Peningkatan Kapasitas Kilang dan Raja Salman
Masa depan persaingan global dalam politik minyak dan sumber energi lain akan makin keras. Apakah Indonesia siap di dalam menghadapinya? Apa agenda di balik kunjungan Raja Salman baru-baru ini?
SATUHARAPAN.COM - Indonesia saat ini memiliki 8 kilang (refinery unit) dengan kapasitas terpasang 1.169 juta barel per hari, 90% langsung di bawah operasi Pertamina yang mengelola 6 kilang. Keenam kilang tersebut adalah kilang tua, yang dibangun pada rentang waktu antara tahun 1972 hingga 1995.
Dengan usia yang semakin uzur dan teknologi yang out of date, tingkat efisiensi (yield)nya relatif rendah. Kilang warisan zaman Belanda di Pangkalan Berandan bahkan sudah tutup, karena disamping tidak mencukupi lagi pasokan minyak mentah, juga karena alasan efisiensi operasi.
Minyak mentah memiliki karakteristik dan kekentalan yang bervariasi berdasarkan kandungan sulfur dan kepadatan minyak yang dikenal dengan API gravity. Kilang menghasilkan Produk BBM (Bahan Bakar Minyak) beragam, seperti avtur, premium, solar dan non BBM seperti LPG, asphalt. Tidak seluruh jenis minyak dapat diolah di setiap kilang. Kilang minyak Cilacap misalnya, pada awalnya tahun 1976 didesain untuk mengolah minyak ringan dari timur tengah (Arab Light Crude), namun dalam perkembangan lanjutannya kilang II diresmikan tahun 1983, jadi mampu mengolah minyak “cocktail”, yaitu minyak campuran, baik yang dari dalam negeri maupun minyak impor.
Produksi minyak mentah Indonesia saat ini berkisar di 830.000 barel per hari. Lapangan minyak Indonesia kebanyakan adalah lapangan tua. Kita berhasil menekan penurunan laju alamiah 20% menjadi di bawah 5%, dengan upaya keras dan cerdas seperti pendalaman dan kerja ulang, perawatan serta pengembangan sumur (work over, well service and development well).
Di sisi lain, kebutuhan konsumsi minyak Indonesia meningkat seiring dengan pertumbuhan penduduk dan kemajuan ekonomi. Konsumsi BBM Indonesia saat ini berkisar 75 juta kilo liter per tahun atau sekitar 1.6 juta barel minyak mentah per hari. Outlook Energi Indonesia yang dikeluarkan BPPT memperkirakan sampai tahun 2050 dengan laju pertumbuhan PDB tahunan 6,9% tingkat permintaan energi final bertumbuh rata-rata 4,7% yang didominasi minyak sekitar 35%.
Dengan memperhitungkan tingkat produksi dalam negeri, entitlement bagian Pemerintah serta kapasitas keekonomian kilang domestik, hal tersebut diatasi dengan berbagai strategi seperti mengolah minyak mentah dalam negeri, mengimpor minyak mentah dan produk BBM maupun Non BBM, swap product, menjaga kapasitas stok operasional dan lain-lain.
Untuk ketahanan penyediaan konsumsi energi, suatu Negara harus memiliki cadangan nasional, cadangan strategis dan cadangan operasional yang memadai. Dengan keterbatasan keuangan Negara, saat ini Indonesia belum memiliki cadangan nasional dan cadangan strategis. Adapun cadangan operasional sepenuhnya dipercayakan kepada Pertamina. Kondisi geografis Negara Indonesia yang luas dalam bentuk kepulauan, persebaran penduduk yang tidak merata, kapasitas penyimpanan (storage) BBM yang terbatas serta pengeluaran devisa dolar yang besar untuk penyediaan BBM dan produk, berimbas pada ketahanan cadangan minyak Indonesia yang kurang tangguh. Stok Operasional (coverage days) minyak mentah, BBM maupun LPG Pertamina, yang secara kumulatif berada di tangki pengolahan, tangki timbun maupun di kapal tanker, belum berada pada kondisi yang ideal minimal 90 hari. Saat ini masih berada di bawah 30 hari.
