Pentas Drama-Tari Puisi “Kesatuan Melahirkan Kemanunggalan”
UWMY Merayakan Dies Natalis Ke-37
YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Merespon dinamika sosial-politik akhir-akhir ini yang penuh dengan intrik-intrik, politik identitas, isu SARA, praktik kekerasan untuk merebut kekuasaan, yang berujung pada timbulnya rasa curiga, kebencian-kedengkian, ketidakpercayaan, hingga hilangnya penghormatan atas sesama, Teater Dokumen Universitas Widya Mataram Yogyakarta (UWMY) mementaskan karya drama-tari puisi.
Pentas yang mengangkat tema “Kesatuan Melahirkan Kemanunggalan” digelar di Pendapa Agung nDalem Mangkubumen Yogyakarta, Sabtu (12/10) malam. Pementasan tersebut menjadi rangkaian Dies Natalis UWMY yang ke-37.
“Kita prihatin melihat bagaimana kekerasan seolah sudah menjadi keseharian bangsa Indonesia hari ini dan menjadi ancaman tercerai-berainya sebuah bangsa yang besar. Tragedi kemanusian yang membenturkan masyarakat akar rumput di berbagai tempat di Indonesia membawa relasi antarmanusia pada titik nadir: ketidakpercayaan. Ini menyedihkan. Kekerasan fisik dan nonfisik menjadi pemandangan sehari-hari. Kita tidak mau terpecah-belah. Kita ingin dari Aceh sampai Papua bersatu dalam keluarga besar bangsa Indonesia,” jelas pelatih Teater Dokumen sekaligus sutradara pementasan Fatimah az-Zahra kepada satuharapan.com, Sabtu (12/10).
Empat puluhan anggota Teater Dokumen tampil membawakan drama puisi mengangkat realitas keberagaman suku-bangsa dengan entitas seni-budaya yang ada di bumi nusantara: Aceh, Melayu, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Papua.
Mengawali pementasan Teater Dokumen menampilkan khasanah seni-budaya Aceh dalam sebuah dialog singkat serta persembahan sajian tarian kreasi Aceh oleh empat penari mengadopsi tari Ratoh Jaroe. Dilanjutkan dengan khasanah seni-budaya Melayu yang menampilkan tarian dalam langgam-gerak lima penari Zapin.
Penampilan berikutnya empat penari menyajikan khasanah seni-budaya Jawa dalam gabungan gerak tarian pergaulan menggabungkan tari Lengger dan tari kreasi baru Yapong. Disusul dengan penampilan empat penari yang membawakan tari pengembangan dari tari Burung Enggang lengkap dengan teriakan dari para penarinya. Empat penari melanjutkan perform Teater Dokumen dengan tarian Papua Yamko diiringi dengan lagu-musik Yamko Rambe.
Pada akhir sesi tarian, empat penari mengenakan pakaian adat Sulawesi Selatan memperagakan tari perang mengadopsi dari tari Ma’randing sebuah tarian yang menggambarkan kemampuan dalam memakai senjata tradisional Sulawesi Selatan dan menunjukkan keteguhan hati serta kekuatan seseorang yang meninggal selama hidupnya. Para penari menggunakan pakaian dan alat perang tradisional. Tari ini dikenal sebagai tari partriotik atau tari perang.
Berakhirnya sesi drama tari menjadi awal sesi drama-teater yang mengisahkan terjadi pertikaian sesama saudara di sebuah kerajaan di tanah Sulawesi. Kabar tersebut tersebar ke seantero nusantara dan seluruh kerajaan yang ada di nusantara pun memiliki ambisi yang sama untuk menguasai kerajaan Sulawesi. Terjadilah perang dan baku hantam antara sesama kerajaan di nusantara yang berakhir pada kekalahan dan kematian pada semua pihak. Tidak ada satupun yang menang dan berakhir pada hancurnya peradaban bangsa di nusantara karena keegoisan dan keserakahan.
Di akhir sesi, di tengah-tengah korban jiwa yang berjatuhan enam puisi karya Fatimah dibacakan untuk memberikan narasi besar kekayaan-kejayaan dengan beragam budaya, SDA yang melimpah kerajaan-kerajaan di nusantara.
