Perpustakaan Nasional Kembangkan Layanan Penyandang Disabilitas
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Perpustakaan Nasional sedang mengembangkan layanan publik untuk penyandang disabilitas. Saat ini, fasilitas publik untuk penyandang disabilitas memang belum ramah dan mudah diakses. Penyandang disabilitas belum dianggap bagian dari masyarakat, yang berhak mendapatkan layanan publik. Persepsi inilah yang harus diubah agar penyandang disabilitas mendapatkan hak yang sama dengan seluruh warga negara Indonesia.
Kepala Pusat Jasa Perpustakaan dan Informasi Titiek Kismiyati mengakui layanan publik untuk penyandang disabilitas di Perpustakaan Nasional (gedung Salemba) masih minim. Tidak hanya akses gedung, koleksi huruf braille pun belum mutakhir. Namun Titiek berjanji, ke depannya, Perpustakaan Nasional akan menyediakan fasilitas untuk penyandang disabilitas. Gedung layanan yang sedang dibangun di Jalan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, kata Titiek, akan memiliki satu lantai khusus untuk penyandang disabilitas.
Kerja sama dengan penyandang disabilitas dibutuhkan agar desainnya sesuai dengan kebutuhan dan mudah diakses. “Tantangan kami adalah apakah para pustakawan sudah siap menerima para penyandang disabilitas. Karena perlu pelatihan khusus, sehingga saat layanan gedung baru sudah siap, mereka bisa melayani. Pustawakan harus diberikan materi pelatihan bagaimana melayani penyandang disabilitas,” kata Titiek, seperti yang diberitakan dari situs pnri.go.id.
Hal ini disampaikan Titiek dalam diskusi “Memahami Disabilitas untuk Pelayanan Publik yang Inklusif dan Ramah” yang diselenggarakan di ruang teater Perpustakaan Nasional, Jakarta, baru-baru ini. Menurut Direktur Mimi Institute, Mimi M Lusli, masyarakat atau negara harus memahami kebutuhan penyandang disabilitas, agar menghasilkan layanan publik yang bermanfaat.
“Pahami bahwa disabilitas merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM). Masyarakat Indonesia harus menerima kami sebagai warga Indonesia. Bukan hanya sekedar orang yang butuh sedekah, orang dengan masalah kesehatan, warga yang tuna. Jadi hak kami atas akses yang baik, harus dipenuhi,” kata wanita yang penglihatannya berkurang sejak usia 17 tahun ini.
Menurut wanita yang sedang menempuh pendidikan doktor di Belanda ini, banyak kendala yang dialami para penyandang disabilitas. Selain budaya yang menganggap sebelah mata para penyandang disabilitas, masyarakat juga belum memiliki pemahaman yang baik. “Masyarakat belum paham, kalau disabilitas urusan bersama, bukan hanya urusan orang yang tuna. Padahal disabilitas bukan artinya tidak normal. Kita semua normal, hanya cara hidup yang berbeda. Kami adalah bagian dari keragaman. Kalau orang normal melihat pakai mata, saya melihat pakai tangan dan telinga,” katanya.
Berbekal pengalaman saat menempuh pendidikan di Inggris, Mimi merasakan nyamannya layanan publik untuk penyandang disabilitas. Karenanya, dia ingin layanan publik tersebut juga ada di Indonesia. Dia pun mendorong Perpustakaan Nasional, agar menyediakan fasilitas layanan publik yang memadai. Menurutnya, lingkungan harus melakukan perubahan untuk meminimalisasi hambatan penyandang disabilitas. Sehingga aksesibilitas atau kemudahan untuk orang disabilitas bisa terpenuhi, sesuai dengan pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945. “Penyandang disabilitas juga punya hak mengakses perpustakaan. Kami juga butuh ke perpustakaan,” katanya.
Sementara itu, Direktur Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas Kementerian Sosial, Nahar, menyambut baik usaha Perpustakaan Nasional dalam memberikan layanan publik yang baik. Dia berharap seluruh lembaga dan kementerian bisa memenuhi akses layanan publik untuk penyandang disabilitas. “Apalagi Undang-Undang Disabilitas sudah disahkan di paripurna DPR pada 17 Maret lalu. Jadi tinggal dikasih nomor saja. Karenanya, seluruh lembaga harus menyediakan layanan publik untuk penyandang disabilitas,” katanya.
Dia berharap, saat memberikan layanan publik untuk penyandang disabilitas, Perpustakaan Nasional jangan berpikir pemakaiannya terbatas. “Berpikirlah seandainya suatu hari saya seperti mereka. Misalnya, karena stroke atau kecelakaan, maka saya harus pakai kursi roda, tidak bisa melihat, dan sebagainya,” katanya.
Nahar berpesan, agar dalam memberikan layanan kepada penyandang disabilitas, Perpustakaan Nasional menyiapkan sumber daya manusia (SDM) serta lingkungan yang mendukung.
Editor : Bayu Probo
Bebras PENABUR Challenge : Asah Kemampuan Computational Thin...
Jakarta, satuharapan.com, Dunia yang berkembang begitu cepat memiliki tantangan baru bagi generasi m...