PGI, 64 Tahun Menggarami Dunia
SATUHARAPAN.COM – Mendengar singkatan PGI (Persekutuan Gereja-gereja seluruh Indonesia) terkadang kita berpikir itu sekadar berkaitan dengan urusan umat Kristen. Akan tetapi kita jangan salah, sebab PGI telah membawa umat Kristen di Indonesia berani masuk dalam pemahaman yang sangat inklusif dan plural sepanjang 64 tahun berdirinya organisasi yang memayungi hampir seluruh gereja di Indonesia ini.
Di tengah-tengah panasnya situasi politik Indonesia, pasca-pemilu legislatif dan presiden 2014, PGI hadir untuk menjembatani perbedaan yang hadir dalam dinamika politik bangsa dalam berbagai kesempatan.
Apabila kita melihat awal berdirinya, maka Manifesto Dewan Gereja Indonesia yang ditetapkan 25 Mei 1950 menegaskan PGI merupakan sebuah tanda keesaan, atau dengan kata lain PGI berusaha menjadi acuan bagi gereja yang ada di seluruh Indonesia.
Adapun isi maklumat tersebut antara lain ”Kami anggota-anggota Konferensi Pembentoekan Dewan Geredja-geredja di Indonesia, mengoemoemkan dengan ini, bahwa sekarang Dewan Geredja-geredja di Indonesia telah diperdirikan, sebagai tempat permoesjawaratan dan oesaha bersama dari Geredja-geredja di Indonesia.”
Para manifestor menegaskan: ”Kami pertjaja, bahwa Dewan Geredja-Geredja di Indonesia adalah karoenia Allah bagi kami di Indonesia sebagai soeatoe tanda keesaan Kristen jang benar menoedjoe pada pembentoekan satoe Geredja di Indonesia menoeroet amanat Jesoes Kristoes, Toehan dan Kepala Geredja, kepada oematNja, oentoek kemoeliaan nama Toehan dalam doenia ini.”
Gereja-gereja di Indonesia berusaha menjadi yang nomor satu, akan tetapi menurut manifesto tersebut gereja-gereja tidak harus menjadi nomor satu tetapi harus berlomba-lomba untuk mewujudkan satu tujuan yang sama.
Dasar pendiriannya ialah kepercayaan bahwa PGI merupakan suatu tanda keesaan, bukan satu-satunya, sesuai amanat Kepala Gereja. Dan kenyataan hidup bergereja di Indonesia memperlihatkan betapa sulitnya menjadi tanda keesaan itu. Dan tanda keesaan itu sungguh penting di negeri kita yang sekarang sedang berjuang dalam mewujudkan demokrasi.
Demokrasi yang terbangun di Indonesia dikatakan sulit dipahami bangsa Indonesia secara dewasa, karena sebagian besar, fakta menunjukkan lebih mengedepankan politik praktis. PGI tidak larut dalam hal itu, sebagaimana dikemukakan Ketua Umum PGI saat ini Pdt.Dr. A.A. Yewangoe. “Demokrasi adalah alat dari gereja, dan telah melalui perkembangan dan proses yang luar biasa,” kata Yewangoe saat peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) PGI ke-64 pada (25/5) lalu.
A.A. Yewangoe melanjutkan bahwa tema HUT PGI ke-64 yakni Menghadirkan Shalom Allah di Tengah Proses Demokrasi Bangsa merupakan bagian dari politik moral, dengan tujuan mendidik masyarakat pada pengertian demokrasi sesungguhnya.
Sejak awal masuk Kristen di Indonesia, PGI (kala itu masih bernama Dewan Gereja-gereja di Indonesia, DGI) mencoba menyatukan visi berbagai gereja sebelum pada awal November 1949 mencoba menyelaraskan berbagai pandangan yang menyebabkan pada 21 hingga 28 Mei 1950 diadakan Konferensi Pembentukan Dewan Gereja-gereja di Indonesia, bertempat di Sekolah Theologia Tinggi (sekarang STT Jakarta) yang dihadiri 24 denominasi gereja-gereja di berbagai wilayah di Indonesia dan muncullah Manifesto Pembentukan DGI
Gereja-gereja tersebut antara lain Huria Kristen Batak Protestan, Gereja Batak Karo Protestan, Geredja Methodis Sumatera, Banua Niha Keriso Protestan, Huria Kristen Indonesia, Gereja Toraja, Geredja Dajak Evangelis, Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat, Gereja Protestan Indonesia, Geredja-geredja Gereformeerd, Geredja Pasundan, Patunggilan Pasamuan Kristen sekitar Muria, Geredja Kristen Djawa Tengah, Geredja Kristen Djawa Tengah Utara, Tionghoa Kie Tok Kauw Hwee/Khoe Hwee Djawa Barat, Gereja Kristus Djakarta Chi Hui, Geredja Kristen Tionghoa Djawa Tengah, Tionghoa Kie Tok Kauw Hwee /Khoe Hwee Djawa Timur, Geredja Kristen Protestan Bali, Geredja Kristen Sumba, Geredja Kristen Maluku.
Dalam perjalanan sejarahnya, pada Sidang Raya X di Ambon tahun 1984, nama Dewan Gereja-gereja di Indonesia diubah menjadi Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia. Pergantian nama itu mengandung perubahan makna. Persekutuan adalah bahasa Alkitab, yang menyentuh segi eksistensial, internal dan spiritual dari kebersamaan umat Kristiani. Kata "persekutuan" ini lebih mengedepankan keterikatan lahir dan batin antar gereja anggota.
Saat ini terdapat 89 sinode gereja yang bernaung di bawah PGI dan angka ini akan terus bertambah, dan PGI juga memiliki MPH yang terdapat di 27 wilayah
Kegiatan sehari-hari PGI ditangani oleh "Majelis Pekerja Harian" yang terdiri atas Ketua Umum, beberapa ketua, Sekretaris Umum, Wakil Sekretaris Umum, Bendahara, dan Wakil Bendahara, serta sejumlah anggota.
Jabatan Ketua Umum PGI untuk periode 2004-2009 dipegang oleh Pdt. Dr. A.A. Yewangoe dari Gereja Kristen Sumba, sementara jabatan Sekretaris Umum dipegang oleh Pdt. Dr. Richard M. Daulay (Gereja Methodist Indonesia)
Dan, pada periode 2009-2014, Ketua Umum PGI dijabat kembali oleh Pdt. Dr. A.A. Yewangoe dari Gereja Kristen Sumba, sementara jabatan Sekretaris Umum dipegang oleh Pdt. Dr. Gomar Gultom, M.Th dari Huria Kristen Batak Protestan (HKBP)
Dalam menjalankan roda organisasinya, MPH PGI dibantu oleh sejumlah Departemen dan Bidang, yaitu Departemen Perempuan & Anak, Departemen Pemuda & Remaja, Bidang Koinonia, Bidang Marturia, dan Bidang Diakonia. Selain itu ada pula Biro Komunikasi, Penelitian dan Pengembangan.
Editor : Bayu Probo
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...