Perlu Teknologi Lebih Canggih Atasi Mudik
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah menyatakan, perlu penerapan teknologi lebih canggih untuk mengantisipasi dan mengatasi arus mudik lebaran, agar persoalan yang ada saat ini tidak terulang di masa mendatang.
"Dunia sudah maju, ada teknologi yang setiap saat bisa untuk melihat kemacetan," katanya kepada pers di Jakarta, Kamis (7/7).
Dia mengatakan, pemerintah bisa melacak dengan teknologi dan menghitung semuanya yang ada sehingga tidak berkumpul di satu titik pada saat yang sama.
"Ini bisa diantisipasi dari awal. Harusnya bisa diprediksi, ada ilmunya, berapa mobil yang akan mudik setahun sampai lima tahun ke depan," katanya.
Pemerintah perlu mengkalkulasi jumlah kendaraan dan jumlah ruang jalan dengan variabel-variabel lainnya sehingga ada solusi.
"Melalui perencanaan bisa dihitung. Sekarang orang stres dan banyak korban. Kalau sudah ada kedaruratan seperti ini harusnya ada solusi darurat," katanya.
"Itulah yang saya mention seharusnya jalan darurat ada untuk mengevakuasi. Seperti asisten rumah tangga saya itu biasa 6-7 jam (sampai rumah), kemarin itu 48 jam. Gak ada tanggap darurat, orang seperti dibiarin `numplek` dengan berbagai masalahnya mulai ketidaktersediaan toilet, makanan, air bersih dan sebagainya," katanya.
Jadi kesimpulannya, kata politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini, pemerintahan perlu merancang manajemen yang lebih baik dalam mengatasi arus mudik. "Kalau tahun depan masih berulang yah saya tidak tahu harus bilang apalagi," katanya.
Dia mengakui pernyataannya keras, namun untuk kebaikan semua. "Ini harus kita katakan secara keras karena ini masalah nyawa warga negara. Kita belum menghitung kerugian lain, misalnya, bensin dan kemubaziran secara nasional," katanya.
Fahri mengemukakan, persoalan kemacetan pada arus mudik tahun ini harus membuka mata hati pihak terkait. "Sekarang membuka mata kita tentang tol. Perlu ada inisiatif untuk menyelamatkan orang yang terjebak macet," katanya.
Tol, seharusnya jalan bebas hambatan dan semestinya pengelolanya tahu volume yang masuk dan tahu bahwa akan terjadi hambatan.
"Kalau ada kemacetan maka tidak bisa disebut jalan tol lagi dan semestinya tidak boleh memungut bayaran," katanya.
Saat arus mudik, kata dia, pengelola jalan tol sudah mendapatkan pemasukan dari yang seharusnya. Oleh sebab itu kematian warga itu harus mendapat perhatian serius. "Ini sama saja kalau orang naik bus kecelakaan dan mati, harus ada ganti rugi (santunan)," katanya.
"Namanya jalan tol bebas hambatan. Harusnya sekarang pihak tol mengganti rugi. Jalan biasa ada alternatif, di tol gak seperti ini, gak ada alternatif dan tentu menciptakan stres," katanya.
Dia mengatakan, setiap kehilangan satu nyawa seharusnya dianggap sebagai persoalan serius dan tidak boleh dianggap persoalan biasa. "Ini konsepsi negara beradab, satu atau sepuluh nyawa nilainya sama, apalagi ada belasan nyawa hilang. Ini satu hal serius," katanya.
Dia mengemukakan, fenomena kemacetan setiap tahun adalah sesuatu yang berulang dan sebetulnya pasti bisa di atasi serta diantisipasi.
Sebelumnya, Fahri menyarankan pemerintah dan pengelola jalan tol menggratiskan tarif ketika terjadi antrean panjang hingga beberapa jam agar pemudik tidak tersiksa. Kemacetan itu, antara lain, terjadi di pintu tol Brebes Exit (sebagian orang menyebut Brexit).
Beberapa pemudik Lampung mengatakan, sependapat dengan pendapat Fahri Hamzah, bahwa kalau terjadi kemacetan, maka tidak layak disebut jalan tol dan tidak layak pula dipungut bayaran, karena tidak ada bedanya dengan jalan biasa.
Untuk menghindari antrean di pintu tol, perlu menerapkan cara pembayaran yang lebih beragam, kalau perlu pakai teknologi sensor elektronik seperti ERP yang diterapkan untuk jalan berbayar.
Selain itu, perlu memberi kemudahan kepada warga untuk membayar tol dengan berbagai cara. Misalnya, ATM, kartu kredit, e-tol, e-money, Kantor Pos, minimarket dan sebagainya.
"Jangan solusinya cuma nambah petugas dan jumlah loket," kata pemudik.
Dengan demikian, kendaraan langsung "bablas" ketika melintasi pintu tol dan tidak harus antre berjam-jam hanya untuk membayar tarif keluar pintu tol.
Yang tak kalah pentingnya, pengelola jalan tol harus taktis dengan tidak membiarkan semakin banyak kendaraan yang masuk tol, agar tidak terjadi kemacetan di pintu tol. Artinya, jika terjadi antrean panjang di pintu tol, maka untuk sementara pintu msuk tol ditutup dan dibuka lagi ketika antrean tidak terlalu panjang di pintu tol.
"Sebaiknya ketika di pintu tol terjadi antrean, misalnya, maksimal satu atau dua kilometer, segera tutup pintu masuk tol agar tidak terjadi antrean lebih panjang yang menyiksa pemudik lalu alihkan ke jalan lain. Jangan demi pendapatan, lalu membiarkan semakin banyak kendaraan masuk tol tanpa memikirkan risiko yang dialami pemudik," kata pemudik lainnya.
Mestinya pengelola jalan tol itu membatasi kendaraan yang akan masuk agar tidak macet di pintu keluar. "Ini agar jalan tol lancar, kalau tanpa ada pembatasan ya macet dan akibatnya tidak ada beda dengan biasa," katanya. (Ant)
Editor : Eben E. Siadari
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...