PGI Dukung Wacana Istana Kepresidenan di Papua
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) mengapresiasi rencana Presiden Joko Widodo (Jokowi) membangun Istana Kepresidenan di Papua.
“Mengenai masalah papua, saya rasa saat ini ada kesempatan yang sangat bagus bagi PGI mengambil peran, karena menurut kabar yang saya dengar Presiden Jokowi rencananya akan membangun istana kepresidenan di papua,” kata Trisno Sutanto, Koordinator Peneliti dari Biro Penelitian dan Komunikasi (Litkom) PGI kepada sejumlah pewarta, Selasa (25/11) di Grha Oikoumene, kantor PGI, Jakarta Pusat.
“Aktivitasnya akan separuh di Jakarta, separuh lagi di Papua khusus menangani persoalan tentang Papua, ini merupakan kesempatan bagus bagi PGI untuk menyesaikan persoalan di Papua,” Trisno menambahkan.
Pada (30/9) Koordinator Kelompok Kerja (Pokja) Percepatan Pembangunan Papua pada Rumah Transisi Jokowi, Hironimus Hilapok mengatakan bahwa Presiden terpilih Jokowi secara pribadi menyampaikan terima kasih kepada seluruh masyarakat Papua karena pada saat Pemilihan Presiden (Pilpres) beberapa waktu lalu telah memberikan dukungan penuh kepada dirinya (Jokowi).
“Untuk itu, dirinya ingin sekali dekat dengan masyarakat Papua, sehingga perlu membangun Istana Presidenan di Papua ini,” kata Hilapok.
Trisno mengatakan rumitnya masalah di Papua tidak dapat diselesaikan hanya satu pihak, butuh komunikasi intens antara pemerintah pusat dan daerah.
“Ketua Umum PGI terdahulu, Pak Yewangoe (Pdt. A.A. Yewangoe) mengatakan berkali-kali (permasalahan) Papua tidak bisa diselesaikan dengan satu cara, harus ada banyak cara, karena masalah di sana sangat complicated, penyelesaian itu membutuhkan kedewasaan, dan keterbukaan semua pihak untuk menyelesaikannya,” Trisno menambahkan.
Ketua IV Majelis Pekerja Harian (MPH) PGI, Pdt. Albertus Patty mengemukakan bahwa kehadiran PGI tidak akan relevan apabila tidak mendapat dukungan dari masyarakat setempat, oleh karena itu PGI selalu memberi perhatian kepada berbagai wilayah di Indonesia.
“Papua menjadi bagian penting yang digumu PGI atau gereja2 ini tidak akan relevan tanpa dia menjadi berkat bagi sekitarnya, kehadiran gereja tidak akan relevan apabila gereja tidak hadir bagi mereka yang menderita atau daerah terpinggirkan, dan orang-orang yang hidup dalam kemiskinan, ketidakadilan, dan mengalami akibat kerusakan lingkungan hidup,” kata Pdt. A. Patty.
Pdt A. Patty menjelaskan bahwa sehubungan dengan masalah Papua, PGI merencanakan mengajukan advokasi kepada presiden agar menggelar dialog nasional tentang masalah Papua.
Henrek Lokra, Kepala Biro Penelitian dan Komunikasi PGI menambahkan pasca Sidang Raya XVI PGI, masalah tentang Papua akan terus diulas dan menuntut kerja sama banyak pihak, terutama pemerintah Joko Widodo dan Jusuf Kalla.
“PGI akan terus mengkaji masalah papua secara mendetail dan komprehensif, oleh karena itu PGI terus mempertahankan Biro Papua sebagai salah satu rekomendasi Sidang Raya sebelumnya,” kata Henrek.
Sebelum SR XVI PGI, Novel Matindas, Kepala Biro Papua PGI menjelaskan tentang masalah papua yang paling utama adalah pelanggaran HAM, dan kesenjangan ekonomi.
Novel, kala itu menjelaskan PGI berusaha menjembatani masalah yang ada di Papua.
“Gereja tidak mendukung separatisme di (Papua), sebaliknya gereja mendukung adanya keadilan bagi orang Papua, nah contohnya ada OPM (Organisasi Papua Merdeka) tidak pernah gereja (PGI) mendukung itu, akan tetapi apabila ada salah satu anggota OPM terluka dan membutuhkan pertolongan maka gereja akan memberi advokasi,” kata Novel.
Novel mengemukakan PGI saat ini akan lebih memberikan advokasi kepada mereka yang tertindas atau korban apabila ada kasus penangkapan pro separatis di Papua.
“Apabila ada anggota separatis yang tertangkap maka gereja akan mendukung pengadilan agar orang tersebut akan diadili seadil-adilnya,” Novel menambahkan.
Pada beberapa SR PGI sebelumnya di Mamasa pada 2009 permasalahan Papua menjadi salah satu pokok bahasan penting, dan tidak hanya mengenai masalah Hak Asasi Manusia tetapi PGI juga menangkap bahwa saat ini ada masalah ekonomi, dan politik yang acapkali dikebiri oleh pemerintah pusat.
Dalam hubungannya dengan separatisme, pihaknya masih mengingatkan lagi tentang Peraturan Pemerintah (PP) No 77 Tahun 2007 tentang lambang daerah saat ini pemerintah harus memperhatikan tentang lambang bintang kejora yang sempat marak dibicarakan, maka negara harus membedakan mana yang merupakan simbol kultural bukannya simbol politik.
Novel memberi contoh selain dalam masalah otonomi khusus yakni pada ekonomi
“Ketidakadilan pada bidang ekonomi dapat dicermati di sektor perdagangan kurang diperhatikan pemerintah pusat,” kata Novel.
Novel menambahkan bahwa masalah pada bidang ekonomi yakni mendapat tempat tersendiri untuk berdagang.
“Dalam bidang ekonomi selama ini perdagangan dikuasai oleh pendatang dan orang papua tersingkir. Sebenarnya untuk orang papua sudah banyak disediakan tempat khusus bagi mereka tetapi tidak permanen mereka minta pasar khusus mereka minta pemberdayaan,” Novel menambahkan.
Salah satu komisioner Komnas Perempuan, Pdt. Sylvana Apituley pernah menegaskan Papua merupakan salah satu tes keesaan Gereja. “Papua adalah penting, karena berbagai marjinalisasi dan keterasingan kehidupan sosial orang papua di tanah sendiri bukan hal yang mengenakkan bagi Kristen di Papua, dan ini merupakan tes keesaan paling sulit bagi gereja,” kata Sylvana.
Sylvana menantang ketua umum PGI membuktikan bahwa banyak masalah harus diselesaikan, tidak hanya pekabaran injil di dua provinsi (Papua Barat dan Papua) yang terletak di paling timur Indonesia tersebut.
PGI mengapresiasi wilayah sekitar dimana SR PGI berlangsung. Trisno mengemukakan PGI menyambut baik Wakil Presiden, Jusuf Kalla yang mendukung tentang pembentukan Provinsi Nias.
Editor : Bayu Probo
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...