PGI Advokasi Kasus Pelarangan Ibadah di Tangerang, Banten
TANGERANG, SATUHARAPAN.COM-Menjalankan ibadah merupakan hak konstitusional warga. Pasal 29 ayat (2) Undang-undang Dasar Negara Repubilik Indonesia Tahun 1945 dengan tengah menyatakan bahwa “negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”.
Sayangnya, implementasi di lapangan tidak demikian, ibarat jauh panggang dari api. Aksi pelarangan ibadah kerap terjadi, seperti yang dialami umat Kristen di wilayah Tangerang. Pada Minggu (17/3) massa menolak adanya kegiatan ibadah di rumah Ev. Ipin Tarigan, di Kampung Kepo Kepuh, RT. 10/RW. 01 Desa Bunar, Balaraja, Kabupaten Tangerang. Video peristiwa pelarangan ibadah ini pun viral di media sosial.
Merespon kasus itu, pada Rabu (20/3), Persekutian Gereja-gereja di Indonesia (PGI) melalui Bidang Keadilan dan Perdamaian (KP) mengunjungi rumah tersebut dalam rangka advokasi. Seperti dituturkan Ev. Ipin, sejak dua tahun lalu tempat tinggalnya dipakai untuk ibadah. Hal ini dilakukan karena lokasi gereja sangat jauh, sehingga sulit bagi dia serta beberapa jemaat untuk beribadah.
“Padahal di sini banyak perumahan, tapi gak ada satupun yang menyediakan fasilitas sosial untuk gereja. Ada tempat ibadah jaraknya sekitar 10 kilometer dari ini, ada di Perumahan Citra Raya. Jadi kami hanya ibadah, dan belum terpikir menjadi gereja. Dalam surat pernyataan yang saya bacakan di hari Minggu itu juga ditegaskan ini rumah, tapi karena dasarnya memang tidak suka jadi sulit menjelaskan,” katanya seperti diunggah di laman PGI.
Dia pun mengaku surat pernyataan yang dibacakannya dalam video itu tidak dalam tekanan, namun dirinya merasa itulah jalan terakhir supaya tidak terjadi anarkhis, karena dia telah tinggal di daerah itu selama tiga tahun, dan punya relasi yang baik dengan tetangga.
“Setiap ada acara warga saya hadir, misalnya kematian, hajatan, kegiatan gotong royong, safari Ramadhan. Jadi saya menjaga supaya tetap baik,” kata Ev. Ipin.
Terkait kronologis peristiwa pelarangan beribadah, diceritakan bahwa pada hari Sabtu (16/3), Ketua RT menyarankannya agar tidak melakukan kegiatan ibadah di rumahnya karena ada keluhan warga yang tidak suka dengan aktivitas tersebut. Namun tidak dijelaskan lebih rinci oleh Ketua RT apa alasan munculnya ketidaksukaan itu.
Keesokan harinya, Minggu (17/3), ibadah dilaksanakan seperti biasa mulai jam 9:00 WIB, namun jam 10:00 WIB, enam orang anak muda, yang menurutnya bukan warga sekitar karena tidak dikenalnya, muncul. Tak lama kemudian massa pun mulai berkumpul semakin banyak dengan membawa kayu dan bambu serta teriak ‘serang’ dan ‘bakar’.
Kerumunan massa semakin banyak membuat aparat desa dan kepolisian turun ke lapangan. Aparat polisi meminta Ev. Ipin membuat pernyataan tidak melakukan ibadah lagi di rumahnya, agar kondisi tetap kondusif. Dia pun akhirnya menuruti. Massa pun membubarkan diri pada jam 12:00 WIB.
Untuk menghindari hal-hal yang tidak dinginkan, Ev. Ipin mengaku akan menghentikan kegiatan ibadah, sambil berharap ada solusi terbaik, semisal ada lokasi terdekat yang bisa dijadikan tempat ibadah bersama, sekaligus memohon ada upaya PGI dalam mewujudkan harapannya itu.
Langkah yang diambil Ev. Ipin didukung oleh Staf KP PGI, Juandi Gultom. Menurut dia, dalam kondisi tekanan massa seperti itu yang terpenting adalah bagaimana tetap menjaga situasi kondusif, namun ke depan perlu dilakukan upaya-upaya persuasif dengan seluruh masyarakat agar hak warga untuk beribadah dapat difasilitasi negara.
Editor : Sabar Subekti
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...