Pengendapan Widi S Martodihardjo dalam “Sumarah”
YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM – "Jika pulang adalah awal.... maka jangan surut langkah." Sepenggal kalimat ditulis dengan menggunakan tinta di atas kertas bekas poster, dibingkai dalam pigura berukuran 20 cm-an, terdisplay di atas meja bersama beberapa karya tiga matra drawing di atas sepatu, buku tulis lama yang menjadi catatan perjalanan, tas kertas yang direspons menjadi sebuah karya, serta tiket-tiket kunjungan pada museum-acara yang juga direspons dengan arsiran ballpoint dan menempel pada dinding, tersusun di sebuah pojok ruangan di dalam Bentara Budaya Yogyakarta (BBY).
Pada sisi-sisi ruangan lainnya karya-karya lain terpajang bersama foto dokumentasi serta barang memorabilia. Di tengah ruangan, tiga kursi dan meja yang ditata menyerupai meja kerja penuh dengan karya menjadi tempat obrolan santai.
Ruangan di tengah BBY tersebut menjadi satu kesatuan presentasi karya seniman-perupa Widi S. Martodiharjo bersama karya-karya dua-tiga matra berupa drawing di atas kanvas, kertas, kayu, koper, yang memenuhi dinding BBY.
Mengawali perantauan selepas lulus SMA menuju Yogyakarta selama setahun untuk melanjutkan pengembaraan ke kota-kota lain, seniman-perupa Widi S Martodiharjo akhirnya menggelar pameran tunggalnya di Bentara Budaya Yogyakarta (BBY).
Pameran bertajuk Sumarah dibuka Rabu (12/6) malam. Karya dua-tiga matra dalam berbagai medium cat akrilik, ballpoint, di atas kertas, kanvas, kertas karton (corrugated paper) selama tiga tahun terakhir yang dibuat Widi, sebagai presentasi dokumentasi perjalanan berkaryanya.
Secara visual presentasi karya Widi terbagi dalam dua hal, yakni garis dan goresan objek-objek abstrak dalam berbagai warna serta sketsa-drawing menangkap nuansa sebuah tempat. Dalam keseluruhan karya Widi selalu menggunakan ballpoint untuk membuat arsiran ataupun detail karya.
Memperhatikan keseluruhan karya ada satu pesan tersirat yang ingin disampaikan Widi dalam pameran Sumarah, yakni sebuah pengendapan setelah perjalanan dan pengembaraan dari satu kota ke kota lainnya, baik di Indonesia maupun luar negeri.
Sumarah, Berhenti Sejenak dari Keriuhan
Pemilihan judul karya Gerbang Emas, Waktu yang Bergerak, Membawa Hasil, Melewati Rintangan, Mau Mendengar, Mau Memberi, Sejenak Bersandar, Turun ke Bumi, Di Bangku Taman, Mendengarkan Cerita yang Baik, menjadi refleksi Widi atas perjalanan berkaryanya untuk berhenti sejenak pada satu titik. Setidaknya hal tersebut ditegaskan pada sebuah karya berukuran 150 cm x 150 cm dalam medium cat akrilik dan ballpoint di atas kanvas berjudul Dzikir ataupun karya berjudul Mendengar lebih Banyak Bicara lebih Sedikit. Ada upaya Widi untuk jeda sejenak dari keriuhan yang sedang terjadi, termasuk dalam dunia seni rupa yang dijalaninya.
“Sumarah kuwi yo wis toh. Anteng, sumarah, semeleh, wong wis (entuk) akeh. Too much. Diendapkan. Saya kembali ke studio di Ubud. Saya mau anteng. Pingin kembali. Ke Bali. Setelah energi diurai, di-chrage saya ingin diam sejenak. Hanya berkarya. Menikmati studio sebagai surga baru. Hanya saat ini memang saya penasaran untuk eksplorasi tiga matra. Eksplorasi menjadi rimba garis,” tutur Widi dalam perbincangan dengan satuharapan.com, Jumat (14/6) di BBY
Catatan perjalanan terekam dalam karya-karya Widi berjudul Church in Friesland-NL, Berlin Bridge, Gereja Tua Praha, Central Praha, Zaanseschaans, merekam suasana yang sedang terjadi. Catatan perjalanan juga dibuat Widi memanfaatkan tiket-tiket perjalanan ataupun kunjungan pada suatu tempat/museum sebagai material karya.
