Pertunjukan Ludruk Mengawali Pameran "Sarekat Onthel"
YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Puluhan sepeda antik-kuno (pit onthel) produksi mulai tahun 1910 berbagai merk yang masih berfungsi dipamerkan di Bentara Budaya Yogyakarta (BBY) Jl. Suroto No. 2 A Yogyakarta bersama foto-foto kegiatan komunitas-komunitas pit onthel dari berbagai daerah di tanah air.
Pameran tersebut menjadi rangkaian pembuka acara Jogja Republik Onthel yang akan berlangsung di Benteng Vredeburg-Yogyakarta, 21-22 Oktober. Pameran foto dan pit onthel "Sarekat Onthel" akan berlangsung hingga 22 Oktober 2017.
Berbagai sepeda kuno antik dipamerkan mulai dari Gazelle seri 7 (1947), Fongers (1923), BSA Sersan Mayor dengan ciri penutup garpu dilengkapi kepangkatan militer "Sersan Mayor", hingga Columbia Roadster (1910) yang sudah menggunakan teknologi peredam kejut pada roda belakangnya. Sebuah penggunaan teknologi yang bisa dikatakan mendahului jamannya. Teknologi tersebut saat ini banyak diterapkan pada sepeda gunung untuk jenis cross country dan downhill.
"Setiap produsen sepeda saat itu sudah memiliki ciri khas, penerapan teknologi yang berbeda, hingga geometri rangka yang disesuaikan peruntukannya. Sepeda sport saat itu rangka atasnya dalam posisi loop (tidak mendatar, cenderung lebih rendah pada bagian depan)." kata pemain biola Eko Balung kepada satuharapan.com, Jumat (13/10) malam. Eko memiliki koleksi delapan sepeda onthel yang terawat dengan bagian-bagian yang masih asli.
Banyak cerita mengikuti perjalanan sepeda onthel di berbagai belahan dunia termasuk Indonesia. Pada masa perang produsen sepeda BSA memproduksi sepeda seri Infanteri serta Airborne Paratrooper. Seri paratrooper dibawa langsung oleh tentara bersamaan saat melakukan penerjunan untuk selanjutnya digunakan sebagai sarana mobilitas di darat.
"Dulu banyak ditemukan sepeda seri paratrooper yang tersangkut di atas pohon-pohon di hutan Kalimantan. Kemungkinan dibawa oleh penerjun tentara Inggris." kata Eko lebih lanjut.
Acara pameran "Sarekat Onthel" dibuka oleh budayawan Sindhunata bersama Kirun seniman ludruk asal Madiun, Jumat (13/10) malam diawali dengan kirab sepeda onthel dari luar BBY memasuki ruang pamer. Sebelum membuka acara, Sindhunata membacakan kidungan Jula-juli yang ditulis sendiri. Pameran dibuka dengan memecahkan celengan jago berisi uang koin yang diperebutkan pengunjung.
Pementasan Ludruk mengawali pameran "Sarekat Onthel" cukup menarik mengingat Yogyakarta sendiri memiliki banyak pertunjukan seni tradisi mulai dari srandul, kethoprak wayang, campursari. Kethoprak dalam sentuhan garapan kontemporer saat ini masih cukup bisa diterima masyarakat Yogyakarta semisal Kethoprak Tjap Tjonthong, Kethoprak Tjap Lemoe, ataupun dalam saat bersamaan pembukaan pameran seniman kethoprak Yogyakarta sedang memainkan beberapa lakon maestro Dagelan Mataraman dalam format kethoprak di Pendopo Dinas Kebudayaan DI Yogyakarta.
Pementasan Ludruk di Yogyakarta jarang digelar, sehingga tontonan grup ludruk "Tombo Kangen" pimpinan Kirun malam itu menjadi hiburan yang menyegarkan bagi masyarakat asli Jawa Timur yang sudah lama tinggal di Yogyakarta
"Setelah menetap di Yogya, bisa dibilang saya tak pernah menonton ludruk secara live. Adanya pertunjukan Kirun cs dari Madiun, Jawa Timur, itu setidaknya mampu mengobati kangen saya pada kesenian asli Jawa Timur ini." kata pengamat seni-budaya asal Tulungagung Farid Wahdiono.
