Pengelola Hutan Adat Jambi Terima SK Presiden
JAMBI, SATUHARAPAN.COM – Pengelola hutan adat di tiga kabupaten di Jambi akan menerima SK penetapan kawasan hutan dari Presiden RI, Joko Widodo, pada Kamis (20/9), kata Wakil Direktur Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warung Informasi Konservasi (Warsi) Adi Junedi.
"Warsi mengapresiasi langkah pemerintah dalam proses penetapan hutan adat. Penyerahan SK Hutan Adat oleh presiden merupakan bentuk komitmen serius pemerintah terhadap pengelolaan hutan yang dilakukan oleh masyarakat adat," katanya di Jambi, Rabu (19/9).
Para pengelola hutan adat di Jambi itu berasal dari hutan adat di Kabupaten Sarolangun, Bungo, dan Kerinci.
Seperti di Kabupaten Sarolangun, SK untuk pengelolaan hutan adat akan diberikan untuk Hutan Adat Desa Meribung seluas 617 hektare, Hutan Adat Penghulu Lareh Desa Temalang seluas 240 hektare, Hutan Adat Rio Peniti Lubuk Bedorong seluas 240 hektare, Hutan Adat Imbo Pseko Desa Napal Melintang seluas 83 hektare, dan Hutan Adat Datuk Mantari Sakti Desa Mersip seluas 78 hektare.
Para pengelola hutan adat di Jambi akan bergabung dengan pengelola hutan adat lainnya dari Kalimantan Barat, Jawa Barat, dan Sulawesi Selatan. Total ada 6.032,50 hektare kawasan hutan adat yang ditetapkan oleh Kementerian LHK RI dari 16 kelompok pengelola.
Hanya saja, menurut Adi, penetapan hutan adat untuk dikelola masyarakat ini harusnya bisa jadi lebih dipercepat lagi, sehingga bisa berperan dalam reformasi agraria dan perhutanan sosial, sekaligus menyelesaikan berbagai persoalan pengelolaan kawasan.
"Hanya saja sejak tahun 2016 lalu penetapan hutan adat mayoritas masih berada di areal penggunaan lain, artinya memang kawasan yang kewenangan pengelolaannya ada di masyarakat, bukan dalam kawasan hutan. Sehingga penetapan hutan adat ini masih belum optimal menjadi instrumen resolusi konflik pengelolaan hutan," kata Adi.
Selain itu, dalam pengamatan Warsi, masyarakat sudah sangat fokus dalam mengelola hutannya. Harusnya jika mengacu pada Permen LHK No 32 Tahun 2015 tentang Hak Hutan, pemerintah berkewajiban melakukan pembinaan termasuk memberikan kompensasi kepada masyarakat yang mengelola kawasannya dengan tujuan konservasi.
"Yang berjalan selama ini, proses pembinaan pada level pascapenetapan hutan adat juga belum terlalu kuat," katanya.
Untuk semua kawasan hutan adat dan "rimbo" larangan yang ditetapkan di Sarolangun khususnya Bukit Bulan semuanya berfungsi konservasi oleh masyarakat setempat yang digunakan sebagai perlindungan hulu sungai dan perlindungan ekosistem.
"Semoga dengan bertemu langsung dengan presiden, upaya warga yang memelihara dan melindungi hutannya mendapat apresiasi lebih baik, sehingga manfaat pengelolaan hutan juga bisa dirasakan dan meningkatkan kesejahteraan warga," katanya.
Ketua Lembaga Pengelola Sumber Daya Alam Hutan Desa Meribung Sarolangun, Abdul Hamid, mengatakan hutan adat yang dikukuhkan menteri merupakan warisan dari zaman nenek moyang yang memang dilindungi penggunaannya.
"Dulunya rimbo (rimba) larangan, yang benar-benar kami lindungi, kegunaannya karena ada sumber mata air yang ada di dalam rimbo larangan tersebut itu," kata Hamid.
Dijelaskannya selama ini masyarakat sudah bersepakat untuk melindungi kawasan hutan tersebut yang sejak 2010 telah di SK-kan oleh Bupati Sarolangun dan kini diperkuat dengan SK Menteri LHK.
“Bagi kami di SK-kan menteri ini, memperkuat kami untuk melindungi kawasan ini, karena memang itu hutan yang terlarang untuk dibuka, kami warga masyarakat memang bersepakat untuk melindungi namun dari daerah lain masih ada saja yang mencoba untuk memasuki dan melakukan kegiatan yang merugikan hutan kami," kata Abdul Hamid.
Sementara itu Ketua Lembaga Pengelola Sumber Daya Hutan yang membawahi Hutan Adat Desa Lubuk Bedorong Sarolangun, Zawawi, mengatakan adanya alat berat yang mencoba masuk ke dalam kawasan dan menambang emas dalam kawasan hutan desa yang letaknya bersebelahan dengan hutan adatnya.
Zawawi menambahkan, masyarakat mempunyai aturan yang sangat tegas untuk mengelola hutannya.
Hutan desa hanya dimanfaatkan untuk mengambil bambu, rotan, dan hasil hutan bukan kayu lain yang memang banyak di hutan desa.
Sedangkan di hutan adat, boleh dimanfaatkan untuk pengambil kayu jika diperlukan untuk membangun rumah warga masyarakat, itupun setelah ada keputusan adat yang diambil secara bersama-sama.
Sementara itu Kodri, Ketua Pengelola Sumber Daya Hutan Napal Melintang Sarolangun menyebutkan hutan adat dan hutan desa yang dikelola masyarakat desa ini, memang sejak dulunya dimanfaatkan airnya untuk irigasi dan juga untuk pembangkit listrik tenaga mikro hidro.
Desa paling ujung di Kabupaten Sarolangun yang berbatasan dengan Sumatera Selatan itu, hingga kini memang masih belum mendapat aliran listrik negara. "Kami memanfaatkan sumber daya yang ada untuk penerangan," kata Kodri.
Kodri juga mengatakan, masing-masing kelompok pengelola hutan adat memang sudah bersepakat untuk mengelola kawasan dengan aturan adat yang disepakati oleh semua warga, dan juga akan ada denda yang dikenakan bila ada pelanggaran terhadap ketentuan adat.
“Boleh mengambil kayu hanya maksimal lima kubik dalam setahun, dan itupun hanya untuk pembangunan rumah warga dan fasilitas desa, tidak untuk diperjualbelikan. Kami bersyukur dengan SK yang akan diserahkan presiden, maka semangat kami untuk menjaga hutan adat kami bertambah," kata Kodri. (Antaranews.com)
Editor : Sotyati
Bebras PENABUR Challenge : Asah Kemampuan Computational Thin...
Jakarta, satuharapan.com, Dunia yang berkembang begitu cepat memiliki tantangan baru bagi generasi m...