Loading...
SAINS
Penulis: Sabar Subekti 07:14 WIB | Rabu, 31 Juli 2013

Pernyataan Perempuan Hamil Tidak Boleh Tampil di Publik Diprotes di Turki

Permpuan Turki berdemo menentang pernyataan perempuan hamil tidak boleh tampil di publik. (Foto: dw.de)

ISTANBUL, SATUHARAPAN.COM – Ratusan perempuan di Turki, kebanyakan dari mereka sedang hamil, berdemonstrasi menentang pernyataan tokoh Muslim yang melarang perempuan hamil keluar rumah. Hal ini merupakan bagian dari pertarungan antara kepentingan agama dan sekuler di Turki.

Warga Turki di Istanbul dan kota lain turun ke jalan setelah cendekiawan Islam menggambarkan perempuan hamil yang tampil di publik sebagai tidak bermoral.  "Ini tubuh saya. Itu keputusan saya." Itulah motto yang diangkat para demonstran menentang pernyatan tersebut.

Aksi ini juga didukung kaum laki-laki sebagai sikap solidaritas. Di Twitter, protes itu diselenggarakan di bawah title # direnhamile (resistensi kehamilan). Aksi itu juga menggunakan jejaring sosial lainnya, Facebook, yang menampilkan wanita hamil berbagi foto diri dengan perut besar mereka.

Pernyataan di TV

Yang memicu protes adalah wawancara yang disiarkan oleh penyiar televisi pemerintah, TRT, dengan Ömer Tugrul Inancer.  Pengacara dan cendekiawan Islam Turki itu mengatakan bahwa wanita yang hamil tujuh bulan atau lebih tidak boleh keluar dan tampil di depan umum.  

Dia menyebutkan, wanita hamil sangat tidak estetik. Inancer menambahkan bahwa jika wanita tersebut ingin mendapatkan udara segar, mereka harus didorong oleh suami mereka atau pergi hanya keluar pada malam hari.

Direktorat Agama Turki merilis sebuah pernyataan  dalam menanggapi pernyataan tersebut. Direktorat ini mengatakan bahwa Islam tidak menyerukan isolasi wanita hamil. "Sebaliknya, menjadi seorang ibu adalah hadiah," kata pernyataan otoritas Islam tertinggi di negara itu. Direktorat itu menambahkan bahwa wanita hamil harus berpakaian sopan, dan tidak mengungkapkan perut atau punggung mereka.

Pemerintahan Erdogan Lebih Buruk

Perempuan Turki seperti Beyhan Güngör tidak bisa menahan kemarahan mereka atas wawancara yang disiarkan melalui televisi saluran negara. Ibu berusia 57 tahun itu mengatakan negara tidak perlu terlibat pada apa yang harus dia lakukan dengan tubuhnya. Güngör menjelaskan, pemerintah pimpinan Perdana Menteri Recep Tayyip Erdogan sebagai penindas perempuan selama dekade terakhir.

"Mereka mencoba untuk mengatur setiap detail kehidupan kita. Dikatakan bahwa perempuan harus hanya tinggal di rumah dan memiliki anak, setidaknya tiga. Itu yang pernah disampaikan Perdana Menteri Erdogan," kata Güngör.

Para demonstran mengatakan bahwa dari semua pemerintahan, di bawah Erdogan adalah yang terburuk bagi perempuan. "Dia mencoba untuk membentuk masyarakat yang didasarkan pada akar Islamnya," kata Güngör. Dan yang "membatasi hak-hak perempuan," tambahnya.

Tekanan dari Semua Sisi

Demonstran menggambarkan hak-hak perempuan di Turki sebagai masih sulit dipahami. Protes pro perempuan juga terjadi di depan gedung TRT di Izmir,  kota terbesar ketiga di Turki yang dianggap sebagai sangat modern dan progresif.

Günes Akcay, wakil juru bicara Partai Hijau dan Partai Kiri Masa Depan di Izmir, menggambarkan sifat ilusif hak-hak perempuan di Turki. "Sepertinya saya bebas. Saya bisa memakai celana pendek saya atau rok pendek, tapi ada tekanan dari setiap sisi untuk menikah," kata perempuan 32 tahun itu.

Dia menggambarkan bagaimana ketika perempuan mendekati usia 30 tahun, tekanan tumbuh pada mereka untuk menikah dan memiliki anak. "Ibumu mengatakan itu, tetangga dan rekan kerja juga demikian. Bahkan bos Anda membuat komentar seperti itu tentang kehidupan pribadi Anda," kata Akcay.

Identitas perempuan di Turki sangat banyak terikat untuk menjadi seorang istri dan ibu, dan bukan individu, ia menambahkan.

Erdogan telah membuat komentar khusus tentang bagaimana perempuan harus tampil, Akcay menunjukkan. "Dia berbicara menentang aborsi dan tentang kelahiran dengan bedah caesar," kata Akcay. Wanita di Turki juga dinilai rendah jika memiliki sedikit anak. "Kami terus turun ke jalan dalam menanggapi jenis-jenis kebijakan pemerintah," jelasnya.

Aktivis hak-hak perempuan, Karin Ronge, tidak melihat situasi bagi perempuan di Turki dengan begitu dramatis. Dia percaya tidak hanya ada satu peran bagi seorang perempuan. "Turki adalah negara yang beragam. Tidak ada satu wanita Turki," kata Ronge, menunjuk ke banyak perempuan berpendidikan tinggi di sektor perbankan, atau yang bekerja di sekolah-sekolah dan universitas.

Selama 18 tahun terakhir, Ronge telah aktif dengan LSM  perempuan, dan Hak Asasi Manusia Perempuan di Istanbul. Dia melihat pemerintahan Erdogan juga telah membuat langkah-langkah positif bagi perempuan Muslim di Turki.

"Kita tidak bisa mengatakan bahwa pemerintah telah membuat segalanya lebih buruk," kata Ronge. Dia menunjukkan bahwa di bawah Erdogan, perempuan diperjuangkan dan sebagian mendapatkan hak untuk mengenakan jilbab ke universitas. Membiarkan hal ini tetap dilarang akan menjadi pelanggaran terhadap hak atas pendidikan, kata Ronge.

Ronge mengkritik pernyataan pemerintah tentang hukum aborsi di Turki yang berlaku sejak tahun 1983. Bahkan jika pemerintah Turki belum mampu untuk melarang aborsi, tekanan moral akan meningkat, katanya.

Dia menggambarkan bagaimana dalam beberapa kali, beberapa dokter telah menyebutkan keyakinan agama dalam menolak untuk melakukan aborsi di sana. Tapi Ronge juga menunjukkan bagaimana Islam menyajikan perspektif yang berbeda tentang masalah ini.

"Dalam Islam, ada arah yang sangat beragam dalam penafsiran," katanya. "Beberapa ulama mengatakan bahwa jiwa memasuki tubuh hanya setelah usia kehamilan 40 hari," kata Ronge memberi contoh.

Wanita di Turki yang melapor pada polisi tentang kekerasan dalam rumah tangga yang dialami sering dikirim kembali ke pelaku, kata Ronge. Mekanisme negara tidak bekerja, dalam hal ini, ia menambahkan. (dw.de)

Editor : Sabar Subekti


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home