Perempuan Timur Tengah Terinspirasi Musim Semi Arab
SATUHARAPAN.COM – Musim Semi Arab (Arab Spring) telah mengilhami perempuan di Timur Tengah untuk mendapatkan hak-hak yang lebih besar. Demikian menurut peserta dalam pelatihan regional di Maroko bertujuan memajukan hak-hak perempuan dan kesetaraan jender.
Latifa Jbabdi, seorang aktivis hak asasi manusia dan hak-hak perempuan Maroko memberikan presentasi tentang perjuangan perempuan Maroko dalam reformasi konstitusional. Pidato Raja Maroko, Mohammed VI pada tanggal 9 Maret 2011 membawa arus reformasi, terutama bagi perempuan.
Kelompok dan organisasi hak asasi perempuan dengan cepat membentuk koalisi yang luas yang disebut Feminis Spring untuk Koalisi Demokrasi dan Kesetaraan. Melalui kerja koalisi, perempuan Maroko secara efektif menekan pemerintah untuk menempatkan konvensi internasional ke dalam hukum dan negara bertanggung jawab untuk melindungi dan menerapkannya. Perempuan juga telah berjuang melawan diskriminasi dan kekerasan, dan menyerukan kesetaraan dalam masyarakat sipil, kalangan politik, sosial, dan lingkungan.
Jbabdi menambahkan bahwa efek dari riak dan gejolak di wilayah tersebut masih dirasakan, dan bisa mengarah pada pembebasan perempuan dan menempatkan mereka di garis depan peristiwa-peristiwa penting.
Sebanyak 40 pakar dan aktivis hak-hak perempuan dari Mesir, Libya, Maroko dan Yaman mengikuti pelatihan yang diselenggarakan oleh Karama, sebuah LSM regional yang bekerja sama dengan Dana PBB untuk Kesetaraan Gender. Acara tersebut untuk berbagi pengalaman dan membuka dialog tentang memajukan emansipasi dan hak-hak perempuan di negara mereka sendiri.
Pelatihan regional ini terdiri dari lokakarya dan diskusi meja bundar, dan berlangsung pada 9-13 Januari.
Jane Connors, presiden prosedur khusus cabang Kantor Komisi Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia (OHCHR ), mendesak revisi United Nations Universal Periodic Review yang memerlukan penelaahan berkala terhadap catatan hak asasi manusia dari semua negara anggota PBB. Dia mengatakan bahwa hal itu akan mendorong negara untuk memenuhi kewajiban terhadap hak asasi manusia.
Presiden Kantor Pengaduan di Dewan Nasional untuk Perempuan, Fatma Khafagi, menyampaikan permintaan kalangan perempuan Mesir untuk menghidupkan kembali front perempuan yang didirikan oleh kaum feminis Mesir pada tahun 1923.
Konstitusi Mesir harus menyertakan pasal tentang peningkatan status perempuan, kata pengacara Mesir, Aida Nour El Din. Perempuan menghadapi masalah hukum terkait status pribadi. Salah satu hukum menyatakan bahwa seorang wanita harus membuktikan melalui saksi bahwa dia telah dilecehkan, yang terlalu sulit dilakukan dalam banyak kasus.
El Din juga berbicara tentang pentingnya memasukkan semua perjanjian internasional yang telah ditandatangani Mesir ke dalam konstitusi dan pemerintah Mesir harus menegakkannya. (ahram.org.eg)
Kremlin: AS Izinkan Ukraina Gunakan Senjata Serang Rusia Mem...
MOSKOW, SATUHARAPAN.COM-Kremlin mengatakan pada hari Senin ( 18/11) bahwa pemerintahan Presiden Amer...