Penghentian BITs demi Kepentingan Nasional
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Lembaga swadaya masyarakat yang mengamati masalah liberalisasi perdagangan global mengapresiasi penghentian perjanjian perlindungan investasi bilateral (Bilateral Investment Treaties/BITs). Penghentian BITs adalah untuk mereview kembali BITs yang sudah ada selama ini dan untuk kembali menyusun ulang model perjanjian investasi internasional (BIT) yang baru dengan lebih menekankan pada kepentingan nasional.
“Tapi keadilan tidak akan mungkin datang dengan sendirinya tanpa ada intervensi dan keterlibatan masyarakat dalam prosesnya. Oleh karena itu perlu disusun agenda bersama seluruh gerakan rakyat untuk mengembalikan kedaulatan Negara ke tangan rakyat,” kata Rachmi Hertanti, peneliti dan monitoring manager Indonesia for Global Justice (IGJ) dalam Konferensi Pers bertajuk “Perjanjian Investasi Bilateral: Negara vs Korporasi” di Kantor IGJ; Jl. Tebet Barat XIII No.17, Jakarta, Senin (25/5).
“Yakni mengawasi kinerja investasi asing dan meminta pemerintah untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap skema Investor-state dispute settlement (ISDS). Mempersiapkan model alternatif kebijakan investasi nasional dan perjanjian investasi internasional yang memperkuat pengembangan kekuatan ekonomi rakyat,” sebut Rachmi.
“Selanjutnya membangun konsep pembangunan nasional yang berbasis pada kekuatan ekonomi rakyat (investasi rakyat). Menghentikan segala perundingan perjanjian perdagangan bebas dan mengevaluasi perjanjian perdagangan bebas yang telah ditandatangani, khususnya mengenai bab perlindungan investasi,” kata dia menambahkan.
Menurut Rachmi, selama ini perjanjian investasi bilateral merupakan sebuah instrumen perjanjian internasional yang dibuat untuk melindungi investor asing di negara pengimpor investasi (The host state). Namun, dalam pelaksanaannya perjanjian ini telah memberikan dampak kerugian bagi The Host State.
“Salah satunya akibat penerapan mekanisme penyelesaian sengketa yang melekat pada perjanjian tersebut,” kata dia.
Menurut data IGJ, pada Maret 2014, pemerintah Indonesia telah menghentikan Perjanjian perlindungan investasi bilateral (Bilateral Investment Treaties/BITs) antara Indonesia dengan Belanda. Dan per Maret 2015, pemerintah Indonesia telah mengirimkan surat notifikasi penghentian BITs kepada 17 Negara.
“17 Negara itu yakni Bulgaria, Italia, Korea Selatan, Malaysia, Mesir, Slovakia, Spanyol, Tiongkok, Kyrgyzstan, Laos, Prancis, Cambodia, India, Norway, Romania, Turki, dan Vietnam,” sebut Rachmi.
Menurut Rachmi, BITs adalah perjanjian investasi yang ditandatangani oleh dua Negara dan mengikat hak dan kewajiban dalam menfasilitasi masuknya investasi di masing-masing Negara. “Perjanjian ini mengatur mengenai standar-standar perlindungan investasi yang harus dilakukan oleh Negara tuan rumah,” kata dia.
“Seperti perlakukan yang setara dan adil atau tidak diskriminasi dari segala jenis investasi baik asing maupun domestik. Full protection dan security yang memuat kewajiban Negara untuk memberikan ganti rugi atas kerugian yang diderita korporasi akibat perang, konflik bersenjata, revolusi, keadaan darurat Negara, kerusuhan, ataupun pemberontakan. Biasanya perlindungan ini dalam bentuk pemberian kompensasi atau pemulihan,” tutur dia.
Selain itu, lanjut Rachmi, perlindungan dari tindakan pengambil-alihan atau nasionalisasi dan mengharuskan pemberian kompensasi ganti rugi. Mekanisme penyelesaian sengketa, mensejajarkan antara level investor dengan Negara atau dikenal dengan Investor-state dispute settlement.
Sementara itu, dampak legalisasi negara atas penerapan perjanjian investasi yaitu, "Pertama, pengrusakan hutan lindung, kedua, perampasan lahan dan pemusnahan masyarakat adat. Ketiga pelanggaran HAM, dan keempat, kerugian anggaran negara.”
Menurut peneliti dan monitoring manager IGJ itu, dalam menjalankan bisnisnya, korporasi sering melakukan tindakan ataupun kejahatan yang merugikan bahkan mencederai hak masyarakat. “Seperti perampasan lahan, pengrusakan lingkungan, mengkriminalisasi petani dan nelayan, mengeksploitasi buruh tanpa upah yang layak, menggelapkan pajak, dan melanggar hak-hak asasi manusia.”
Perilaku korporasi yang melanggar hukum ini, menurut dia, dilakukan karena Negara melegalisasinya ke dalam Undang-undang No. 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal (UUPM) yang mengatur tentang perlindungan dan fasilitas serta kemudahan bagi investor.
“Misalnya saja kemudahan dalam segala bentuk perizinan usaha dan pajak, kepemilikan hak atas tanah, perlindungan dari tindakan nasionalisasi dan segala bentuk kerugian investor, pembentukan kawasan ekonomi khusus, dan pembukaan bidang usaha yang membolehkan kepemilikan asing hingga maksimum 95 persen khususnya di sektor pertambangan, perkebunan, dan pertanian,” kata Rachmi.
Indonesia for Global Justice (IGJ), salah satu lembaga yang fokus pada isu perdagangan dan investasi sejak 2002. IGJ telah melakukan analisa terkait dengan penghentian Perjanjian Investasi Bilateral Indonesia dengan 64 negara.
Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...