Pesan Perlawanan Ahok
SATUHARAPAN.COM – DPRD DKI Jakarta akan gunakan hak angket (penyelidikan) terhadap Gubernur Basuki Tjahaja Purnama (kadang dipanggil dengan nama Ahok). Bahkan sudah banyak yang menyebut sebagai jalan untuk memecatnya.
Perseteruan ini dipicu soal anggaran (APBD) tahun 2015. Ahok dituding menabrak prosedur dengan mengajukan anggaran yang berbeda dengan yang dibuat oleh DPRD. Sebelumnya, Ahok menggunakan sistem e-budgeting untuk APBD agar transparan, dan mencegah terjadinya penyimpangan.
Keputusan Gubernur itu yang ditentang DPRD dan berupaya untuk menjatuhkan pemerintah ini. Namun Ahok bertahan dengan keputusannya, bahkan melawan dengan menyampaikan data pada KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) mengenai penyimpangan yang pernah terjadi.
Perlawanan Ahok ini mengandung pesan yang penting dalam politik di Indonesia, melampaui perseteruan dalam internal pemerintahan DKI Jakarta. Lahirnya komunitas pembela Ahok juga menunjukkan rakyat kecewa pada para politisi.
Prosedur vs Substansi
Pesan pertama adalah bahwa politik yang ‘’memuja’’ prosedur tengah tumbuh yang tercermin dengan mengutamakan formalitas dan legalitas, tetapi melupakan, bahkan melecehkan substansi. Itu karena mereka tengah pada posisi memegang otorita dan pantas dicurigai ingin menggunakan untuk kepentingan mereka.
Dalam perseteruan di Pemda Jakarta terlihat pada sikap DPRD yang keras bahwa Ahok harus mengajukan APBD dari DPRD, karena itu yang sesuai prosedur. Namun banyak anggota Dewan yang enggan bicara tentang substansi APBD, khususnya mengenai transaparansi anggaran, dan pencegahan kebocoran.
Bahkan tentang adanya dana siluman sebesar Rp 12,2 trilun pada APBD juga diabaikan, dan DPRD lebih suka membahas soal etiket, bahkan berencana melaporkan Ahok terkait apa yang pernah dikatakan terhadap DPRD.
Politik seperti ini bisa membuat demokrasi palsu: formal dan legal, tetapi manipulatif dan bahkan melindungi kejahatan. Dari sisi ini, anomali terjadi di DPRD. Ketika ada ‘’dana siluman’’ semestinya DPRD yang teriak paling keras. Ketika aspek yang substansial dilecehkan dalam proses penyusunan APBD, anggota Dewan yang harus mengoreksi. Tapi di Jakarta yang terjadi sebaliknya.
Politik para ‘’pemuja’’ prosedur ini mempunyai pola yang sama dengan yang dipertontonan DPR RI ketika melakukan fit and propper test calon Kapolri. Hanya karena telah ‘’dipenuhi’’ syarat formal, mereka meminta presiden melantik Budi Gunawan, bahkan mengancam akan memecat Presiden. Dan dengan tegas mereka mengabaikan aspek moral dan substansial dari pemimpin lembaga yang bertugas menenegakkan hukum, menjaga ketertiban dan mengayomi rakyat.
Motif politik seperti ini jelas jauh dari kepentingan rakyat, bahkan berkecenderungan kuat terjadi manipulasi untuk kepentingan kelompok tertentu atau pribadi. Itu sebabnya perseteruan ini harus dibawa pada pertanyaan tentang moralitas pada pemerintahan, aspek yang substansial dalam politik.
Politik Sungsang
Pesan kedua, praktik politik di Jakarta sudah terbalik. Hal ini akibat lebih lanjut dari mind set yang mengutamakan prosedur, dan mengabaikan substansi. Fungsi-fungsi dalam lembaga menjadi kacau, sementara argumentasi naif mereka justru berdalih bahwa prosedur itu yang menjaga fungsi lembaga.
