Pertikaian Mazhab dan Nasib Islam Toleran
SATUHARAPAN.COM – Bagi yang pernah mengenyam pendidikan pesantren terpadu, tentu pernah membaca kitab Fiqh al-Sunnah karya Sayyid Sabiq (1915 – 27 Februari 2000), karya ulama kontemporer asal Mesir. Dengan lugas ia memperlihatkan perbedaan tafsir agama sebagai sesuatu yang kaprah.
Buku itu mengompilasi pendapat imam mazhab atas masalah-masalah hukum Islam (fiqh). Melalui buku itu bisa dinilai bahwa perbedaan tafsir terjadi ketika memahami bahasa atau semantik, disamping pengaruh sosio-kultural dan temporalitas. Sesungguhnya dalam Islam sedikit sekali terjadinya konsensus penafsiran (ijma’), lebih banyak hal berbeda. Namun perbedaan itu dihargai dalam khazanah Islam selama lebih seribu tahun oleh imam mazhab empat (Hanafi, Maliki, Hanbali, dan Syafi’i).
Ambil contoh masalah wudhu atau mengambil air sembahyang. Pada perihal membasuh tangan saja terjadi perbedaan, apakah membasuh hingga siku atau tidak. Mayoritas pendapat (jumhur: Abu Hanifah, Syafi’i, Maliki) mengatakan wajib membasuh hingga siku, tapi ada juga pendapat seperti kelompok Dhahiry (skriptualis) yang menganggap tidak.
Demikian pula hukum menyentuh perempuan. Mazhab Imam Syafi’i menganggap menyentuh biasa saja membatalkan wudhu dan kesucian. Kalangan imam Hanbali dan Maliki menganggap baru batal ketika sentuhan itu menimbulkan syahwat seksual. Kalangan Imam Hanafi tidak mempermasalahkan sentuhan dengan atau tanpa syahwat. Pembatalan wudhu baru terjadi ketika bercinta.
Demikian pula pendapat tentang salat sunnah (sebaiknya dilakukan) saat khatib telah naik mimbar pada ritual Jumat. Ada yang mengatakan praktik itu sunnah, mubah (tidak berpahala),makruh (sebaiknya tidak dilakukan), hingga makruh tahrim(hampir menjadi tindakan haram).
Ambigu
Maka sangat aneh jika menganggap “kudeta” kelompok Front Pembela Islam (FPI) di Mesjid Raya Bayt-Arrahman Banda Aceh, 19 Juni lalu terkait ritual Jumat sebagai satu-satunya pendapat dalam Islam. Aksi FPI itu ikut diliput media massa termasuk nasional, sehingga memunculkan kesan Islam Aceh tidak toleran atas perbedaan, kaku, dan keras kepala.
Padahal, tuntutan kelompok itu hanya serpihan-serpihan perbedaan mazhab yang tidak konsensual. Azan dua kali dan memegang tongkat saat khutbah bukan merupakan kewajiban atau rukun khutbah Jumat. Kemudian dimunculkan isu pengelola mesjid ikonik Aceh itu adalah pengikut Wahabi; tuduhan yang memberikan stigma negatif pada kelompok Islam tertentu.
Pertentangan penafsiran dalam mazhab Islam itu menjadi ambigu dan keliru. Penyebabnya karena perbedaan itu tidak terjadi di ruang dialog-akademis tapi politis-propagandis. Akibatnya bisa memanjang menjadi persangkaan yang memperburuk hubungan antarumat Islam.
Jika dilihat sejarah kelahiran Wahabisme di Arab Saudi juga berangkat dari semangat reformasi Islam. Salah satu referensinya adalah tesis Ibn Taimiyah, ulama Islam abad pertengahan. Wahabisme tidak keluar dari jalur Sunni, karena mendasarkan pada mazhab Ibn Hanbal (Imam Hanbali) (Prof. Ali Mustafa Yaqub, “Titik Temu Wahabi – NU”, Republika, 14/02/2015).
Pemahaman terdistorsi karena jurnalisme tentang Wahabi yang cenderung negatif. Orang mengenal Wahabi dari kebijakan politik pemerintah Arab Saudi yang getol menyerang tradisi, tahyul, dan bid’ah. Beberapa hal serangan itu menyakiti perasaaan Sunni Indonesia seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Persatuan Tarbiyah Islam (Perti). Di kalangan NU, tradisi dan kebudayaan (al-turats wa al-tsakafah) bisa dijadikan khazanah Islam lokal.