Pementasan Ludruk selalu diawali dengan pertunjukan Tari Ngremo, sebuah tari spesifik Jawa Timur, kemudian dilanjutkan dengan Bedhayan melantunkan kidungan jula-juli, dagelan (lawakan) dan diakhiri dengan cerita yang sering mengambil setting konflik yang terjadi antara masyarakat pribumi dengan penjajah Jepang-Belanda.
Setelah Bedhayan, Kirun memberikan sedikit penjelasan tentang sejarah Ludruk dimulai dari sepak terjang tokoh perjuangan asal Jawa Timur Cak Durasim yang menggunakan seni pertunjukan sebagai strategi perlawanan sekaligus menyatukan kekuatan pribumi dalam mengusir penjajah. Kidungan Jula-juli Cak Durasim yang hingga kini masih dikenal adalah "Bekupon Omahe Doro, Melok Nipon Soyo Sengsoro".
Ludruk pada masa itu berfungsi sebagai hiburan dan alat penerangan kepada rakyat, oleh pemain ludruk digunakan untuk menyampaikan pesan-pesan persiapan kemerdekaan. Sepak terjang Gak Durasim akhirnya tercium oleh Jepang dan berujung pada pemenjaraan dirinya hingga meninggal dunia di penjara.
"Kalau mau melihat (perkembangan) seni tradisi jangan melihat di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, ataupun Yogyakarta. Tontonlah kethoprak di Kudus, Pati, Rembang, Blora, ataupun kota-kota kecil lainnya yang masih banyak tontonan seni tradisi. Warga belum merasa punya hajatan (nikahan, khitanan) yang lengkap jika belum nanggap kethoprak." kata Kirun.
Lebih lanjut Kirun memberikan kritik yang cukup tajam atas upaya pelestarian-pengembangan pertunjukan seni tradisi yang lebih banyak digerakkan oleh masyarakat. Dalam catatannya masih terdapat ratusan grup kethoprak di seputaran pesisir pantura yang hingga saat ini yang sebagian besar mendapat tanggapan tampil pada hajatan warga.
"Jarene (pejabat) cinta NKRI, nang ndi-ndi kongkonan nglestarekno kesenian tradisi, tapi gak tau nanggap kethoprak. Gak tau nanggap ludruk. (Katanya (pejabat) cinta NKRI, dimana-mana selalu menghimbau untuk melestarikan kesenian tradisi, tapi kok tidak pernah nanggap kethoprak. Tidak pernah nanggap Ludruk)." kata Kirun yang langsung disambut tepuk tangan dan tawa yang lepas dari penonton. Kritikan, guyonan, ledekan yang lugas menjadi salah satu ciri khas Ludruk. Tidak berlebihan, kultur masyarakat jawatimuran yang relatif terbuka turut memberikan warna pada kesenian Ludruk.
Sejarah Ludruk tidak terlepas dari kesenian sederhana Lerok yang dimainkan dari rumah ke rumah dan dimainkan oleh satu orang. Setelah Lerok, kemudian berkembang kesenian Besutan yang berasal dari Jombang suatu bentuk teater sederhana, dimana tokoh utamanya adalah seorang pria bernama Besut. Besutan merupakan cikal bakal utama dari kesenian Ludruk.
Pementasan Ludruk "Tombo Kangen" menarik ketika melibatkan seniman kethoprak asal Yogyakarta Marwoto Kawer yang terkenal dengan plesetan-plesetan khas Yogyakarta. Plesetan khas Marwoto seolah mendapat panggung bersama kidungan jula-juli yang berisi parikan yang sesungguhnya adalah "plesetan" yang tersamar di awal bait awal kidung. Pada satu sesi dialog saat Marwoto melamar anak Kirun yang akan dijadikan istri oleh anaknya, ada dua warna yang terasa jelas. Marwoto dengan dialog bahasa Jawa kromo khas kethoprakan menyampaikan maksud tersebut dijawab oleh Kirun dalam bahasa Madura. Belum selesai Kirun menjawab, Marwoto menimpali dengan bahasa ngapak Banyumasan.
Kreativitas-spontanitas, improvisasi, dan juga interaksi dengan penonton menjadi warna pementasan Ludruk di pelataran BBY. Sopit, ndloso-ndloso ben iso ngempit (berselonjor supaya bisa menjepit).
Mencegah Kebotakan di Usia 30an
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Rambut rontok, terutama di usia muda, bisa menjadi hal yang membuat frust...