Pesan Damai dari Vatikan dan Al-Azhar
Setelah sempat bersitegang, kini Vatikan dan Al-Azhar, dua otoritas keagamaan dunia, mulai saling berdialog. Semangat yang lahir dari perjumpaan keduanya membawa inspirasi bagi dunia.
SATUHARAPAN.COM - Vatikan dan Al-Azhar adalah dua otoritas keagamaan besar. Vatikan untuk Katolik dan Al-Azhar untuk Islam (Sunni). Kedua otoritas ini tidak hanya sibuk pada urusan religius, tetapi juga sibuk pada urusan keilmuan. Vatikan, misalnya, menjadi “perpustakaan” dunia sebab berbagai dokumen penting sejarah banyak tersimpan di sana. Begitupun dengan Al-Azhar, mereka sudah banyak menelurkan ulama-ulama moderat. Hampir sama dengan Vatikan, Al-Azhar juga menyimpan berbagai dokumen sejarah dunia.
Kedua otoritas agama besar ini sempat bersitegang. Al-Azhar membekukan hubungan diplomat dengan Vatikan karena sebelumnya Paus Benediktus XVI menggumamkan pidatonya dengan adanya keterkaitan antara Islam dan kekerasan. Pidato ini pun langsung melahirkan berbagai demonstrasi di dunia dan bahkan balasan kepada umat Kristen. Praktis, sejak itu hubungan kedua otoritas ini mendadak dingin. Pada rentang itu, perkelahian antarbangsa, semisal Palestina-Israel ditangani terpisah-pisah. Dan bahkan, boleh diucap bahwa ISIS berkembang biak justru pada masa kebuntuan dialog di antara kedua institusi ini.
Kini, hubungan kedua otoritas keagamaan ini mulai mencair. Adalah Paus Fransiskus yang mengirimkan undangan pada Al-Azhar agar kiranya sudi ikut membahas tema usaha penyebaran perdamaian dan kehadiran bersama (koeksistensi). Dengan tangan terbuka, Al-Azhar pun menyanggupinya dengan mengirimkan ulama besarnya, El Tayeb. Diskusi dan dialog terbuka untuk perdamaian pun dibuka dengan gegap gempita.
Esensi, bukan Sensasi
El Tayeb rupanya serius dan punya mimpi besar. Maka, selekas dari Vatikan, El Tayeb juga bertemu dengan Presiden Prancis, Francois Hollande untuk mendengungkan isu perdamaian. Pada lawatannya di Paris, Sang Imam menyerukan agar semua warga Muslim di Eropa paham bahwa mereka adalah warga asli di komunitas mereka. Seruan ini menjadi sangat bermakna mengingat kini banyak sekali manusia meninggalkan negaranya hanya karena demi berjuang di negara lain bersama gerakan-gerakan radikalisme.
Di sini, negara diduartikan. Negara kediaman dan negara idaman. Negara kediaman adalah negara di mana mereka tinggal, sedangkan negara idaman adalah negara yang kini diperjuangkan. Negara kediaman adalah tempat persinggahan, sedangkan negara idaman adalah negara tujuan. Itulah sebabnya banyak sekali warga yang pergi dari negara kediamannya. Inggris, misalnya, mengutip Philili Amond, Menlu Inggiris, mengatakan bahwa diperkirakan ada 800 orang kini warganya yang berjuang bersama ISIS di negara idaman. Indonesia sendiri diperkirakan “mengekspor” warganya ke ISIS sebanyak lima ratusan orang.
Sebenarnya, seruan El Tayeb pada Muslim-Eropa ini bukan menjadi inti pesan perdamaian. Boleh diucap, apa yang diserukan oleh El Tayeb adalah isu dadakan yang hanya relevan saat ini. Isu yang paling penting sebenarnya adalah bagaimana merawat perdamaian. Ini lebih pada langkah teknis. Di sinilah kerja sama yang apik antara berbagai agama dibutuhkan. Pengertian kerja sama pun harus menyentuh esensi, bukan sekadar bagaimana seorang Kristen membantu membangun masjid, misalnya. Ini perlu, tetapi bukan itu esensinya.
Esensinya adalah bagaimana pihak-pihak agama berusaha secara sadar untuk saling memahami, merawat, dan mengagungkan mereka yang berbeda (liyan). Sebab, bukankah tujuan agama adalah untuk menghindarkan diri dari kekacauan atau chaos? Agama itu bukan demokrasi yang suka mencari anggota terbanyak. Agama itu bukan klub sepak bola yang suka mencari kemenangan. Agama itu bukan urusan jumlah. Agama itu bukan soal kegemaran dan kemenangan di satu pihak dan kekalahan di pihak lain. Agama itu adalah urusan seberapa intim hubungan dengan Tuhan. Agama itu urusan personal.
