Peradi Sosialisasikan UU TPKS
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) bersama Universitas Kristen Indonesia (UKI) menggelar sosialisasi Undang-undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) lewat seminar nasional bertajuk “Proteksi Diri dari Predator Seksual“.
"Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) banyak hal yang harus disosialisasikan," kata Ketua Umum (Ketum) DPN Peradi Otto Hasibuan dalam keterangan diterima di Jakarta, Jumat (27/1).
Menurutnya, berbagai persoalan kekerasan seksual bukan hanya terjadi pada akhir-akhir ini, tetapi juga sudah sejak zaman dahulu sehingga sangat penting dibahas, terutama pasca-lahirnya UU TPKS.
"Saya hanya ingin menyampaikan bahwa memang persoalan ini sangat penting untuk kita bicarakan, termasuk ekses berlakunya UU itu," katanya.
Dalam menangani kekerasan seksual, lanjut Otto harus memperhatikan korban. Menurutnya anggapan bahwa negara tidak perlu mencampuri penyelesaian persoalan kekerasan seksual karena harus diselesaikan antar-individu adalah keliru karena UUD menyatakan melindungi hak asasi manusia.
"Hak asasi manusia harus diproteksi oleh negara dan negara harus hadir, sehingga seminar ini sangat penting sekali,” katanya.
Seminar ini diikuti sejumlah mahasiswa UKI serta siswa SMP dan SMA atau sederajat, dan juga pihak lainnya secara luring dan daring. Selain itu, seminar juga dihadiri jajaran DPN Peradi dan civitas akademika UKI Jakarta.
Rektor UKI, Dr Dhaniswara K. Raharjo menyampaikan salah satu indikator kekerasan seksual adalah adanya pemaksaan. Siapapun, kata dia baik perempuan atau laki-laki harus berani melawan.
"Jadi kalau merasa tidak nyaman, tentu harus berani menyatakan tidak dan melaporkan kepada pihak yang berwenang," katanya.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) I Gusti Ayu Bintang Darmawati menyampaikan.kerja sama atau kolaborasi Peradi dan UKI tersebut sangat positif dalam mensosialisasikan UU TPKS dan mencegah tindak pidana tersebut.
"Kekerasan terhadap perempuan dan anak merupakan pelanggaran HAM yang harus dihapuskan," kata dia.
Ia menyampaikan sesuai hasil survei pengalaman hidup perempuan nasional pada 2021 menunjukkan kekerasan fisik dan atau seksual yang dilakukan pasangan dan selain pasangan selama hidupnya masih dialami oleh sekitar 1 dari 4 perempuan usia 15-64 tahun.
Sedangkan, lanjut dia berdasarkan hasil survei nasional pengalaman hidup anak dan remaja 2021, yakni 4 dari 100 anak laki-laki usia 13–17 tahun di perkotaan, pernah mengalami kekerasan seksual dalam bentuk kontak maupun non-kontak di sepanjang hidupnya. Sementara di perdesaan, prevalensinya sebanyak 3 dari 100 anak laki-laki.
"Bagi anak perempuan yang tinggal, baik di perkotaan bahkan perdesaan, prevalensinya bahkan 2 kali lipatnya anak laki-laki, yaitu 8 dari 100," katanya.
Menurutnya angka itu merupakan fenomena gunung es, yakni jumlah korban dan kasus kekerasan seksual yang sebenarnya terjadi jauh lebih tinggi daripada yang dilaporkan.
"Keadaan ini harus menjadi perhatian semua, karena dampak yang ditimbulkan kepada korban mengakibatkan penderitaan fisik, mental, kesehatan, ekonomi, dan juga sosial," ucapnya.
Lahirnya UU 12 Tahun 2022 tentang TPKS, lanjut Bintang merupakan suatu bukti bahwa negara sangat berupaya melindungi rakyatnya. Ia berharap semua mengawal implementasi UU tersebut demi terciptanya lingkungan yang aman dan bebas dari tindak kekerasan seksual.
"Pembaruan hukum ini memiliki tujuan mencegah segala bentuk kekerasan seksual, menangani, melindungi, dan memulihkan korban," ujarnya.
Kemudian, lanjut dia melaksanakan penegakan hukum, merehabilitasi korban, mewujudkan lingkungan tanpa kekerasan seksual, dan menjamin tidak berulangnya kekerasan seksual.
Kremlin: AS Izinkan Ukraina Gunakan Senjata Serang Rusia Mem...
MOSKOW, SATUHARAPAN.COM-Kremlin mengatakan pada hari Senin ( 18/11) bahwa pemerintahan Presiden Amer...