Menutup pementasan “Kesatuan Melahirkan Kemanunggalan” seluruh anggota Teater Dokumen menari bersama dalam iringan lagu-lagu daerah yang ada di Indonesia.
Secara keseluruhan penampilan Teater Dokumen cukup mampu menyampikan pesan-pesannya kepada pengunjung. Narasi besar yang coba dibangun beranjak dari kekayaan khasanah seni-budaya dan juga kekayaan alam yang ada di bumi nusantara berikut modal sosial-kultural cukup bisa menemukan relevansi atas realitas bangsa Indonesia hari ini.
Eksplorasi ragam tari nusantara juga cukup menarik manakala Teater Dokumen menyajikan tari-tarian yang enerjik. Gabungan tari Lengger dan tari Yapong misalnya yang menyajikan sebuah ruang pergaulan dengan ciri khas gerakan dinamis, riang gembira, serta mengusung semangat kerakyatan.
Kalaupun ada yang kurang, mungkin perlu penyajian yang lebih mengembangkan improvisasi di antara pemainnya. Semisal mengosongkan area panggung (clear area) sesaat setelah peperangan yang terjadi dilanjutkan pembacaan puisi.
Ini akan menjadi kejutan bagi penonton sekiranya pembacaan puisi dianggap sebagai akhir pementasan, manakala area panggung yang kosong tiba-tiba dipenuhi lagi dengan seluruh penampil yang naik panggung lagi dari arah belakang panggung (backstage) diiringi lagu-lagu daerah dan menari bersama. Akan menjadi tawaran yang lebih hidup lagi seandainya tarian penutup tersebut disajikan dalam format tari jalar (flashmob) dengan memanfaatkan area pengunjung serta mengajak penonton untuk turut terlibat dalam tarian bersama tersebut. Jika itu bisa dikemas secara rapi, ada tawaran baru yang bisa menjadi pengembangan dari koreografi berjudul Gema Nusantara yang diciptakan maestro tari Bagong Kussudiarja.
“Memberikan ruang bagi mahasiswa untuk berkegiatan. Ini penting tidak sekedar memberikan ruang untuk berekspresi namun juga menumbuhkan kesadaran terhadap realitas-realitas yang dihadapinya. Mahasiswa harus mampu berpikir kritis dengan menangkap fenomena-fenomena yang terjadi. Tidak hanya sosial-politik, namun juga seluruh aspek kehidupan. Sensitivitas tersebut tidak datang dengan tiba-tiba. Itu tumbuh dalam proses yang dibangun dalam dialog-dialektika secara terus menerus sebelum mereka nantinya terjun ke masyarakat setelah lulus. Harapannya, mahasiswa menjadi lebih bisa memberikan tawaran-tawaran solusi dan tidak berjarak dengan masyarakat,” jelas pembina Teater Dokumen Puji Qomariyah.
Dalam sambutannya Rektor UWMY Edy Suandi Hamid menyampaikan bahwa ada tiga hal yang menjadi fokus dalam rangkaian acara Dies Natalis UMWY yang ke-37 yakni kegiatan akademik dalam bentuk diskusi-sarasehan, lomba debat dan menulis, kegiatan yang berkaitan dengan budaya-kebudayaan, serta kegiatan dengan semangat kekeluargaa-kebersamaan.
“Sebagai Kampus yang berbasis budaya kita terus berusaha melakukan kegiatan-kegiatan yang terkait dengan budaya-kebudayaan. Bisa saja kegiatan-kegiatan itu kita modifikasi sehingga kita punya kreasi-kreasi, inovasi-inovasi, sehingga (pada akhirnya) budaya bisa (terus) bertahan di dalam segala jaman,” jelas Edy Suandi Hamid saat memberikan sambutan Dies Natalis UWMY, Sabtu (12/10) malam.
Bebras PENABUR Challenge : Asah Kemampuan Computational Thin...
Jakarta, satuharapan.com, Dunia yang berkembang begitu cepat memiliki tantangan baru bagi generasi m...