DPRD mempunyai hak budget. Prosedur ini ada agar eksekutif tidak sewenang-wenang dalam menyusun dan menggunakan anggaran. Hak itu ada agar transparansi dan kepentingan rakyat dipastikan diakomodasi. Namun apa yang terjadi, justru ada kecenderungan Dewan yang membuka pintu kebocoran anggaran, dan menutup transparasi dalam pengawasan melalui e-budgeting.
DPRD juga mempunyai tugas pengawasan. Substansi tugas ini agar tidak ada penyimpangan oleh eksekutif. Namun apa yang terjadi jika kecenderungan penyimpangan terjadi berkaitan dengan Dewan, atau setidaknya membiarkan itu terjadi? Sebaliknya eksekutif mendapat beban tambahan yang memberatkan: selain sebagai pelaksana, juga mengawasi lembaga yang bertugas mengawasi.
Bersikeras dengan prosedur, dan melupakan aspek substansi ini justru yang membuat fungsi lembaga menjadi kacau. Pelaksana terbebani dengan tugas pengawasan, dan harus melakukannya karena akan mempengaruhi kinerja. Sementara yang bertugas dalam pengawasan justru cenderung diam atau merusak.
DPRD seharunya menjadi pendorong e-budgeting, penjamin transaparansi anggaran dan pengawasan oleh publik, dan memastikan pembangunan untuk kepentingan rakyat. Dalam perseteruan di Jakarta, rakyat menyaksikan realitasnya terbalik: politik jungkir balik dan sungsang.
Menabrak Prosedur
Pesan ketiga menyangkut cerminan bagi Indonesia keseluruhan. Situasi di Jakarta ini pada dasarnya adalah realitas sesungguhnya ketika reformasi dimulai. Sistem dan prosedur yang ada menjadi tidak memadai lagi untuk menjaga politik dan pemerintahan yang bersih. Inilah dilema yang dihadapi dalam merealisasikan reformasi.
Situasi ini akan membuat makin banyak konflik pemerintahan (eksekutif vs legislatif) naik ke permukaan. Dalam desakan situasi tak terhindarkan terjadi tindakan yang menabrak prosedur, seperti yang dialkukan Ahok. Hal ini akan digunakan oleh musuh reformasi untuk menyerang. Pilihannya dilematis, karena mengikuti prosedur itu bisa berarti melanggengkan kondisi korup itu.
Ahok, bahkan sebelumnya dialami Joko Widodo, tampaknya pada kondisi ini. Namun ada beda yang besar dalam menabrak prosedur oleh koruptor dan reformator. Koruptor menabrak prosedur (atau menggunakan prosedur) untuk kepentingannya sendiri melalui manipulasi, dan mengabaikan substansi, bahkan moralitas. Reformator menabrak prosedur untuk menjaga substansi dan moralitas.
Dalam politik, masalahnya bukan pilihan menjadi penjadi ‘’pemuja’’ prosedur, atau setia pada substansi. Namun jika harus dipilih, adalah lebih baik prosedur buruk di tangan pemimpin baik, ketimbang prosedur baik di tangan pemimpin jahat.
Reformasi juga tidak mendorong pada pilihan seperti itu. Reformasi menghendaki politik yang sehat dengan prosedur ditaati dan sekaligus didedikasikan untuk menjaga substansi. Maka dalam perseteruan di pemerintahan Jakarta harus disadari bahwa masalah utama bukan pada menabrak prosedur, tetapi masalah substansial: ancaman pada transparansi anggaran, potensi kebocoran dana dan korupsi.
Konkretnya, perseteruan di Jakarta ini adalah gambaran konkret bahwa reformasi telah berhasil membangun sistem (baca prosedur), tetapi gagal menempatkan orang baik. Akibatnya prosedur justru menjadi ruang manipulasi dan korupsi.
Oleh karena itu, bagi kebanyakan rakyat Indonesia, khususnya warga Jakarta, masalahnya harus cukup jelas: korupsi dan politik kotor memang belum tuntas dibersihkan, sumber tantangannya pada kebusukan itu dipelihara dengan dalih demi prosedur.
Awas Uang Palsu, Begini Cek Keasliannya
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Peredaran uang palsu masih marak menjadi masalah yang cukup meresahkan da...