Loading...
OPINI
Penulis: Uli Parulian Sihombing 06:33 WIB | Senin, 20 Januari 2014

Pesta Demokrasi Tanpa Kebencian dan Penodaan Agama

Uli Parulian Sihombing (Foto: dok.)

Pemilu 2014 merupakan batu ujian untuk kemajuan dan kedewasaan demokrasi di Indonesia. Demokrasi tidak hanya bermakna pemilihan wakil rakyat dan presiden saja, tetapi juga bermakna secara substansi untuk menghargai kebebasan termasuk menghargai keragaman dan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyatnya.

Gerakan Kebhinekaan Untuk Pemilu Berkualitas, yang merupakan gabungan beberapa organisasi masyarakat sipil dan individu-individu yang menggagas isu keragaman, bertujuan untuk mendorong agar proses Pemilu 2014 menghasilkan pemimpin-pemimpin memiliki sensitivitas/kepekaan terhadap keragaman dan toleransi, dan juga sekadar untuk mengingatkan para kontestan pemilihan anggota legislatif (Pileg) dan presiden serta wakil presiden (Pilpres) untuk tidak menggunakan isu-isu ujaran kebencian atas dasar agama yang menimbulkan kekerasan, diskriminasi dan permusuhan (religious hate speech) dan penodaan agama.

 

Di sini lain, isu penodaan agama bisa dikapitalisasi untuk memperoleh dukungan suara di dalam proses Pemilu 2014. Meskipun aturan hukumnya tentang penodaan agama masih eksis di dalam KUHP, akan tetapi penodaan agama ini merupakan bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) khususnya ekspresi keagamaan yang tidak boleh dibatasi secara sewenang-wenang dan melanggar HAM.

Hasil riset menunjukan prasangka keagamaan muncul juga di ruang publik seperti di sekolah, seperti hasil riset prasangka keagaman di kalangan murid-murid di sekolah-sekolah menengah umum (SMU). Hasil riset tentang prasangka keagamaan di kalangan murid di SMU tersebut menunjukan murid yang belajar di lingkungan sekolah yang homogen memiliki prasangka keagamaan lebih tinggi dibandingkan murid yang belajar di lingkungan sekolah yang heterogen (Ibnu Hajar dkk : 2009). Kita tahu dan menyadari murid-murid SMU adalah calon pemilih wakil rakyat dan presiden. Akan berbahaya jika kondisi tersebut dikapitasilsasi di dalam proses Pemilu 2014.

Jadi sudah tidak relevan lagi menggunakan isu penodaan agama di ruang publik, khususnya di dalam proses Pemilu 2014.  Untuk menyelesaikan prasangka keagamaan dan penodaan agama itu perlu ada dialog yang sehat, terbuka dan jujur di antara para pihak. Mengutif pendapat Habermas, "sebuah tatanan hukum dan pemerintahan hanya dapat menstabilkan diri jika tatanan ini dihasilkan tidak melalui kekerasan, manipulasi, intimidasi dan lain-lain, melainkan melalui hubungan-hubungan saling pengertian antara para anggota masyarakat." (F. Budi Hardiman: 2008). Artinya, proses demokrasi [Pemilu] akan berkualitas jika dihasilkan tidak melalui kekerasan, manipulasi, intimidasi dan lain-lain.

Penulis adalah salah satu penggiat Gerakan Kebhinekaan Untuk Pemilu Berkualitas, bekerja di ILRC (Indonesian Legal Resource Center)


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home