Perlu Neraca Beras yang Akurat
SATUHARAPAN.COM - Sudah lama permasalahan akurasi data produksi dan konsumsi beras menjadi perdebatan. Prospek produksi yang dinyatakan meningkat, bahkan surplus, sering kali berbeda dengan perkembangan yang terjadi di lapangan. Kelemahan ini mempengaruhi perencanaan operasional di bidang perberasan.
Keragaan program pemerintah (dalam hal ini Bulog) dalam hal penyerapan produksi, pemupukan stok penyangga dan raskin, serta keputusan impor dapat tidak selaras dengan perhitungan neraca produksi-konsumsi. Data produksi dan konsumsi menunjukkan bahwa telah terjadi surplus, namun ternyata perkembangan pasar mengharuskan pemerintah untuk melakukan impor. Seorang ahli statistik pernah menyebutkan bahwa produksi beras mengalami over-estimate lebih dari 20 persen. Demikian juga dengan angka konsumsi sebesar 139 kg/kapita/tahun yang selama ini digunakan, banyak pengamat yang meragukan angka tersebut.
Pernyataan tentang surplus produksi, yang mungkin bersifat politis, cukup membingungkan karena pada kenyataannya harga pasar menggambarkan situasi yang bertolak belakang. Kita tahu persis bahwa setiap keterangan anggota kabinet dianggap sebagai kebijakan, bukan lagi sebagai wacana. Pada gilirannya, muncul polemik di media massa yang membingungkan masyarakat. Hal-hal seperti ini terjadi hampir setiap tahun. Dengan demikian, neraca produksi-konsumsi yang akurat mutlak diperlukan agar publik memperoleh informasi yang benar.
Intervensi Pasar Bertumpu pada Mekanisme Pasar
Intervensi pasar di pasar beras, lebih banyak bergantung pada mekanisme pasar, bukan pada data resmi produksi. Dalam pengendalian harga di pasar produsen, pembelian hasil produksi petani dilakukan selama musim panen dengan berpedoman pada harga pembelian pemerintah (HPP). Manakala harga lebih rendah atau sama dengan HPP, maka gabah dan beras tetap harus dibeli dengan harga tersebut. Pembelian tersebut merupakan tambahan permintaan sehingga harga akan mengalami kenaikan. Kalau harga lebih tinggi dari HPP, beras/gabah petani akan mengalir ke pasaran umum.
Dalam pengendalian harga di pasar produsen, intervensi pasar berfungsi sebagai buyer of the last resort, sebagai bumper, agar harga tidak di bawah HPP. Target pembelian adalah agar harga produsen paling rendah selevel HPP, tidak boleh lebih rendah, agar petani dapat terlindungi pendapatannya. Dengan demikian, target program pembelian bukanlah jumlah, melainkan jaminan harga bagi petani. Sepanjang harga sudah lebih tinggi daripada HPP, maka mekanisme pasarlah yang berfungsi sepenuhnya.
Di pasar konsumen, dilakukan operasi pasar untuk mengendalikan harga selama paceklik (November-Februari). Kegiatan ini dimaksudkan agar konsumen berpendapatan rendah dapat membeli beras dengan harga terjangkau. Ini merupakan bentuk transfer pendapatan kepada masyarakat miskin, yang bersifat subsidi umum (general subsidy), artinya beras OP dijual kepada siapa saja atau ke pasaran umum. Dalam hal ini Bulog, di pasar konsumen, adalah seller of the last resort.
Harga Indikator Terbaik Kalau Data Produksi Konsumsi Meragukan
Harga terbentuk karena keseimbangan penawaran dan permintaan. Tinggi rendahnya harga bergantung pada preferensi/selera, pendapatan konsumen, elastisitas permintaan, dan tingkat kompetisi pasar.
Pasar beras Indonesia, jika tidak ada intervensi pasar, adalah pasar yang mendekati persaingan sempurna sehingga semua pelaku pasar adalah penerima harga (price takers). Pada saat dilakukan intervensi, Buloglah yang menjadi price maker karena mampu membentuk harga, sedangkan pelaku pasar yang lain menjadi market followers.
Harga merupakan pencerminan keragaan pasar. Peranan harga sebagai indikator pasar semakin menonjol manakala data produksi dan konsumsi diragukan kebenarannya. Data tersebut dapat tidak representatif karena under-estimate, over-estimate, out of date, atau karena kualitasnya buruk. Data yang kualitasnya buruk tidak dapat diandalkan sebagai bahan analisa untuk pengambilan keputusan operasional. Karena merupakan day to day operations, keputusan operasional (pembelian, operasi pasar, raskin, impor) mutlak memerlukan data yang reliable.
Timbul pertanyaan, mengapa dengan produksi tinggi, surplus produksi besar, dan angka pembelian kecil, namun harga sudah terangkat naik? Apanya yang salah? Data produksi, konsumsi, ataukah efektivitas intervensinya? Untuk itu, kita harus menelaah dengan cermat beberapa hal, antara lain: apakah angka produksi cukup representatif dalam hal realibility-nya (apakah akurat? apakah up to date?).