Kebencian kepada Wahabi menimbulkan efek liar. Secara tidak disadari, serangan itu bisa beralamat dan menyerang komunitas lain seperti Muhammadiyah. Dengan slogan memerangi tahyul, bid’ah, dan khurafat (hal-hal yang tidak “murni” dari teologi Islam), kredo perjuangan Muhammadiyah memang lebih skriptualis, semantis, dan terkesan formalistis memang dekat dengan Wahabiyah - berbeda dengan NU yang Syafi’iyah tulen. Pendekatan NU yang ekletis dan menghargai tradisi lokal sebagai preferensi adaptasi hukum Islam (al-‘urf al-hasanah dan al-‘adat al-muhakamah) menyebabkan organisasi bentukan kakek Abdurrahman Wahid ini menjadi sangat diterima dan memiliki pengikut terbanyak di Indonesia.
Pada jalur lain, NU juga tidak sependapat dengan sikap ideologis FPI dalam memerangi kekufuran dengan cara-cara “ala Wahabi”. Cara FPI yang main kasar dan bersikap represif dalam berjihad dianggap bukan jalan NU. Pendekatan pendidikan (tarbiyah) lebih dipilih NU dibandingkan pendekatan pidana/kriminalisasi (jinayah).
Akhirnya kalangan Nahdliyin menganggap FPI tidak sungguh-sungguh Ahlul Sunnah wal Jamaah. Aksi FPI dianggap premanisme berlabelkan Islam. Ideologi NU yang tidak lagi mempermasalahkan Pancasila berbeda dengan FPI yang masih mempermasalahkannya (Juma Darmapoetra, “FPI dan Kesetiaan Bangsa pada Pancasila, NU Online, 09/06/2008). NU menganggap mereka lebih Aswaja dibandingkan FPI.
Anarkhisme Umat
Pertentangan mazhab dalam Islam di Indonesia hari ini telah mengarah kepada aksi destruktif, distortif, dan ahistoris. Dialektika yang terbangun di kalangan umat Islam menjadi hubungan yang saling membenci dan menegasi. Kekayaan umat Islam Indonesia yang hidup harmoni dalam perbedaan, tiba-tiba melesap oleh pengaruh negatif reformasi politik 1998.
Sejak Soeharto tumbang, kelahiran kelompok Islam politik semakin marak dan sebagian tidak selaras dengan semangat keindonesiaan. Kelompok-kelompok itu ikut mendompleng momentum kekacauan politik nasional seperti kelahiran FPI, Laskar Jihad, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), dan Majelis Mujahidin Indonesia (MMI). Sebagian dari mereka terpantik ideologi revivalisme Islam di Timur-Tengah, yang ingin dicangkokkan di Indonesia yang toleran. Sebagian lainnya benar-benar gerakan politik-ekonomi yang berpatron dengan kekuatan impor.
Klaim “paling Islam” dibandingkan kelompok tradisi yang telah tumbuh sejak puluhan hingga ratusan tahun di Indonesia juga anomali organisasi baru itu. Kegagalan membaca Indonesia menyebabkan kelompok-kelompok itu sering berkonflik dengan komunitas muslim lain, bahkan dengan kelompok sufisme Islam lokal (tarekat).
Sangat disayangkan, kita kehilangan etos umat seperti dicatat antropolog Harvard University, Clifford Geertz. Dalam Religion of Java (1960) ia menilai keragaman umat Islam Nusantara bisa menjadi modal besar membangun Indonesia baru yang kuat, stabil, makmur, dan demokratis. Trikotomi Islam abangan, santri, dan priyayi bisa hidup dalam realitas sosial yang komunikatif dan kohesif. Dalam Islam Observed (1968), Geertz bahkan memuji keberadaan umat Islam di Indonesia dibandingkan Maroko. Meskipun sama-sama pernah dijajah Eropa, Islam di Indonesia bisa tumbuh fleksibel, adaptif, asketis, dan secara pragmatis mampu menyerap nilai-nilai lokal. Sementara Islam di Maroko cenderung tidak bisa berkompromi, keras, fundamentalis, dan formalistis.
Kita sungguh merindukan masa lalu yang damai itu, bukan masa kini yang semakin menyesakkan akibat permusuhan antarmazhab.
Penulis adalah aktivis NU. Lulusan Syariah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...