PGI: Disrupsi-Pandemi Paksa Pelayanan Gereja ke Digitalisasi
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Ketua Umum PGI, Pendeta Gomar Gultom mengatakan disrupsi dan pandemi memaksa gereja-gereja di Indonesia melakukan pembaruan eklesiologi seturut dengan proses digitalisasi.
Hal itu dikatakan Pendeta Gomar Gultom dalam sambutan pada pembukaan Sidang Majelis Pekerja Lengkap Gereja-Gereja di Indonesia (MPL-PGI), hari Senin (25/1) di Jakarta.
“Segala sesuatu memang sedang berubah dengan cepat oleh disrupsi yang dimunculkan oleh perkembangan “The New Digital Age” ini, sebagaimana diingatkan oleh Eric Schmidt dan Jared Cohen sejak 2013 lalu,” katanya.
Disrupsi, kata Gomar telah menjungkir-balikkan banyak dunia usaha, yang ternyata juga membawa angin segar bagi mereka yang sedia berubah, kreatif dan inovatif dalam mengelola teknologi digital ini.
“Pandemi dan budaya digital ini mengajak kita untuk mengedepankan esensi kehidupan seraya melakoni hidup ini lebih substansial, dan menyadarkan kita betapa selama ini kita telah dibelenggu oleh ornamen hidup yang tidak begitu signifikan esensinya,” katanya.
Dalam kesempatan itu, Gomar bersyukur bahwa gereja-gereja di Indonesia, pada akhirnya, kini menjadi akrab dengan pelayanan secara virtual. Sekalipun berbagai bentuk pertemuan ragawi menjadi sangat terbatas, dengan pertolongan teknologi digital, gereja-gereja tetap dapat menjalankan pelayanan dan pembinaan di tengah masyarakat.
Menurut Gomar, perkembangan pelayanan gereja secara virtual yang terjadi, menunjukkan bahwa budaya digital ini bisa menolong kita menggapai hidup masyarakat yang berkelimpahan.
“Pandemi dan budaya digital ini mengajak kita untuk mengedepankan esensi kehidupan seraya melakoni hidup ini lebih substansial, dan menyadarkan kita betapa selama ini kita telah dibelenggu oleh ornamen hidup yang tidak begitu signifikan esensinya,” katanya
Dalam sidang MPL PGI itu, Gomar melontarkan pertanyaan refleksi Bersama, “apakah kita akan menggeser seluruh pelayanan gereja yang selama ini bertumpu pada perjumpaan ragawi ke arah virtual?”
Dalam kaitan tersebut, Gomar mengajak peserta sidang untuk menyimak peringatan Jay Y Kim dalam buku Analog Church, yang mengatakan bahwa nilai-nilai digital bertumpu pada kecepatan, ragam pilihan dan individualisme.
“Sekalipun ketiganya memberikan kontribusi besar bagi peningkatan pengalaman kita, namun ketiganya juga memiliki segi negatif, yakni: kecepatan membuat kita tidak sabar, ragam pilihan membuat pemahaman kita dangkal dan individualisme membuat kita terisolasi,” kata Gomar.
Kata Gomar, Kim mengingatkan bahwa “memimpin gereja menuju ruang digital dengan harapan menciptakan produk Kristen yang mudah dikonsumsi, sangat mengurangi kemampuan kita untuk secara bermakna memengaruhi budaya di sekitar kita dan mengundang mereka ke kehidupan yang lebih bermakna”.
Hal ini, lanjut Gomar, mestinya memaksa kita, gereja-gereja di Indonesia, melakukan pembaruan eklesiologi seturut dengan proses digitalisasi ini, dan pula dengan memerhatikan sekitar kita yang rawan bencana.
Hati-hati, Mencium Bayi dapat Berisiko Infeksi
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Sistem kekebalan tubuh bayi belum sepenuhnya berkembang ketika lahir, seh...