Perenang Putri Suriah Lega Mendapat Sponsor Olimpiade
SPANDAU, SATUHARAPAN.COM – Suriah adalah negara di kawasan Timur Tengah yang sejak lama dilanda perang. Negara ini seperti kawasan yang mati karena banyak penduduk yang tidak ingin melibatkan diri dalam kontak bersenjata harus melarikan diri.
Namun di balik suramnya kondisi negara di kawasan Timur Tengah tersebut muncul berbagai bakat di bidang olahraga. Seperti pada sosok Yusra Mardini, perenang putri berusia 18 tahun yang merasa lega karena mendapat dukungan sponsor pribadi guna pembiayaan selama mengikuti Olimpiade 2016 di Rio De Janeiro, Brasil.
Yusra, seperti diberitakan Sports Pro Media hari Selasa (14/6), tidak akan turun membela Suriah, namun dia bergabung dengan kontingen Negara Pengungsi yang dibentuk khusus oleh Komite Olimpiade Internasional (IOC).
"Saya merasa terhormat bisa bergabung komunitas Tim Visa untuk calon Olimpiade di jalan ke Rio 2016,” kata Yusra.
Awal Mula Mengungsi
Yusra mengemukakan saat perang berkecamuk di Suriah, dia dan saudarinya, Sara, masih giat berlatih, dan guna menjaga kebugaran fisik dia berlatih di sebuah kolam renang khusus remaja putri di Damaskus, Suriah. Namun, menurut Yusra, saat perang semakin menghebat latihan dihentikan, apalagi gedung tempat latihan renang hancur.
Yusra mengatakan walau gedung tempat latihan hancur dia tidak ingin duduk, diam dan menangis.
“Saya tidak menyalahkan siapa pun jika mereka menangis. Tapi sekarang mau tidak mau kita perlu pindah,” kata dia.
“Di dalam air kita semua adalah manusia dan tidak ada perbedaan apakah anda warga negara Suriah, seorang pengungsi atau Jerman,” kata dia.
Pada 2015, Yusra dan adiknya Sarah, pergi meninggalkan rumah mereka di Damaskus, Suriah menuju Beirut, lalu ke Istanbul dan akhirnya tiba di kota Izmir, Turki.
Mereka lalu berhasil memaksakan ikut ke sebuah perahu yang melintasi Laut Tengah menuju pulau Lesbos, Yunani. Tiga puluh menit di dalam perjalanan mereka, perahu yang membawa 20 orang tiba-tiba berhenti, dan mesinnya mati.
Yusra dan Sarah berinisiatif menceburkan diri ke air kemudian mereka mendorong dan menarik perahu selama tiga jam hingga mencapai pantai di Pulau Lesbos, Yunani.
Beberapa bulan kemudian Yusra dan Sara menetap di kamp pengungsian di Spandau, Berlin, Jerman.
Dia bahagia karena menemukan komunitas penggemar olahraga renang di Berlin.
“Saya lega karena ada yang memberi saya kesempatan yang sama seperti atlet lain yang akan berlomba di Rio De Janeiro,” kata dia.
Selama di Jerman, seperti diberitakan Yes Magazine beberapa waktu lalu, Yusra mendapat dukungan fasilitas untuk berlatih dari Komite Olimpiade Nasional Jerman (NOC).
Wakil kepala media untuk NOC Jerman, Michael Shirp, mengatakan Jerman bangga mendukung Yusra dan usahanya untuk bersaing di Olimpiade. Yusra dan saudarinya merupakan contoh mengesankan dari populasi pengungsi di Jerman. Shirp merasa bangga karena pengungsi tidak kenal menyerah dengan melalui penderitaan di perjalanan yang berbahaya. “Mereka memberi inspirasi bagi Jerman,” kata Shirp.
Yusra menceritakan kesedihan walau dia dan saudarinya berhasil selamat dan hidup hingga saat ini namun dia membaca banyak berita di banyak surat kabar kalau banyak pengungsi yang tenggelam saat berusaha menyelamatkan diri di laut.
Yusra gembira dipilih oleh IOC mewakili kontingen Negara Pengungsi karena bentuk partisipasi Yusra dalam Olimpiade sesuai dengan bunyi salah satu butir di Piagam Olimpiade yakni berolahraga adalah hak asasi manusia dan setiap individu sehingga setiap orang harus memiliki kesempatan berlatih tanpa hambatan diskriminasi.
“Saya percaya setiap orang dapat melakukan sesuai dengan yang mereka percaya di dalam hati mereka,” kata Mardini.
Mardini percaya Olimpiade adalah tempat untuk berkompetisi tidak hanya dalam lingkup kecil namun antar bangsa.
Dalam kesempatan berbeda, Ketua Komite Olimpiade Internasional (IOC) Thomas Bach menjelaskan di masa mendatang tidak hanya kelompok pengungsi yang dibuatkan tim namun juga kelompok yang selama ini dianggap minoritas yang berkekurangan akses ke olahraga seperti kelompok Tibet yang dia percaya memiliki potensi dalam olahraga namun kurang maksimal karena atlet Tibet harus berlaga di bawah bendera Tiongkok.
“Saya membayangkan masa depan olahraga yang lebih inklusif untuk Olimpiade,” kata Bach.
Manajer Program Tibet American Foundation of Minnesota, Tenzing Sherap memuji IOC yang menciptakan ruang untuk pengungsi karena sesungguhnya bukan tentang olahraga namun berbicara tentang kebebasan.
Sherap memuji IOC karena menciptakan sudut pandang berbeda bagi dunia tentang pengungsi yakni media terlalu banyak fokus pada kesulitan dan tragedi seperti terorisme, tenda pengungsi yang rusak dan masalah sosial lainnya.
(sportspromedia.com/yesmagazine.org).
Editor : Eben E. Siadari
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...