Perlu Sanksi Pidana Bagi Pelanggaran Lembaga Survei
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Koordinator Komite Pemilih Indonesia, Jeirry Sumampow mengatakan perlunya pemberian sanksi pidana kepada lembaga survei yang melakukan pelanggaran. Pasalnya, hasil survei itu mengakibatkan keresahan masyarakat.
Ke depannya harus ada aturan dari organisasi induk (asosiasi) yang menaungi lembaga survei, selain sanksi administratif juga harus ada sanksi pidana. Ditakutkan pada Pilpres selanjutnya keempat lembaga survei yang hasilnya beda itu melakukan survei lagi.
“Maka untuk dua lembaga yang tidak mau diaudit ini, harus ada organisasi induk yang berani melaporkan ke pengadilan. Mungkin bisa masuk dari kategori kebohongan publik karena dia memalsukan data, apalagi sekarang sudah ada auditnya,” kata Jeirry dalam acara diskusi publik yang diselenggarakan Emrus Corner bertema Mengawal Suara Rakyat Pilpres 2014 dari Kecurangan, di Restoran Horapa, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (17/7).
Seperti diketahui, empat lembaga survei tersebut antara lain JSI (Jaringan Suara Indonesia) dan Puskaptis (Pusat Kajian Kebijakan dan Pembangunan Strategis) ada di bawah naungan asosiasi Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia (Persepi). Sedangkan dua lembaga lainnya yaitu IRC (Indonesia Research Center) dan LSN (Lembaga Survei Nasional) di luar Persepi.
Jeirry menambahkan, sebaiknya lembaga-lembaga survei yang apabila terbukti melanggar, jangan sampai dikasih kesempatan untuk melakukan survei lagi.
Penggunaan quick count atau hitung cepat dari lembaga survei sebetulnya suatu kemajuan bagi demokrasi kita. Dulu di 2009 hasil tersebut relatif diterima, dan dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) juga masih diterima, bahkan tiga bulan lalu quick count juga masih diterima.
Tetapi sekarang entah kenapa ada yang hasilnya beda. Suatu survei mestinya tidak ada perbedaan yang terlalu jauh.
“Bagaimana mungkin suatu penelitian yang dilakukan bersamaan, dengan metodologi yang sama, jumlah sampel yang relatif sama, hasilnya bisa beda? Ini yang membuat masyarakat bingung. Sebetulnya mereka bisa saling mengoreksi, bahwa perbedaan harusnya masih dalam margin of errors (angka toleransi tidak lebih dari 1%, Red),” kata Jeirry.
Sejak adanya audit lembaga survei, masyarakat bisa percaya pada lembaga survei yang punya rekam jejak baik. Tapi kalau ada lembaga survei yang menolak untuk diaudit, ini indikasi awal adanya kebohongan.
“Kalau orang jujur, dia akan dengan rela diaudit,” tegas Jeirry.
Lebih jauh Jeirry menjelaskan, meskipun sudah ada hasil quick count, tetapi masih terlalu dini jika kita menyimpulkan manipulasi dilakukan hanya salah satu pasangan capres, meskipun lembaga survei yang hasilnya memenangkan kubu pasangan capres itu tidak mau diaudit.
Bagaimanapun juga, dua pasangan capres ini masih saling klaim kecurangan, dan modus-modus kecurangan berpotensi dilakukan keduanya.
“Sejak awal saya petakan, di dua pasangan ini ada kepala daerah yang menjadi ketua tim sukses di daerahnya, di situlah selalu ada potensi kecurangan, bukan hanya di kubu Prabowo-Hatta, tetapi kubu Jokowi-JK juga mungkin saja,” duganya.
Namun itu semua modus yang masih harus diteliti, apakah ini sudah masuk kategori kecurangan atau kelalaian penyelenggara pemilu semata, atau mungkin sebaiknya dibuat aturan kepala daerah dilarang menjadi tim sukses capres tertentu, tapi rasanya aturan itu tidak mungkin diterapkan.
Selain itu, perlunya sanksi bagi penyelenggara pemilu yang melakukan pelanggaran, serta memperberat sanksi supaya ada efek jera.
Pasalnya ada kasus orang di suatu desa disuap miliaran rupiah, dan memilih mengambil risiko di penjara hanya beberapa bulan saja, maksimal enam bulan karena melakukan kecurangan dengan mengubah hasil rekapitulasi.
Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja
Puluhan Anak Muda Musisi Bali Kolaborasi Drum Kolosal
DENPASAR, SATUHARAPAN.COM - Puluhan anak muda mulai dari usia 12 tahun bersama musisi senior Bali be...