Drawing menjadi pilihan Widi untuk mengeksplorasi ide kekaryaan. Ini dimulai pada tahun 2009 saat Widi menggelar pameran tunggal pertamanya berjudul Reborn setelah mengalami satu fase kejenuhan dalam dunia kerja yang dijalani setelah menamatkan kuliah di Bandung. Diakui Widi drawing menjadi eksplorasi yang sederhana dalam hal medium karya memanfaatkan peralatan yang ada di sekitar: kertas, pensil, ballpoint.
“Pensil-ballpoint adalah peralatan yang sangat dekat dengan kehidupan manusia. Mudah didapatkan. Dari anak-remaja sampai orang dewasa menggunakannya,” jelas Widi tentang pilihan penggunaan ballpoint dalam banyak karyanya.
Sebagai catatan, dalam proses kekaryaan drawing menjadi ide dan tampilan dari sebuah sketsa yang dielaborasi menjadi karya visual dua-dimensional; berpotensi sebagai fine art dan sekaligus applied art; dibuat dengan berbagai macam instrumen, misalnya: pena, pensil, pensil warna, technical pen, charcoal, kuas, pena dan apa saja.
Elemen visual drawing lebih berdimensi kegarisan, atau dengan arsiran pendek-pendek, bahkan dengan titik-titik. Aspek gelap-terang pada suatu bentuk yang dibangun sengaja dibuat. Alat berupa penghapus dipakai sebagai alat penting untuk drawing yang dibuat dengan pensil, atau dengan arang (charcoal).
Drawing sering dipakai di bidang-bidang komersial, misalnya sebagai ilustrasi, komponen penting animasi, media arsitektural, drawing teknik. Drawing dapat berfungsi sebagai suatu media komunikasi untuk menyeberangkan suatu ide, merepresentasi rekayasa kreatif, atau sebagai media ekspresi pribadi menyatakan mimpi/feeling/opini. Dengan karakter tersebut, drawing sebagai fine art maupun applied art kerap menampilkan karya yang impresif bahkan dalam bentuk yang paling sederhana.
Pada pameran tunggal pertamanya bertajuk Reborn menjadi titik awal Widi mengejar eksistensi, karier, eksplorasi. Sejak itu dalam rentang 2009-2018 Widi bolak-balik dan singgah di beberapa kota dan menjadi Ubud-Bali sebagai homebase-nya. Tahun 2016 akhir saat jenuh dengan Bali, Widi terpikir untuk berpameran di Bentara Budaya Jakarta. Dengan tema In Beetwen, mengarak karya dari Ubud ke Jakarta. Ini menjadi semacam upaya meninggalkan jejak berkarya bagi Widi di Jakarta dan Jawa setelah berbagai pameran tunggal yang dijalaninya selama ini lebih banyak di Bali dan luar negeri.
Dalam perbincangan Widi menjelaskan bahwa keinginan untuk pulang didasari pada perjalanan berkaryanya selama sepuluh tahun terakhir di Eropa meliputi Amsterdam, Praha, Berlin, dan juga kota-kota di Belanda yang semakin menambah kesan migratif tersebut hingga muncul satu pertanyaan dalam dirinya: njuk sampai kapan? (lantas sampai kapan akan terus seperti itu?). Sumarah merujuk pada apa yang telah Widi dapatkan. Bagi Widi arti sumarah adalah kembali ke tanah leluhur, yang kebetulan kakek-buyutnya berasal dari Yogyakarta.
“Sumarah itu di atas kata tentrem. Setelah tenteram, saya ber-sumarah. Berserah diri, semeleh, ikhlas, untuk membungkus kata pulang itu sendiri. Mimpi saya yang sangat panjang dua puluh lima tahun lalu adalah tinggal di Yogyakarta,” pungkas Widi mengakhiri perbincangan.
Pameran seni rupa bertajuk "Sumarah" berlangsung sampai tanggal 20 Juni 2019 di Bentara Budaya Yogyakarta, Jalan Suroto No. 2 Yogyakarta.
Editor : Sotyati
Prasasti Batu Tertua Bertuliskan Sepuluh Perintah Tuhan Terj...
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Prasasti batu tertua yang diketahui yang bertuliskan Sepuluh Perintah Tuha...