Petani di Bali Menghadapi Krisis Air
DENPASAR, SATUHARAPAN.COM-Jauh dari pantai dan hotel di Bali, petani I Ketut Jata berdiri di lereng gunung, menatap tanah terasering yang terlalu kering untuk menanam padi yang telah lama diandalkan keluarganya untuk makan dan mencari nafkah.
“Tidak mungkin lagi bekerja di ladang sebagai petani,” katanya.
Krisis air di Bali semakin memburuk akibat pembangunan pariwisata, pertumbuhan penduduk dan salah urus air, demikian diperingatkan para ahli dan kelompok lingkungan. Kekurangan air sudah mempengaruhi situs UNESCO, sumur, produksi pangan dan budaya Bali dan para ahli mengatakan situasinya akan semakin memburuk jika kebijakan pengendalian air yang ada tidak ditegakkan di seluruh pulau.
Bali adalah sebuah pulau vulkanik tropis di tengah kepulauan Indonesia, dan mengandalkan air dari tiga sumber utama: danau kawah, sungai, dan air tanah dangkal. Sistem irigasi tradisional yang unik, yang disebut “subak”, mendistribusikan air melalui jaringan kanal, bendungan, dan terowongan.
Subak, yang dijadikan situs UNESCO pada tahun 2012, merupakan pusat budaya Bali, yang mewakili filosofi Hindu Bali “Tri Hita Karana”, keharmonisan antara manusia, alam, dan alam spiritual.
“Ini adalah salah satu kasus lanskap hidup yang sangat istimewa di Asia,” kata Feng Jing, yang bekerja dengan UNESCO di Bangkok.
Tekanan sangat membebani sistem subak dan sumber daya air lainnya, kata Putu Bawa, manajer proyek untuk program Perlindungan Air Bali, yang dipimpin oleh sebuah organisasi non pemerintah yang berbasis di Bali, Yayasan IDEP.
Populasi pulau itu melonjak lebih dari 70% dari tahun 1980 hingga 2020, menjadi 4,3 juta orang, menurut data sensus pemerintah. Pertumbuhan pariwisata bahkan lebih eksplosif: Kurang dari 140.000 pengunjung asing datang ke pulau itu pada tahun 1980. Pada tahun 2019, terdapat lebih dari 6,2 juta wisatawan asing dan 10,5 juta wisatawan domestik.
Dengan ledakan pariwisata, ekonomi Bali menjadi makmur, dengan biaya tertentu. Sawah yang pernah dilalui subak telah diubah menjadi lapangan golf dan taman air, sementara hutan yang mengumpulkan air secara alami dan sangat penting bagi subak telah ditebang untuk vila dan hotel baru, kata Bawa.
Stroma Cole dari University of Westminster, yang telah meneliti dampak pariwisata terhadap pasokan air Bali, mengatakan masalah lain adalah permukaan air menurun karena penduduk dan bisnis Bali mengandalkan sumur atau lubang bor yang tidak diatur untuk air bersih, bukan pipa milik pemerintah.
“Saat ini, ini adalah sumber air termurah yang bisa digunakan orang,” kata Cole. "Jadi mengapa kamu tidak menggunakan itu?"
Dalam waktu kurang dari satu dekade, tabel air Bali telah tenggelam lebih dari 50 meter (164 kaki) di beberapa daerah, menurut data yang diberikan oleh IDEP. Sumur mengering atau tercemar air asin, terutama di bagian selatan pulau.
Bali memang memiliki peraturan, seperti izin air dan pajak atas air yang digunakan, yang dimaksudkan untuk mengelola pasokan air di pulau itu, tetapi tidak ada penegakannya, kata Cole. “Aturan yang ada adalah aturan yang sangat baik, tetapi tidak ditegakkan” katanya.
Badan air kota Bali dan departemen pekerjaan umum Bali tidak menanggapi permintaan komentar.
Dampak mengerikan dari krisis air dapat dilihat di Jatiluwih, di barat laut Bali, di mana para petani merawat sawah terasering terbesar di pulau itu.
Selama beberapa generasi, sawah terasering yang hijau subur mengandalkan sistem subak untuk irigasi. Namun dalam satu dekade terakhir, petani harus mendatangkan dan memompa air melalui pipa plastik putih untuk mengairi sawah.
Kembali ke Bali tengah, Jata mengatakan dia mencoba menanam cengkih, yang membutuhkan lebih sedikit air. Namun lahan, yang ideal untuk padi, dan kurangnya air subak menggagalkan rencana itu. “Dulu, saat subak aktif, airnya masih bagus,” kata Jata. “Tapi sejauh ini belum ada hasil… semua cengkih sudah mati.”
Petani Bali lainnya mengatakan mereka hanya bisa mendapatkan satu kali panen padi, bukan dua atau tiga tahun karena gangguan air, menurut penelitian Cole. Itu bisa mengurangi produksi pangan di pulau itu.
Saat Indonesia menutup perbatasan di puncak pandemi, pariwisata Bali turun drastis. Para pencinta lingkungan berharap penutupan itu akan memungkinkan sumur-sumur di pulau itu terisi kembali. IDEP saat ini sedang memasang sensor di sumur-sumur di seluruh pulau untuk penelitian yang lebih baik dalam memantau ketinggian air.
Namun pembangunan di seluruh pulau terus berlanjut, termasuk jalan tol baru yang didukung pemerintah yang menurut para aktivis akan semakin mengganggu sistem subak. Hotel, vila, dan bisnis baru lainnya menambah permintaan.
Pariwisata adalah kunci bagi Bali, tetapi juga harus ada penegakan hukum yang lebih baik dan peningkatan pengawasan untuk melindungi sumber daya air pulau tersebut, kata Bawa. “Kita perlu melakukan ini bersama demi kelangsungan hidup pulau ini.” (AP)
Editor : Sabar Subekti
Jerman Berduka, Lima Tewas dan 200 Terluka dalam Serangan di...
MAGDEBURG-JERMAN, SATUHARAPAN.COM-Warga Jerman pada hari Sabtu (21/12) berduka atas para korban sera...