Pengamat: Pemilu Sistem Distrik Minimalisir Politik Uang
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Pengamat politik dari Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi mengusulkan agar pelaksanaan Pemilu Legislatif 2019 menggunakan sistem distrik untuk meminimalisir praktik politik uang. Politikus PKS juga menyoal sistem proporsional terbuka yang saat ini berlaku.
“Dengan sistem distrik yang dibagi menjadi 560 distrik di seluruh Indonesia sesuai dengan jumlah kursi DPR RI, maka di setiap distrik hanya terpilih satu orang caleg,” kata Burhanuddin Muhtadi pada diskusi “Dialog Pilar Negara: Refleksi dan Evaluasi Pemilu Legislatif 2014” di Gedung MPR/DPR/DPD RI, Jakarta, Senin (5/5).
Pembicara lainnya pada diskusi tersebut adalah, Wakil Ketua MPR RI Lukman Hakim Saifuddin dan aktivis lembaga swadaya masyarakat Perludem, Titi Anggraini.
Menurut Burhanuddin, sistem pemilu proporsional terbuka saat ini sangat rawan praktik politik uang karena berbasis pada caleg dan bukan berbasis pada partai politik yang merupakan peserta pemilu.
“Dengan berbasis pada caleg, maka tidak dapat dihindari terjadi persaingan ketat antara sesama caleg suatu partai politik di daerah pemilihan yang sama. Persaingan ketat di antara caleg itu, kata dia, hingga terjadi praktik politik uang secara massif,” katanya.
Burhan juga mengusulkan opsi lainnya, yakni agar pada Pemilu Legislatif 2019 menggunakan sistem proporsional tersebut yakni berbasis pada partai politik.
Dengan sistem proporsional tersebut, kata dia, maka partai politik yang melakukan kampanye dan pemilih pun hanya memilih partai politik, bukan memilih caleg secara langsung.
“Dengan sistem proporsional tertutup ini, para caleg hanya mendukung partai politiknya berkampanye, tidak perlu melakukan kampanye sendiri-sendiri,” katanya.
Namun, sistem proporsional tertutup ini, menurut dia, tidak menjamin bebas dari praktik politik uang, karena para caleg akan berebut untuk berada di nomor urut pertama.
Sementara itu, Wakil Ketua MPR RI Lukman Hakim Saifuddin mengatakan, jika ada usulan perubahan sistem pemilu maka dia akan mengusulkan agar dikembalikan pada UUD 1945.
Dalam UUD 1945, menurut dia, pemilu merupakan proses pemilihan untuk mencari figur pemimpin yang dilakukan secara demokratis.
Lukman menambahkan, pada proses pembahasan RUU Pemilu di DPR RI tahun 2011, terjadi perdebatan soal usulan sistem proporsional terbuka dan proporsional tertutup.
Menurut dia, di antara dua sistem itu ada sisi positif dan negatifnya, sehingga harus dicermati mana yang sisi negatifnya lebih rendah.
Politikus PKS: Kaji Ulang Sistem Proporsional Terbuka
Politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Almuzzammil Yusuf menilai penerapan sistem proporsional terbuka dalam Pemilihan Umum Legislatif 9 April 2014 telah merusak kualitas pemilu sehingga perlu dikaji ulang.
“Politik uang, kecurangan, dan konflik antarcalon anggota legislatif dalam internal partai dan antarpartai pada Pemilu 9 April 2014 lalu merupakan buah dari sistem proporsional terbuka yang dipaksakan oleh partai-partai besar,” kata Muzzammil yang juga Wakil Ketua Komisi III DPR RI, dalam siaran pers di Jakarta, Minggu (4/5).
Menurut Almuzzammil Yusuf, ketika itu alasan parpol besar adalah persaingan bebas dan mengakomodasi banyak tokoh agar terlibat dalam politik di parlemen.
Namun, katanya, dalam pelaksanaannya ternyata sistem itu telah mengakibatkan persaingan yang tidak sehat dalam Pemilu 2014.
“Saya melihat masyarakat, penyelenggara pemilu, dan caleg belum siap dengan proporsional terbuka. Terbukti politik uang dan kecurangan merajalela di internal partai, di penyelenggara pemilu, dan masyarakat,” katanya.
Untuk itu, Muzzammil mengajak pimpinan partai politik mengkaji ulang sistem proporsional terbuka yang digunakan dalam Pemilu 2014.
Ia menambahkan, ide PKS ketika pembahasan masalah itu di DPR pada tahun 2012 adalah pemilu murah, mudah, minim manipulasi dan mengutamakan kader partai dengan menggunakan sistem proporsional tertutup.
Namun, katanya, sistem ini hanya didukung Fraksi PKS, Fraksi PDIP, dan Fraksi PKB. Dalam voting yang dilakukan, fraksi lainnya di DPR yang mendukung sistem proporsional terbuka menang.
“Jika sistem proporsional terbuka ini dipertahankan untuk Pemilu 2019, kejadian yang sama akan terulang,” ujarnya.
Keunggulan sistem proporsional tertutup, kata Muzzammil, di antaranya lebih menjamin penguatan organisasi partai politik, adanya pendidikan politik masyarakat dalam kampanye, seleksi kandidat berbasis kualitas dan kapasitas (bobot, bibit dan bebet) kader.
“Sistem ini mendorong proses kaderisasi yang sehat dan mengantarkan kader-kader terbaik partai untuk memberikan pengabdian terbaiknya kepada bangsa dan negara melalui lembaga-lembaga legislatif di pusat dan di daerah,” tuturnya.
Melalui sistem ini pula, kata Muzzammil, memungkinkan biaya pemilu yang lebih murah dan pelaksanaan pemilu yang lebih mudah melalui e-voting seperti di India dan Brazil.
“Pemilu bisa dengan teknologi canggih yang portable, cepat, murah, dan lebih tepercaya,” katanya.
Untuk itu, Muzzammil berharap Pemilu 2019 nanti, Indonesia sudah dapat menggunakan e-voting.
Menurut dia, kualitas, kekuatan, dan akurasi alat e-voting di kedua negara itu seperti “black box” pesawat terbang yang terkunci, kuat, portable, dan bisa pakai accu mobil untuk daerah yang tidak ada aliran listrik.
“Yang tak kalah penting, e-voting tidak menggunakan surat suara, sehingga dapat menghemat jutaan ton kertas,” ujarnya. (Ant)
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...