Dalam pada itulah maka kita mengharapkan agar pertemuan kedua lembaga agama besar ini jangan berhenti hanya untuk urusan seremonial. Yang abstrak harus dikonkretkan. Segala pemikiran harus diaktuliasasikan. Maksud saya, pertemuan sudah digelar dan ini tentu saja adalah modal yang baik, sebab, pertemuan biasanya akan melahirkan kesepakatan. Akan tetapi, apalah arti sebuah pertemuan jika pada akhirnya melahirkan pengkhianatan, kebencian dan bahkan perceraian?
Maksud saya, ayo, mari silakan bertemu, mari berdialog, mari bertukar kabar. Tetapi, mari jangan menyiksa diri dengan berbagai pertemuan-pertemuan kering, pertemuan-pertemuan basa-basi, apalagi pertemuan memojokkan. Pertemuan kita itu (ke depan) haruslah pertemuan dari hati ke hati, bukan semata bagaimana mengucap dan mendengar kata-kata. Pertemuan (ke depan) haruslah berupa percakapan kerinduan seorang teman, bukan lagi pertemuan musuh untuk mencari kompromi.
Tangkapan yang Sama
Bagaimanapun, kompromi adalah hasil pertemuan dari pihak yang kuat dan lemah. Padahal, kekuatan adalah kebersamaan, bukan keberceraian. Maka itu, mendesak bagi kita supaya segera sadar betapa selama ini agama sudah “menganiaya” kita, menenggelamkan kita dalam kebencian. Dan, kesegalanya itu justru berawal dari kepercayadirian kita yang terlalu tebal. Kita mendaku Tuhan yang lalu mengantar kita pada posisi yang berseberangan.
Visinya menjadi dangkal, yaitu menarik anggota dari agama lain. Dan, cara untuk mencapai visi itu (misi) bahkan sangat brutal, yaitu menyalahkan agama orang lain. Tujuan beragama pun didangkalkan hanya pada bagaimana mencari anggota-angota lain, bukan bagaimana mengakui keberadaan orang lain. Nah, mengatasi inilah kiranya kita bertemu lagi. Tetapi, bertemu bukan untuk berunding dan berkompromi. Kita bertemu dari hati ke hati untuk merawat peradaban, semisal mengadakan dialog.
Dan, dialog pun adalah dialog yang konstruktif. Ambil tema-tema persaudaraan. Jangan lagi mencari siapa yang yang paling benar. Apa hak kita menilai keberanan? Jangan pula memperhadapkan agama secara head to head. Agama bukan semacam sepak bola yang melulu mencari kemenangan. Tema apa pun, asal itu untuk persaudaraan dan persatuan silakan digagas. Tetapi jangan sembarang mencari titik singgung. Nasrani dan Muslim, misalnya, mempunya titik singgung pada Yesus Kristus (Isa Almasih) dan Abraham (Ibrahim).
Tetapi, titik singgung ini justru bisa menjadi titik cerai. Sebab, pemahaman Nasrani dan Muslim pada keduanya sangat berbeda. Pada Nasrani, Yesus, misalnya adalah penyelamat (redemption), sedangkan pada Muslim, tidak. Pada Nasrani, Muslim adalah keturunan budak dari Abraham, pada Muslim, justru sebaliknya. Maksud saya, mari menjauhkan tokoh-tokoh kitab suci. Mari membahas perilaku dan sikap bijak sana dari para tokoh itu.
Ke depan, kita punya hak bermimpi agar pertemuan seperti Al-Azhar dan Vatikan makin sering dilakukan. Inti pertemuan itu adalah bagaimana seorang sahabat menjenguk sahabatnya. Atau, seorang saudara menjenguk saudaranya. Jika sudah seperti itu, pertemuan pun akan cair. Dan, akan semakin cair lagi jika sesama sahabat dan saudara tadi bersepakat agar para pemimpin agama tidak lagi menggiatkan penyebaran agama. Agama tidak sedang kekurangan anggota. Penyebaran agama justru akan melahirkan peperangan. Sejarah sudah membuktikan itu.
Hassan Rouhani pernah mengutip puisi J.J. Osborne untuk diungkapkan pada Paus Fransiskus di Vatikan. Bunyi puisi itu begini, we all are flowers in God's Garden. Kita adalah bunga-bunga di taman Tuhan. Bayangkan kalau taman hanya ada bunga mawar! Untuk itu, silakan mawar jangan lagi “memawarkan” anggrek. Maksud saya, Nasrani tidak lagi harus menobatkan Islam. Demikian sebaliknya. Dan, jujur saja, inilah pesan damai yang saya tangkap dari Vatikan dan Al-Azhar. Mudah-mudahan kita punya tangkapan yang sama.
Penulis adalah konsultan bahasa dan pegiat sastra dan budaya di PLOt (Pusat Latihan Opera Batak), Medan
Editor : Trisno S Sutanto
Bebras PENABUR Challenge : Asah Kemampuan Computational Thin...
Jakarta, satuharapan.com, Dunia yang berkembang begitu cepat memiliki tantangan baru bagi generasi m...