Kalau data produksi diragukan akurasinya, maka diperlukan informasi tambahan, misalnya: perilaku pelaku pasar (ekspektasi pasar, perilaku perdagangan dan stok yang dikuasai). Semua faktor tersebut (produksi, marketed surplus, stok masyarakat, perdagangan antar tempat dan antar waktu) merupakan penentu harga. Dengan demikian, karena data produksi dan konsumsi diragukan akurasinya, hargalah, yang menjadi tumpuan dalam analisa pasar.
Harus Ada Neraca Beras Nasional Akurat
Permasalahan yang berkepanjangan ini tidak boleh berlarut-larut. Kita memerlukan segera data yang representatif sebagai dasar perencanaan operasional. Dengan neraca yang akurat, swasembada juga dapat terukur dengan baik. Selama ini, estimasi produksi disusun metode konvensional dengan perkiraan luas panen (dengan eye-estimate, laporan desa, atau dengan pendekatan penggunaan pupuk/air oleh diperta setempat) dan data produktivitas (berdasarkan survei ubinan oleh BPS dan diperta setempat). Banyak pengamat yang mempertanyakan akurasi kedua data tersebut. Apakah data luas panen cukup representatif, mengingat tidak semuanya dikumpulkan oleh mantri stististik? Dalam hal ini, BPS hanya sebagai pengolah dan pengguna data.
Untuk memperoleh data ketersediaan beras, kita juga harus menghitung kebutuhan untuk benih, susut pasca panen, kebutuhan untuk pakan, kebutuhan untuk industri (tepung beras, bihun, dan lain-lain) dan rendemen giling (milling ratio). Masing-masing data tersebut dapat bervariasi setiap musim.
Yang juga tidak kalah pentingnya dalam penyusunan neraca ini adalah data stok di pasar, yang dimiliki oleh petani, penggilingan, pedagang, pengecer, dan pengguna akhir (rumah tangga, warung/restauran dan lain-lain). Perlu dilakukan suvei secara rutin di setiap awal tahun (untuk mengetahui stok awal tahun) dan akhir musim panen raya (untuk mengetahui stok akhir musim panen) untuk memantau perkembangan stok gabah/beras di masyarakat. Sejauh ini survei stok ini baru sekali dilakukan (oleh Sucofindo) dengan biaya yang cukup besar yang disediakan oleh Kemendag.
Data konsumsi konsumsi dikumpulkan secara periodik, antara lain melalui Susenas modul konsumsi rumah tangga. Susenas ini dilakukan di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten. Susenas merupakan sumber satu-satunya data konsumsi langsung. Konversi konsumsi makanan di luar rumah masih dalam pengkajian.
Di samping Susenas, konsumsi beras juga dihitung berdasarkan I-O (konsumsi akhir rumah tangga), SBH (konsumsi rumah tangga ekonomi), neraca bahan makanan oleh BKP dan Pusdatin Kementan, serta konsumsi di dalam dan di luar rumah tangga (oleh Sucofindo). Masing-masing data konsumsi tersebut berbeda. Data Susenas mempunyai kemungkinan under-estimate, perhitungan dengan neraca bahan makanan (oleh BKP, Pusdatin atau Bulog) masih over/under-estimate, sedangkan penggunaan Tabel I-O masih memerlukan kajian yang lebih mendalam.
Adanya permasalahan akurasi dan beragam versi data produksi dan konsumsi tersebut menunjukkan sangat pentingnya disusun satu neraca beras nasional yang akurat oleh lembaga independen yang lepas dari berbagai kepentingan dan ego-sektoral. Neraca yang representatif mutlak diperlukan untuk menghilangkan bias data yang berkelanjutan. Pemerintah harus mempunyai keberanian untuk memperbaiki data tersebut, walaupun terdapat kemungkinan data PDB juga akan ikut terkoreksi. Dengan neraca yang akurat, polemik dapat dihindari sehingga dapat disusun kebijakan di bidang perberasan yang lebih baik. Jika dapat terwujud, kredibilitas pengambil keputusan akan meningkat dan kebingungan publik dapat dihindari.
Neraca tersebut penting sekali peranannya mengingat bahwa Indonesia masih merupakan marginal importer/exporter (sedikit impor/ekspor), yang terdiri atas kepulauan dengan pertumbuhan konsumsi yang tinggi dan produksi yang berfluktuasi. Di lain pihak, pasar dalam negeri semakin terbuka berhadapan dengan pasar dunia yang selalu bergejolak. Dengan data yang benar, akan dapat disusun strategi perberasan yang lebih rasional dan komprehensif. Mudah-mudahan segera terwujud karena tantangan mewujudkan ketahanan pangan yang berkelanjutan akan semakin berat.
Mohammad Ismet PhD adalah Wakil Rektor Bidang Kerja Sama Universitas Cokroaminoto Yogyakarta. Pernah bekerja di Bulog selama 1981-2012. Sebagai Direktur Perencanaan dan Pengembangan Usaha Perum Bulog (2009-2011) dan Staf Ahli Perum Bulog (2011-2012). Juga aktif sebagai konsultan peneliti di berbagai lembaga internasional.
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...