Perjanjian Perdagangan Senjata: Mengapa Indonesia Abstain?
SATUHARAPAN.COM - Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) telah menyepakati sebuah perjanjian tentang Perdagangan Senjata. Penandatanganan oleh negara-negara anggota PBB dimulai Senin, 3 Juni lalu. Dan pada hari pertama telah dilakukan oleh hampir 70 negara.
Perjanjian ini merupakan peristiwa yang bersejarah dan sangat penting dalam membangun perdamaian di muka bumi dan mencegah konflik kekerasan yang tidak pernah absen di berbagai belahan bumi.
Konflik-konflik bersenjata di berbagai negara tidak mudah dipadamkan karena berbagai pihak terus memperoleh dukungan melalui perdagangan gelap senjata api. Sumber daya yang dimiliki sering terkuras hanya untuk memperbanyak perlengkapan membunuh, bahkan kepada sesama warga bangsa. Dan konsekuensinya melupakan hal-hal yang justru sangat diperlukan untuk membangun kesejahteraan.
Dalam perjanjian itu, diatur tentang perdagangan senjata antar negara yang mengikat bagi importir maupun eksportir. Perjanjian ini melarang ekspor senjata konvensional di mana diketahui bahwa senjata dapat digunakan dalam kejahatan perang, genosida, serangan terhadap warga sipil dan pelanggaran berat terhadap hukum humaniter internasional.
Tantangannya sekarang adalah bagaimana negara-negara tersebut meratifikasi perjanjian sehingga menjadi hukum positif yang mengikat untuk dilaksanakan. Sayangnya, sejumlah negara produsen dan pengekpor senjata terbesar dunia, seperti Rusia, China dan India menyatakan abstain dalam perjanjian tersebut. Sementara Amerika Serikat belum meperlihatkan sikapnya untuk menandatangani perjanjian itu.
Kontrol terhadap perdagangan senjata memang telah menjadi perhatian banyak pihak dan keprihatinan yang mendalam karena menjadi pendorong konflik kekerasan yang berkepanjangan di berbagai negara. Itu sebabnya, pihak gereja yang tergabung dalam WCC (World Council of Churches / Dewan Gereja-gereja Dunia) telah melakukan kampanye dalam beberapa tahun terakhir.
Gereja memberi perhatian pada perdamaian dan penghentian kekerasan melihat perlunya perjanjian internasional untuk mengotrol perdagangan senjata. Bukan hanya meliputi senjata berat, tetapi juga senjata ringa, amunisi, serta perlunya mengaitkan hal tersebut dengan masalah hak azasi manusia dan perlindungan bagi warga sipil.
Perdamaian di dunia yang didambakan memang tidak hanya berarti absennya peperangan, bahkan juga tidak sepenuhnya berada pada tugas pelaksanaan perjanjian ini. Berbagai instrument lain di dalam internal negara maupun hubungan antar negara mempunyai peran yang penting. Namun demikian, perjanjian ini merupakan langkah yang strategis untuk mengatasi berbagai konflik kekerasan.
Dalam konteks Indonesia, sayangnya negeri yang menyatakan politik luar negerinya bebas aktif, dan terutama aktif dalam membangun perdamaian dunia justru abstain dalam keputusan ini. Hal ini merupakan sikap yang memalukan dan terlihat sebagai dikendalikan pihak lain.
Indonesia harus melihat realita bahwa perdagangan senjata telah menjadi masalah perdamaian yang serius. Dan Indonesia merasakan hal ini dalam konflik di Aceh.
Namun demikian, perjanjian ini telah disetujui dan Indonesia bisa mengoreksi diri dengan menandatangani perjanjian yang sudah disetujui PBB ini. Berbagai pihak di dalam negeri juga selayaknya mendorong pemerintah untuk menandatangai perjanjian tersebut. Dan selanjutnya pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk meratifikasinya. Keterlibatan ini sangat penting dalam mewujudkan peran Indonesia dalam perdamaian dunia.
Tentang sikap ini, sebagai cerminan sikap mendukung perdamaian yang sesungguhnya, tidak ada kata lain, kecuali segera melakukan.
Parlemen Swiss Memilih untuk Melarang Hizbullah Lebanon
BERN, SATUHARAPAN.COM-Parlemen Swiss pada hari Selasa (17/12) memilih untuk melarang Hizbullah, dala...