Peringatan Hari Antikorupsi: Gerakan 100 Persen Lawan Korupsi
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Transparency International Indonesia (TII) melaporkan bahwa peringatan Hari Anti Korupsi Internasional (HAKI), 9 Desember, tidak lagi hanya bersifat seremonial, tetapi melibatkan masyarakat secara luas dalam berbagai kegiatan yang bertujuan memperluas penyadaran dan perlawanan terhadap korupsi.
Dalam memperingati HAKI, TII membentuk sebuah koalisi gerakan masyarakat untuk melakukan kegiatan dengan cara yang kreatif dalam program yang diberi nama SIAP II.
SIAP II adalah singkatan dari Strengthening Integrity and Accountability Program merupakan sebuah program yang bertujuan memperkuat integritas dan akuntabilitas dalam pengelolaan hutan yang lestari dan bebas dari praktek-praktek korupsi. Progam ini didukung oleh USAID yang melibatkan sebuah konsorsium yang terdiri dari WWF-Indonesia, Indonesia Working Group on Forest Finance (IWGFF) dan TII.
Fathi Hanif, Program Koordinator SIAP II mengatakan, “Saat ini ada kebutuhan mendesak agar masyarakat ikut berperan serta melaporkan, mencegah dan mengawasi praktek-praktek kejahatan korupsi dibidang kehutanan. Peran serta masyarakat diharapkan mampu mendorong efektivitas upaya pencegahan kejahatan korupsi dibidang kehutanan sehingga dapat cepat ditindak”.
Pada HAKI tahun ini, Koalisi Peringatan Hari Anti Korupsi yang terdiri dari TI Indonesia, WWF-Indonesia, WALHI, Komunitas Pemuda Anti Korupsi (KOMPAK), Komunitas Seni SERRUM, Komunitas Integritas UNILA, dan Gerakan Pemuda Anti Korupsi (GEPAK) mengadakan kegiatan kampanye publik bersama memperingati HAKI. Koalisi ini muncul dari adanya kesadaran bersama bahwa persoalan korupsi bukan saja tugas KPK, penegak hukum atau penggiat antikorupsi saja.
Masyarakat umum seperti, para seniman, budayawan, mahasiswa, anak muda, dan komunitas kreatif juga memiliki keprihatinan serupa bahwa korupsi adalah musuh bersama dan melawan korupsi bisa dengan berbagai cara.
Hasil Indeks Persepsi Korupsi 2013 yang dikeluarkan oleh Transparency International tanggal 3 Desember 2013 lalu, Indonesia menduduki peringkat 114 dari 177 negara dalam Indeks tersebut dengan skor 32. Diantara negara-negara ASEAN, posisi Indonesia masih dibawah Singapura, Brunei, Malaysia, Filipina, dan Thailand.
Walaupun naik dari peringkat tahun 2012, skor yang masih di bawah 50 mencerminkan masih lazimnya penyaki korupsi terjadi di Indonesia, baik disektor pendidikan, kesehatan, pangan hingga pada sektor pengelolaan sumber daya alam. Praktek korupsi di sektor pengelolaan sumber daya alam tidak banyak diketahui oleh publik. Sehingga diperlukan sarana kampanye yang berbasiskan kepada masyarakat secara luas.
Korupsi juga telah lama menjadi inti permasalahan di sektor pengelolaan sumber daya alam, terutama sektor kehutanan. Modus Penyuapan disinyalir menjadi modus terbesar dalam praktek pengurusan izin kegiatan kehutanan dan kegiatan lain yang menggunakan kawasan hutan. Praktek-praktek ilegal menyangkut tata perijinan pengelolaan hutan dan lahan yang selama ini marak di lapangan tidak pernah terekspos secara utuh di media, padahal itulah penyebab utama degradasi hutan dan sumber daya alam di Indonesia dan seharusnya menjadi perhatian utama para penegak hukum dalam upaya pemberantasan korupsi.
Data dari Human Right Watch, dalam kurun waktu 2007 – 2011 Indonesia mengalami kehilangan pendapatan dari sektor kehutanan sebesar 7 milyar US dollar akibat lemahnya tata kelola kehutanan.
Peranan kelompok masyarakat sipil dan media dalam proses pengawasan praktek-praktek usaha kehutanan yang sarat korupsi dan pencucian uang harus dimaksimalkan agar kasus-kasus korupsi yang terpendam di daerah dapat diangkat dan memberikan efek jera bagi pelaku. Dengan berfungsinya peran tersebut maka secara tidak langsung dapat mengurangi potensi kerugian negara dari pendapatan sektor kehutanan.
Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja
Prasasti Batu Tertua Bertuliskan Sepuluh Perintah Tuhan Terj...
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Prasasti batu tertua yang diketahui yang bertuliskan Sepuluh Perintah Tuha...