Pengamat: Permintaan Maaf untuk Korban 1965-1966 Perlu
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Pengamat politik yang juga peneliti senior dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Syamsuddin Haris, mengatakan Pemerintah Indonesia perlu untuk meminta maaf kepada korban pelanggaran HAM pada tahun 1965-1966, pascagerakan 30 September 1965 (G30S).
"Sudah saatnya negara minta maaf kepada korban pelanggaran HAM dalam kurun waktu 1965-1966. Itu sebagai bentuk pertanggungjawaban negara atas pembunuhan dan penahanan tanpa proses peradilan terhadap puluhan ribu orang yang tidak berdosa," ujar Syamsuddin dalam perbincangan dengan Antara di Jakarta, Jumat (21/8).
Menurut Syamsuddin, sudah saatnya negara mengakui telah membuat kesalahan atas pelanggaran HAM atas mereka dituduh terlibat atau pendukung Gerakan 30 September tahun 1965 (G30S), yang ditandai dengan terbunuhnya tujuh perwira tinggi TNI di Jakarta.
Ia juga menganggap wajar jika ada pihak yang tidak setuju atas kebijakan permintaan maaf kepada para korban.
Selain permintaan maaf, Syamsuddin juga meminta negara melakukam rekonsiliasi demi terciptanya suasana negara yang kondusif, tanpa perasaan saling curiga. "Bangsa kita ini masih saling curiga satu sama lain. Oleh karena itu butuh suasana saling memaafkan," tuturnya.
Sebab, ia melanjutkan, konstitusi Indonesia pada dasarnya menjamin hak-hak warga negara tanpa memandang ideologi, latar belakang politik, agama dan etnis.
Polemik penyelesaian masalah pelanggaran HAM di Indonesia memang bergulir hangat akhir-akhir ini. Sebelumnya, Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu menyatakan menolak pilihan permintaan maaf dari negara kepada korban pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi dalam kurun waktu 1965-1966, setelah adanya gerakan 30 September 1965 (G30S).
"Pakai logika saja, yang memberontak (saat G30S) itu siapa? Masa mereka yang berontak, negara yang harus meminta maaf?" ujar Ryamizard, yang meyakini bahwa yang melakukan pemberontakan saat G30S adalah Partai Komunis Indonesia.
Pemerintah saat ini sedang menggodok kebijakan untuk menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran HAM di Indonesia yang terjadi di masa lalu, termasuk pelanggaran HAM tahun 1965-1966 yang menimpa orang-orang yang terkait ataupun terduga anggota Partai Komunis Indonesia. Salah satu cara yang dipertimbangkan adalah rekonsiliasi.
Hal ini sempat diungkapkan oleh Kapolri Pol Jenderal Badrodin Haiti, namun menurutnya kebijakan itu perlu sosialisasi mendalam. "Tentu itu suatu niat yang baik, tapi proses itu harus disosialisasikan ke seluruh jajaran dan masyarakat, jangan sampai salah interpretasi, apa yang dimaksud rekonsiliasi dan bagaimana konsepnya, tentu semuanya harus memahami," kata Badrodin.
Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla sendiri memiliki komitmen untuk menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM yang pernah terjadi di Indonesia.
Hal tersebut terdapat dalam visi misi dan program aksi berjudul “Jalan Perubahan untuk Indonesia yang Berdaulat, Mandiri dan Berkepribadian”, yang berisi penjabaran dari Nawacita.
Dalam naskah tersebut tertulis, "Kami berkomitmen menyelesaikan secara berkeadilan terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu yang sampai dengan saat ini masih menjadi beban sosial politik bagi bangsa Indonesia, seperti Kerusuhan Mei, Trisakti-Semanggi 1 dan 2, Penghilangan Paksa, Talang Sari-Lampung, Tanjung Priok, Tragedi 1965".
Komnas HAM sendiri sejak tahun 2008 telah melakukan penyelidikan tentang kejadian tahun 1965-1966 pascaperistiwa Gerakan 30 September yang menyebabkan jatuhnya korban jiwa warga Indonesia yang terkait maupun terduga anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) dan afiliasinya, sementara sejumlah orang lainnya diasingkan dan dipenjara.
Pada tahun 2012, Komnas HAM menyimpulkan bahwa kejadian tahun 1965-1966 termasuk pelanggaran HAM berat menurut Undang-Undang (UU) No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Pasal 9 UU tersebut dinyatakan ada 10 perbuatan yang dikategorikan kejahatan kemanusiaan, yaitu pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa, perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain, penyiksaan, perkosaan, penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu, penghilangan orang secara paksa, atau kejahatan apartheid.
Komnas HAM menyatakan sembilan dari 10 perbuatan tersebut ditemukan dalam kasus 1965-1966. (Ant)
Editor : Sotyati
Tentara Suriah Menyerah, Tinggalkan Rezim Assad sebagai Imba...
DAMASKUS, SATUHARAPAN.COM-Ratusan mantan tentara Suriah pada hari Sabtu (21/12) melapor kepada pengu...