Total kapasitas penyimpanan BBM di Indonesia saat ini sebesar 7.500.000 kilo liter. Sekitar 75% kapasitas tersebut merupakan milik Pertamina, sisanya pihak swasta. 35% dari kapasitas tersebut terpusat di region 3 (Banten, DKI dan Jawa Barat), dan kepemilikan Pertamina sekitar 55%. Fakta ini menunjukkan bahwa pihak swasta hanya tertarik di daerah pemasaran yang gemuk, sementara storage Pertamina sendiripun terpusat di Jawa juga.
Konstelasi keseimbangan energi global baru
Ditemukannya cadangan shale gas dan shale/ tight oil beserta teknologinya yang sangat efisien di Amerika Serikat, telah merubah dan mendatangkan revolusi baru dalam politik minyak dan gas. Ketergantungan Amerika Serikat kepada Timur Tengah perlahan-lahan berkurang. Bahkan Amerika Serikat telah menjadi ancaman baru yang menggerogoti pasar tradisional Negara-negara Timur Tengah di Asia Timur dan Utara, serta pasar tradisional gas Rusia di Eropah.
Terdesak dari Eropa, Rusia melakukan diversifikasi pasar. Proyek Kerja Sama antara Gazprom (Rusia) dan CNPC (China) ditandatangani tahun 2014, senilai $ 400 milyar, dimana Rusia melalui pipa sepanjang 3.000 km dari arah barat daya melalui dekat Mongolia Utara menembus daratan China memasok gas sebesar 38 juta kaki kubik per tahun selama 30 tahun, yang akan mulai beroperasi tahun 2018. Pengapalan LNG pertama Amerika Serikat ke pembeli Jepang JERA pada awal Januari 2017, tidak saja menandai pasar yang ketat di Asia, tetapi juga terjadinya perang harga, di mana LNG Amerika diindeks dengan harga gas Henry Hub yang lebih murah dari indeks minyak (JCC) yang secara tradisional 50 tahunan ini telah berlaku di Jepang. Tampaknya Presiden Donald Trump dengan credo American Energy First sedang melukis dan mendiktekan keseimbangan baru.
Negara-negara Timur Tengah mau tidak mau harus merespon hal tersebut dengan tepat. Kunjungan muhibah Raja Salman dari Arab Saudi mulai penghujung Pebruari 2017 selama 21 hari ke Asia (Malaysia, Indonesia, Jepang, China), padat dengan agenda bisnis. Dengan Malaysia telah diindikasikan komitmen kerja sama perusahaan minyak nasional Arab Saudi, Saudi Aramco dengan perusahaan nasional Malaysia Petronas, dengan nilai investasi $ 7 Milyar untuk peningkatan kapasitas kilang.
Sebagai kelanjutan dari pertemuan Perdana Menteri Shinzo Abe dengan Deputi Putra Mahkota Mohammed bin Salman di Tokyo bulan September 2016 yang lalu, Saudi Aramco (Perusahaan Minyak Nasional Arab Saudi) bersama dengan Perusahaan minyak nasional Abu Dhabi (ADNOC) diminta untuk membangun masing-masing 1 juta barel tangki penimbunan (storage) di Okinawa Jepang. Sebagai imbalannya, Jepang memperoleh prioritas penggunaan persediaan minyak tersebut dalam kondisi darurat. Tidak ada makan siang yang gratis.
Kunjungan Raja Salman ke China merupakan bagian dari road show penawaran saham perdana (IPO) Saudi Aramco, dalam merespon turunnya harga minyak dunia dan perubahan konstelasi pasar energi (www.reuters.com/article/us-saudi-aramco-ipo-id). Saudi Aramco telah merekrut JPMorgan dengan pesaing HSBC untuk strategi pemasaran saham perdana di pasar investasi dunia.
