Pengembangan Energi Panas Bumi Berkelanjutan Perlu Dipercepat
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Pengembangan energi panas bumi secara berkelanjutan perlu dipercepat karena tidak hanya akan mengurangi beban APBN namun juga berkontribusi terhadap penurunan emisi gas rumah kaca (GRK).
Direktur Jenderal Energi Baru dan Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM, Rida Mulyana, di Jakarta, Jumat (13/12), mengatakan sebagai pemangku kebijakan Kementerian ESDM perlu mempercepat dan mewujudkan pengembangan energi panas bumi yang berkelanjutan.
Cara yang dapat dilakukan untuk mengembangkan energi panas bumi berkelanjutan, menurut dia, dengan mengintegrasikan pertimbangan lingkungan ke dalam regulasi panas bumi.
Ia mengatakan kelestarian ekosistem hutan pada prinsipnya adalah faktor penting untuk mendukung keberlanjutan usaha panas bumi.
Karena itu penerapan prinsip, kriteria, dan indikator dalam buku panduan pemanfaatan panas bumi berkelanjutan di kawasan hutan yang dikeluarkan WWF dalam pengembangan dan pemanfaatan energi panas bumi diharapkan membantu pengembang panas bumi dalam mengidentifikasi potensi dampak dalam setiap tahapan, menghindari kegiatan yang mengganggu fungsi kawasan dan tujuan pengelolaan hutan serta memperkuat upaya perlindungan kawasan hutan.
Sementara itu, Direktur Kebijakan, Keberlanjutan dan Transformasi WWF Indonesia Budi Wardhana mengatakan buku panduan tersebut dirumuskan untuk menjadi acuan bagi upaya pengembangan dan pemanfaatan panas bumi di kawasan hutan agar tetap dapat menjaga kelestarian ekosistem.
WWF, lanjutnya, berharap lebih banyak lagi listrik yang berasal dari energi panas bumi yang dikelola dengan memperhatikan nilai-nilai penting konservasi dan kepentingan sosial masyarakat.
Panduan WWF tersebut menjelaskan prinsip, kriteria, dan indikator yang mencakup aspek keberlanjutan produksi panas bumi, kemantapan fungsi kawasan hutan, keberlanjutan fungsi ekologi ekosistem hutan dan keberlanjutan fungsi sosial ekonomi budaya ekosistem hutan. Fungsi ekologi ekosistem hutan di dalam panduan ini dilihat dari karakter biologis ekosistem, seperti keberadaan jenis fauna dan flora penting (endemik, langka dan terancam punah), dan karakter fisik, seperti tutupan lahan, intensitas hujan, dan fisiografi lahan (bentuk lahan, kelerengan, ketinggian).
Buku panduan ini dirumuskan dengan memperhatikan tipologi ekosistem hutan dengan pendekatan baseline kesehatan ekosistem sehingga dapat diterapkan pada berbagai kondisi hutan.
Saat ini penyediaan listrik di Indonesia bergantung pada pembangkitan dengan menggunakan bahan bakar fosil. Di tahun 2012, berdasarkan data PT PLN (Persero), 89 persen dari 200.317,57 GWh produksi listrik Indonesia datang dari pembakaran minyak bumi dan batu bara.
Ketergantungan ini, menurut dia, tidak hanya akan memberikan tekanan subsidi dalam APBN namun berkontribusi terhadap emisi gas rumah kaca (GRK). Dengan situasi ini, pemanfaatan energi terbarukan adalah mutlak.
Ia mengatakan Indonesia merupakan negara dengan potensi energi panas bumi terbesar di dunia. Hingga tahun 2012, Indonesia baru memanfaatkan energi panas bumi untuk listrik sebesar 1341 MW dari total 32.901 MW.
Berdasarkan data Kementerian Kehutanan (2012) mengindikasikan potensi energi panas bumi Indonesia sekitar 70 persen berasosiasi dengan kawasan hutan. Sebagian dari potensi dalam kawasan hutan ini berada di wilayah hutan lindung dan hutan konservasi.
Peraturan perundangan yang berlaku saat ini mengatur sektor kehutanan seperti dalam Undang-Undang (UU) Nomor 41 Tahun 1999 dan panas bumi seperti dalam UU Nomor 27 Tahun 2007 tidak memungkinkan pengembangan panas bumi di dalam hutan konservasi. (Ant)
AS Laporkan Kasus Flu Burung Parah Pertama pada Manusia
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Seorang pria di Louisiana, Amerika Serikat, menderita penyakit parah perta...