Pernyataan Sikap PGI atas Vonis Ahok
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Menyikapi putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara terhadap Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) mengajak masyarakat Indonesia menghargai dan mematuhi -putusan hukum yang berkeadilan, yang telah berkekuatan hukum tetap.
Sejalan dengan ini, PGI menilai putusan atas kasus Ahok belum berkekuatan hukum tetap, karena ia masih mengajukan banding.
"Untuk itu, kami mengajak semua elemen masyarakat, termasuk Majelis Hakim PN Jakarta Utara, untuk menghargai hak-hak Ahok sampai kepada putusan hukum yang berkekuatan hukum tetap," demikian pernyataan Majelis Pekerja Harian (MPH) PGI yang diterima satuharapan.com hari ini (10/05).
Selengkapnya pernyataan itu adalah sebagai berikut:
Proses peradilan yang berlangsung atas dakwaan penistaan Agama yang dilakukan oleh Ir Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) telah menyita perhatian dari masyarakat luas, bukan hanya masyarakat Jakarta, tetapi juga masyarakat Indonesia dan dunia. Dan putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara, yang menjatuhkan pidana penjara 2 (dua) tahun terhadap Ir Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) telah menuai beragam tanggapan. Menyikapi hal ini, Majelis Pekerja Harian Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (MPH-PGI) merasa perlu menyampaikan beberapa hal berikut:
1. Sebagai bagian utuh dari masyarakat Indonesia, kami menghargai –dan harus mematuhi -putusan hukum yang berkeadilan, yang telah berkekuatan hukum tetap. Dan sejalan dengan ini, kami juga menghimbau dan mengajak seluruh elemen masyarakat untuk ikut menghargai dan mematuhi hukum. Dalam kaitan dengan putusan PN Jakarta Utara terhadap Ir Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) tersebut, kami menilainya sebagai yang belum berkekuatan hukum tetap, karena Ir Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) masih mengajukan banding. Untuk itu, kami mengajak semua elemen masyarakat, termasuk Majelis Hakim PN Jakarta Utara, untuk menghargai hak-hak Ahok sampai kepada putusan hukum yang berkekuatan hukum tetap.
2. Mengikuti dan mempelajari perjalanan kasus ini sejak awal, kami menyaksikan betapa saratnya proses peradilan ini dengan kepentingan politik, yang mewujud dengan pemaksaan kehendak dari sekelompok kepentingan melalui pengerahan massa. Kami berharap bahwa proses hukum yang berlangsung sungguh-sungguh bebas dari tekanan dan bersifat tidak memihak. Oleh karena itu kami sangat menyayangkan bahwa tekanan massa yang luar biasa di sekitar gedung pengadilan dengan beragam orasi yang sungguh mencekam tidak mendapat tindakan hokum yang memadai, walau sudah dapat dikatakan contempt of court. Keadaan seperti ini, menurut kami, sangat membahayakan dalam pembangunan hukum ke masa depan.
3. Kami sungguh menghormati kebebasan hakim, tetapi pada saat sama hakim haruslah juga menghargai kebebasannya dengan melepaskan diri dari berbagai bentuk pengaruh dan tekanan yang datang dari luar. Kebebasan hakim harus diletakkan di bawah tanggung-jawab kepada Tuhan, dengan mendengarkan suara hati secara jernih.
4. Menurut catatan kami, putusan PN Jakarta Utara terhadap Ir Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) ini telah menambah banyak kasus pidana terkait dengan penistaan agama (blasphemy law). Sejak awal, MPH-PGI telah menyatakan perlunya pemerintah meninjau ulang produk hukum yang sangat diskriminatif dan sarat dengan pasal-pasal karet ini. Itu sebabnya pada 2010, PGI ikut mendukung Judicial Review atas UU Nomor 1/PNPS/1965, yang kemudian diadopsi menjadi Pasal 156a KUHP, yang menjadi dasar pemidanaan Ahok. Kami menilai, Undang-undang penodaan agama ini sangat sumir dan rentan untuk digunakan secara semena-mena, sesuai dengan kepentingan atau pesanan kelompok atau pihak tertentu. Olehnya, kami menghimbau Negara (pemerintah dan parlemen) untuk merevisi undang-undang ini agar lebih sesuai dengan upaya penegakan hukum dan hak-hak azasi manusia.
