Vonis Wartawan Reuters 7 Tahun Penjara
SATUHARAPAN.COM – Pengadilan Myanmar hari Senin (3/9), menjatuhkan vonis tujuh tahun penjara terhadap dua wartawan Reuters, atas tuduhan memiliki dokumen-dokumen resmi secara ilegal. Putusan itu disambut kecaman dunia internasional dan akan menambah kemarahan atas pelanggaran HAM yang dilakukan militer Myanmar terhadap warga minoritas Muslim-Rohingya.
Wa Lone dan Kyaw Soe Oo sedang melaporkan tentang penumpasan brutal warga Muslim-Rohingya ketika ditangkap dan didakwa melanggar Official Secrets Act era kolonial, dengan ancaman hukuman hingga 14 tahun penjara. Keduanya tetap menyatakan tidak bersalah, dan menilai mereka telah dijebak polisi.
“Hari ini adalah hari yang menyedihkan bagi Myanmar, bagi dua wartawan Reuters – Wa Lone dan Kyaw Soe Oo, dan pers di mana pun,” kata Stephen J Adler, Pemimpin Redaksi Reuters, dalam pernyataannya. Ia mengatakan tuduhan-tuduhan itu “dirancang untuk membungkam laporan mereka dan mengintimidasi pers.”
Kasus itu, telah menarik perhatian luas dunia internasional sebagai contoh bagaimana reformasi demokrasi di Myanmar terhenti di bawah pemerintahan sipil pemenang anugerah Nobel Perdamaian, Aung San Suu Kyi, yang mengambil alih kekuasaan pada tahun 2016. Meskipun militer, yang telah memerintah di negara itu selama setengah abad, telah menguasai kendali di beberapa kementerian penting, kebangkitan Suu Kyi ke tampuk pemerintahan sebenarnya telah memunculkan harapan terjadinya percepatan transisi menuju demokrasi penuh. Tetapi sikapnya terhadap krisis Rohingya mengecewakan banyak mantan pengagumnya.
“Ini tidak adil,” kata Wa Lone kepada kerumunan massa. “Saya ingin mengatakan bahwa mereka jelas mengancam demokrasi kita, dan menghancurkan kebebasan pers di negara kita,” katanya.
Wa Lone, yang berusia 32 tahun, dan Kyaw Soe Oo, yang berusia 28 tahun, keduanya memberikan kesaksian bahwa mereka mendapat perlakuan kasar dalam interogasi yang dilakukan setelah keduanya ditangkap Desember lalu. Beberapa permohonan untuk membebaskan keduanya dengan uang jaminan telah ditolak. Istri Wa Lone, Pan Ei Mon, melahirkan anak kedua pasangan itu pada 10 Agustus itu, tetapi Wa Lone masih belum dapat melihat putrinya.
Kedua wartawan sebelumnya melaporkan tentang penumpasan brutal warga Muslim-Rohingya oleh pasukan keamanan Myanmar di Negara Bagian Rakhine. Sekitar 700.000 warga Muslim-Rohingya melarikan diri ke Bangladesh untuk menghindari aksi kekerasan.
Tim penyidik yang bekerja bagi badan HAM PBB pekan lalu mengatakan, pejabat-pejabat militer senior Myanmar seharusnya dikenai tuduhan melakukan genosida. Tuduhan itu ditolak Pemerintah Myanmar, tetapi ini merupakan rekomendasi resmi paling serius yang disampaikan hingga sejauh ini.
Facebook minggu lalu, juga melarang panglima militer dan 19 individu serta organisasi Myanmar lain dari media sosial itu, untuk mencegah mereka menyebarluaskan kebencian dan minsinformasi terkait krisis Muslim-Rohingya. (Voaindonesia.com)
Editor : Sotyati
Uskup Suharyo: Semua Agama Ajarkan Kemanusiaan
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Uskup Agung Jakarta Kardinal Ignatius Suharyo Hardjoatmodjo mengatakan ap...