Pesan Pastoral PGI untuk Pilkada Serentak 2018
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Majelis Pekerja Harian Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) menyampaikan pesan pastoral untuk pemilihan kepala daerah (Pilkada) seretak 2018 kepada umat kristiani di seluruh Indonesia, hari Kamis (21/6).
PGI mengimbau umat kristiani untuk memilih calon yang memiliki integritas, kejujuran, keberanian dan komitmen melawan segala bentuk korupsi dan manipulasi, komitmen pada konstitusi dan keanekaragaman bangsa, kemauan bekerja keras untuk menciptakan keadilan dan kesetaraan bagi seluruh warga negara, serta komitmen untuk menopang pembangunan yang berwawasan lingkungan.
“Tolaklah calon pemimpin yang memanipulasi isu SARA, diskriminasi berbasis gender dan kampanye gelap yang menyudutkan pasangan calon tertentu,” imbau Ketua Umum MPH PGI, Pdt. Dr. Henriette T. Hutabarat Lebang dan Sekretaris Umum, Pdt. Gomar Gultom dalam pesan pastoral yang diterima satuharapan.com, di Jakarta, hari Kamis (21/6).
Berikut Pesan Pastoral MPH PGI untuk Pilkada Seretak 2018:
Pilkada Serentak 2018 yang sudah di ambang pintu, merupakan yang terbesar dibandingkan Pilkada Serentak 2015 dan 2017. Kenyataan bahwa Pilkada Serentak ini dilakukan menjelang Pemilu Serentak 2019 membuat tensi politik dan kompetisinya sangat tinggi, sebab bisa memberikan gambaran kekuatan pendukung untuk Pemilu Serentak 2019 nanti.
Dari pengalaman selama ini, masih saja terlihat banyak persoalan dalam Pilkada. Mulai dari DPT (daftar pemilih sementara) yang tak pernah sempurna, penyelenggara yang kadang masih tak netral, pelibatan aparat sipil negara, pelanggaran kampanye, eksploitasi anak dalam kampanye, manipulasi suara, sampai pada masih susahnya menghentikan politik uang. Meskipun demikian, aspek yang paling mengkhawatirkan adalah makin maraknya politisasi Suku, Agama dan Ras (SARA). Instrumentalisasi SARA disalahgunakan untuk mendapatkan simpatik dan dukungan pemilih dan pada saat sama menimbulkan kebencian dan mendiskreditkan kontestan lainnya. Akibatnya, masyarakat makin terkotak-kotak dalam sekat-sekat SARA sehingga hajatan Pilkada meninggalkan luka sosial yang sulit disembuhkan. Jika semua ini diteruskan maka bangsa ini akan makin tersekat-sekat, terpecah-belah dan bisa mengakibatkan disintegrasi bangsa.
Kesemrawutan Pilkada seperti ini telah menciptakan skeptisisme masyarakat terhadap mekanisme Pemilu langsung, dan karena itu ingin kembali ke sistem pemilihan di parlemen. Apalagi, praktek-praktek kotor, curang dan manipulatif yang dilakukan untuk memenangkan Pilkada membuat rakyat makin muak. Kekecewaan masyarakat makin meninggi mengingat tingginya angka Kepala Daerah yang terjerat korupsi. Rakyat merasa sangsi bahwa Pilkada model ini akan membawa kebaikan dan kesejahteraan bagi semua.
Dalam situasi seperti inilah kita, sebagai gereja, diminta hadir untuk ikut mewarnai dan mengarahkan proses Pilkada ini, di tengah apatisme dan kesangsian sebagian masyarakat terhadap Pilkada. Untuk itu, perkenankan kami menyampaikan beberapa hal:
1. Pilkada merupakan bagian utuh dari proses demokrasi dan merupakan upaya kita bersama sebagai bangsa untuk mewujudkan tujuan nasional, yaitu memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia. Dalam kerangka itu, keterlibatan kita dalam Pilkada haruslah dimaknai sebagai upaya untuk menjaga tetap tegaknya proses dan budaya demokrasi serta tetap tegaknya NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia). Oleh karena itu, kekuasaan politik tidak boleh menjadi tujuan utama, tapi menjadi alat untuk mewujudkan tujuan nasional itu demi tetap kokohnya bangsa yang kita cintai ini. Untuk itu, dalam seluruh proses Pilkada Serentak tahun ini kita harus mengedepankan persatuan dan kesatuan bangsa. Karena itu, kita harus menjaga ucapan, sikap dan prilaku, agar tidak makin merusak dan menggoyahkan sendi-sendi NKRI tersebut.
2. Kita harus akui bahwa proses berdemokrasi kita memang belum sempurna. Kita masih menjalani transisi demokrasi, terutama sejak kita mencetuskan reformasi 1998, 20 tahun yang lalu. Masa transisi demokrasi ditandai dengan berbagai macam gejolak dan persoalan yang harus kita tuntaskan. Situasi sosial politik yang tak stabil, regulasi yang berubah-ubah, kebebasan berekspresi yang kebablasan, maraknya kekerasan, bahkan negara yang gamang dalam bersikap tegas, merupakan fenomena yang lazim di negara-negara yang sedang mengalami transisi demokrasi. Baik atau tidaknya perjalanan demokrasi kita ke depan akan sangat ditentukan oleh perjuangan kita bersama melalui masa transisi demokrasi ini. Jadi, sebagai bangsa, sekarang ini kita sedang menata dan mengembangkan demokrasi kita ke arah yang lebih baik. Karenanya, Pilkada harus kita tempatkan juga dalam kerangka penataan sistem demokrasi tersebut. Oleh karena itu, adalah wajar jika masih banyak kekurangan di sana-sini. Kita semua bertugas dan bertanggungjawab untuk melakukan perbaikan terhadap proses dan sistem Pilkada agar menjadi lebih baik dan memberikan manfaat langsung terhadap perbaikan kehidupan masyarakat.
