Pengamat: Mengapa Warga Sulit Dicegah Berkumpul di Ruang Sosial
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Karakter permisif terhadap aturan ditambah kuatnya tarikan tradisi jelang perayaan lebaran, dinilai menjadi pemicu meningkatnya kerumunan warga di Jakarta. Namun, peraturan pemerintah yang ambivalen dinilai turut andil.
Hingga berita ini diturunkan, #TerserahIndonesia di laman twitter masih bertengger di posisi trending di Indonesia. Tagar tersebut disandingkan oleh penggunanya dengan komentar yang menunjukkan rasa kecewa, frustrasi, dan kekesalan terhadap perilaku sekelompok yang dinilai tidak acuh terhadap aturan PSBB. Tak sedikit pula yang menyandingkan tagar tersebut dengan sejumlah kritik untuk pemerintah yang dinilai ‘kurang maksimal' dalam mengendalikan pandemi COVID-19 di Tanah Air.
"Indonesia sekarang tengah melawan dua pandemi, yaitu COVID-19 dan kebodohan. #TerserahIndonesia,” tulis salah satu pengguna.
Kekesalan yang diperlihatkan oleh pengguna Twitter ini tentu muncul bukan tanpa alasan. Baru-baru ini khususnya di Ibukota, muncul beberapa kejadian yang secara tidak langsung mengonfirmasi bahwa ada kelompok masyarakat yang tidak peduli akan penerapan social distancing. Padahal, sudah jelas pedoman aturan PSBB yang dikeluarkan oleh Pemerintah Proivinsi DKI Jakarta menyebutkan bahwa kerumunan lebih dari 5 orang di tengah pemberlakukan PSBB tidak diperbolehkan.
Sebut saja, foto penumpukan calon penumpang di Terminal 2 Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten, pada Kamis (14/5) pagi, atau momen penutupan sebuah gerai makanan cepat saji di Kawasan Sarinah Thamrin pada Minggu (10/5). Masyarakat berkerumun tanpa menghiraukan jarak satu sama lain.
Tarikan Tradisi Lebaran Begitu Kuat
Menurut Devie Rahmawati, pengamat sosial dari Universitas Indonesia, kemunculan tagar seperti #TerserahIndonesia dinilai wajar. Baginya, ini adalah bentuk ekspresi kebingungan pengguna yang berharap melalui cara-cara persuasif semacam itu, dapat menyadarkan kelompok warga yang tidak peduli dengan aturan PSBB. "Tapi problemnya tidak sesederhana itu,” katanya saat dihubungi DW, Senin (18/5).
Setidaknya ada empat faktor yang menurut Devie bisa menjelaskan mengapa warga belakangan sulit dicegah berada di ruang-ruang sosial. Pertama, munculnya kejenuhan warga yang sudah terlalu lama menjalankan social distancing. "Mereka sudah terlalu lelah, selama dua bulan ini dan kemudian merasa bahwa semua baik-baik saja sehingga merasa percaya diri untuk bisa kembali ke ruang-ruang sosial”.
Kedua, masyarakat tidak memiliki pengalaman melihat langsung dampak kesehatan yang diakibatkan oleh COVID-19. "Beda sama demam berdarah, orang lebih ngeri karena sudah pernah anaknya meninggal, sepupunya meninggal, tetangganya meninggal, itu kita lebih sering melihat, jadi ancaman itu menjadi sesuatu yang serius,” kata Devie. ”Seeing is believing, ketika mereka tidak melihat mereka merasa oh ini kayaknya baik-baik saja,” katanya.
Selanjutnya, karakter masyarakat Indonesia yang menurutnya "sangat permisif terhadap aturan”. Dalam kondisi normal pun, masyarakat Indonesia ia sebut kerap melanggar aturan. Seperti misalnya, mengenderai motor tidak menggunakan helm, atau sesederhana membuang sampah sembarangan. Karakter ini begitu kuat sehingga akan "kelihatan muncul di masa-masa darurat sekalipun”.
Faktor terakhir adalah tarikan tradisi. Menurutnya, peningkatan kerumuman orang belakangan ini terjadi jelang perayaan Idul Fitri. Ritual dengan membeli pakaian baru, atau membeli makanan-makanan lebaran untuk disuguhkan saat lebaran menurutnya membuat warga rela berkompromi terhadap aturan. "Gravitasi tradisi tadi begitu kuat. Tapi orang lupa bahwa sekarang ini bukan masa normal,” katanya.
Gandeng Pimpinan di Lingkup Terkecil
Devie mengatakan sosialisasi terkait aturan PSBB perlu digalakkan kembali, namun dengan menggandeng pemimpin di lingkungan terkecil seperti RT/ RW.
"Sosialisasi harus terus disampaikan bahwa bapak ibu tidak boleh ada silaturahim, tidak akan ada salat ramai-ramai berjamaah, jadi tidak perlu baju baru, tidak perlu menyiapkan makanan lebaran,” katanya.
Pakar epidemiologi dari Universitas Indonesia, Pandu Riono juga melontarkan hal senada. Menurutnya, dengan pembatasan sosial berbasis komunitas, masyarakat cenderung lebih bisa untuk saling mengingatkan, sehingga pencegahan virus di "tingkat paling kecil yaitu RT/RW bisa dilakukan”.
"Sebaiknya kita mobilisasi serahkan kepada masyarakat,” kata Pandu saat diwawancara DW, Jumat (15/05). "Masyarakat yang harus sadar betul dalam melakukan pambatasan sosial berbasis masyarakat atau komunitas. Jadi tidak usah pakai izin-izin lagi ke Kemenkes. Masyarakat sendiri yang harus melindungi dirinya sendiri karena tidak ada lagi yang bisa melindungi kita kalau bukan kita sendiri,” katanya.
Pada sisi lain, Devie menyebutkan peraturan pemerintah yang ambivalen juga sebenarnya turut andil memberikan peluang bagi masyarakat untuk berkompromi terhadap aturan social distancing, apalagi di tengah kuatnya tarikan tradisi lebaran yang sebelumnya sudah dijelaskan.
"Jadi bukan hanya mudiknya yang dilarang, tapi tranportasinya tidak boleh ada. Jadi jangan mengeluarkan peraturan-peraturan yang paradoks,” kata Devie. (dw.com)
Awas Uang Palsu, Begini Cek Keasliannya
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Peredaran uang palsu masih marak menjadi masalah yang cukup meresahkan da...