5. Kami juga menguatirkan Putusan PN Jakarta Utara ini akan menjadi pintu masuk bagi rangkaian kriminalisasi oleh kelompok-kelompok masyarakat dan aparat dengan mengajukan berbagai klaim dan tuduhan akan penistaan agama. Dan belajar dari kasus Ir Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) ini, pengerahan massa dan tekanan kepada proses peradilan akan kembali mengemuka.
6. Ungkapan keprihatinan kami ini hendaknya tidak dilihat sebagai semata-mata menyangkut nasib Ir Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) tetapi lebih merupakan keprihatinan atas nasib dan masa depan Bangsa dan Negara kita: masihkah Negara kita merupakan Negara Kebangsaan atas dasar Pancasila atau sudah berubah menjadi Negara Agama. Kekuatiran ini mengemuka karena hakim mendasarkan putusannya atas Fatwa MUI, sebagaimana kecenderungan beberapa pejabat publik akhir-akhir ini mendasarkan kebijakan publik atas dasar fatwa sesuatu agama.
7. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, kami menghimbau kepada pihak pengadilan untuk:
a. Menghargai hak-hak Ir Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) untuk dapat hidup bebas di luar penjara hingga putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap mengatakan lain;
b. Memberikan kepastian proses hukum yang bebas dari tekanan dan pesanan, adil dan tidak memihak untuk proses selanjutnya di tingkat banding dan kasasi;
c. Memastikan bahwa dalam pengambilan putusan, hakim haruslah lebih menukik pada substansi hukum dan tidak terjebak pada prosedur hukum semata, terutama terkait pasal-pasal karet yang multitafsir;
d. Memberikan kemungkinan pengujian publik secara terbuka atas putusan PN Jakarta Utara tersebut. Dan sekaitan dengan ini, kami juga mendesak penegak hukum untuk dapat mengkoreksi putusan yang kontroversial.
8. Kami juga menghimbau kepada seluruh masyarakat dan bangsa Indonesia untuk tetap berjalan dalam koridor hukum dan tidak terpancing pada aksi dan tindakan yang dapat memperkeruh suasana. Kami menghimbau seluruh masyarakat Indonesia untuk lebih mengedepankan amanat konstitusi yang mengatur kehidupan bersama ketimbang berkutat pada arahan dan pengaturan yang hanya berlaku untuk sekelompok atau sebagian masyarakat.
9. Tidaklah berlebihan bila kami juga meminta perhatian serius dari pemerintah akan kecenderungan pemaksaan kehendak oleh kelompok-kelompok masyarakat melalui tekanan dan pengerahan massa yang disertai dengan ujaran-ujaran kebencian dan, apalagi, penistaan terhadap konstitusi dan symbol-simbiol Negara. Pembiaran terhadap kecenderungan seperti ini akan membawa masyarakat dan bangsa kita ke arah kehancuran. Pada sisi lain, harus juga dihindari kemungkinan mengorbankan seseorang sebagai tumbal demi ketenteraman sekelompok orang atau atas alasan keamanan masyarakat.
Kiranya Tuhan yang Maha Kuasa memberikan hikmat kepada kita semua untuk membangun bangsa ini ke arah yang dicita-citakan oleh seluruh masyarakat, sebagaimana terungkap dalam Pembukaan UUD 1945: masyarakat bahagia, adil dan sejahtera.
Majelis Pekerja Harian PGI,
Pdt Dr. Henriette T.H. Lebang (Ketua Umum), Pdt Gomar Gultom (Sekretaris Umum)
Editor : Eben E. Siadari
Duta Besar: China Bersedia Menjadi Mitra, Sahabat AS
BEIJING, SATUHARAPAN.COM-China bersedia menjadi mitra dan sahabat Amerika Serikat, kata duta besar C...