3. Pilkada Serentak harus menjadi media yang mendorong upaya perwujudan kesejahteraan dan pencerdasan rakyat. Kita harus berkomitmen mencegah dan melawan politisasi SARA, politik uang dan ujaran kebencian. Partisipasi dan keterlibatan politik gereja haruslah diarahkan pada upaya untuk memperbaiki sistem dan situasi sosial politik, bukan malah membuatnya makin gaduh dan kacau balau. Di sini dibutuhkan kedewasaan, kecerdasan rasionalitas berpikir dan empati, serta kesabaran agar tidak hanyut dalam wacana yang dikembangkan oleh berbagai kalangan melalui berbagai opini yang menyesatkan dan menghancurkan proses demokrasi kita.
4. Dalam Pilkada ini kita semua akan dibanjiri dengan berbagai informasi, baik positif maupun negatif, melalui media sosial maupun media massa. Harus disadari bahwa para kandidat dan pendukung bisa saja dengan sengaja memproduksi informasi palsu atau hoaks sebagai bagian dari kampanye demi kepentingan kelompoknya. Apalagi jika kita melihat fakta bahwa hampir semua media massa nasional kita telah berafiliasi dan terafiliasi kepada kepentingan politik tertentu. Situasi ini menuntut kita memiliki daya kritis untuk memilah antara berita palsu atau bohong dengan berita sebenarnya, tentang berita yang secara murni diberitakan atau berita yang disampaikan untuk membentuk opini bagi kepentingan politik tertentu. Perlu kejelian dan kejernihan berpikir untuk memilah yang fakta dan yang fiksi, yang murni dan yang berdimensi kepentingan politik praktis. Merespon penyalahgunaan pemberitaan media massa dan media sosial di atas, umat kristiani ditantang untuk membaca dan menggunakan media secara cerdas dan bijak. Kita harus bisa memilih dan memilah berita-berita dari media massa dan sosial dan memutuskan dengan matang apakah meneruskan atau tidak berita yang kita terima itu. Ingatlah ucapan Paulus kepada jemaat di Tesalonika “ujilah segala sesuatu dan peganglah yang baik” (1 Tesalonika 5:21).
5. Bagi gereja, politik adalah sebuah panggilan untuk melayani umat, bangsa dan dunia ini. Kita menolak menjadikan politik sebagai alat untuk melayani kepentingan pragmatis sekelompok orang saja atau untuk mengejar kekuasaan semata. Karena itu, politik sangat penting karena ia menentukan masa depan kita bersama sebagai bangsa. Kita tidak boleh menyerahkan politik pada orang-orang yang akan menyalahgunakannya demi memuaskan nafsu kekuasaannya semata. Jangan ada yang bersikap apatis terhadap politik, tetapi juga jangan seorang pun terjebak dalam politik identitas yang mengedepankan kepentingan kelompok di atas kepentingan bangsa. Gereja harus mengkritisi siapa pun yang mempraktekkan politik identitas. Penyalahgunaan politik identitas dalam Pilkada akan mengakibatkan perpecahan internal dalam gereja dan perpecahan bangsa. Itulah sebabnya, kami sarankan agar rumah ibadah tidak dijadikan sarana kampanye oleh dan untuk kepentingan siapa pun. Jagalah kesucian dan kemurnian ibadah, mimbar-mimbar gereja dan rumah ibadah agar tidak dinodai oleh upaya-upaya untuk kepentingan politik praktis.
6. Dalam pemungutan suara nanti, pilihlah calon yang memiliki integritas, kejujuran, keberanian dan komitmen melawan segala bentuk korupsi dan manipulasi, komitmen pada konstitusi dan keanekaragaman bangsa, kemauan bekerja keras untuk menciptakan keadilan dan kesetaraan bagi seluruh warga negara, serta komitmen untuk menopang pembangunan yang berwawasan lingkungan. Tolaklah calon pemimpin yang memanipulasi isu SARA, diskriminasi berbasis gender dan kampanye gelap yang menyudutkan pasangan calon tertentu.
Kiranya hikmat dan kebijaksanaan Kristus Yesus, Tuhan kita, yang melampaui segala pemahaman, dan penyertaan Roh Kudus, memberi kita keteguhan untuk memilih dengan penuh tanggung jawab! “Sebab itu sejak waktu kami mendengarnya, kami tiada berhenti-henti berdoa untuk kamu. Kami meminta, supaya kamu menerima segala hikmat dan pengertian yang benar, untuk mengetahui kehendak Tuhan dengan sempurna” (Kolose 1:9)
Jakarta, Juni 2018
Majelis Pekerja Harian PGI
Ketua Umum, Pdt. Dr. Henriette T. Hutabarat Lebang
Sekretaris Umum, Pdt. Gomar Gultom
Editor : Melki Pangaribuan
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...