Bagaimana dengan Indonesia ?
Indonesia dapat menjalin kerja sama yang saling menguntungkan dengan Arab Saudi. Berdasarkan annual statistical bulletin OPEC 2016, Arab Saudi memproduksi sekitar 10 juta barel minyak mentah per hari, dengan 70% untuk tujuan ekspor. Sedangkan kapasitas kilangnya adalah 3 juta barel minyak per hari. Neraca perdagangannya menunjukkan defisit sebesar $41.307 juta. Hal ini adalah sebagai imbas dari rendahnya harga minyak beberapa tahun terakhir, turunnya permintaan minyak di China karena pertumbuhan ekonomi yang menurun. Sebesar 80% sumber devisa Arab Saudi bersumber dari petroleum.
Indonesia memiliki pasar BBM dan produk kilang yang stabil. Sebagai salah satu Negara dengan tingkat pertumbuhan ekonomi tertinggi di dunia, ini sangat menjanjikan dan harus dapat dikapitalisasi. Persoalan utama untuk ketahanan energi minyak Indonesia adalah akibat kurangnya infrastuktur. Kapasitas BBM kilang dan tangki timbun terbatas. Kilang minyak hanya ada di kota-kota besar. Tidak merata di seluruh Indonesia. Faktor cuaca, kelangkaan minyak, goncangan valuta asing sangat rentan mempengaruhi kemampuan.
Sudah saatnya dibangun kilang mini di berbagai daerah, revitalisasi, peningkatan kapasitas dan peremajaan kilang minyak, penambahan tangki penimbunan minyak mentah, penimbunan BBM, dermaga, pelabuhan minyak dan armada pengangkutan minyak yang handal. Berdasarkan road map infrastruktur kilang minyak bumi, Pemerintah mentargetkan peningkatan kapasitas pengolahan kilang dengan membangun beberapa kilang baru dengan kapasitas 456 MBCD, dan pengembangan kilang eksisting dengan kapasitas 438 mbcd.
Tentu saja itu menelan biaya yang mahal. Sebagai gambaran, Proyek Peningkatan kapasitas dan kompleksitas (Refinery Development Master Plan/ RDMP Kilang Minyak Cilacap misalnya. Proyek tersebut menurut pemberitaan diperkirakan menelan biaya sekitar $ 5 - $ 6 milyar, hanya untuk meningkatkan kapasitas dari 348.000 barel per hari menjadi 400.000 barel.
Pada tingkat Pemerintahan, Indonesia dapat menjalin kerja sama dengan Pemerintah Arab Saudi, yang ditindaklanjuti dengan kesepakatan bisnis. Misalnya, Perusahaan Nasional Saudi Aramco diberikan konsesi untuk membangun kilang minyak (yang sesuai dengan spesifikasi crudenya), disertai dengan kewajiban untuk membangun fasilitas penimbunan stock/ minyak di berbagai daerah.
Pasar Indonesia yang besar, stabil dan bertumbuh merupakan nilai tambah yang membuat feasiblenya Project tersebut. Selama periode pembangunan dan pengembangan perlu diberikan insentif dan fasilitas perpajakan. Pertamina diberikan share atau swap share dan berbisnis pada value chain yang ada seperti perkapalan, marketing dan diversifikasi produk. Mengingat hal ini adalah sesuatu yang besar dan mendasar, maka diperlukan tim khusus yang melakukan kajian secara komprehensif. Pada titik ini dapat dimaklumi, dalam kunjungan King Salman ke Indonesia kali ini, sektor minyak dan energi belum termasuk dalam daftar MOU yang ditanda tangani.
Penulis adalah Praktisi Energi, aktif di Masyarakat Energi Indonesia
Editor : Trisno S Sutanto
Obituari: Mantan Rektor UKDW, Pdt. Em. Judowibowo Poerwowida...
YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM-Mantan Rektor Universtias Kristen Duta Wacana, Yogyakarta, Dr. Judowibow...