Pilihan Warna-warni Tani Rupa dalam “Iridescent”
YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Tiga puluh delapan seniman-perupa yang tergabung dalam kelompok Tani Rupa menggelar pameran presentasi karya. Pameran bertajuk Iridescent yang berlangsung di Galeri RJ Katamsi ISI Yogyakarta dibuka oleh kolektor karya seni Edwin Koamesah, Minggu (21/7) malam.
Ketiga puluh delapan seniman-perupa mewakili lintas generasi. Tercatat Kartika Affandi sebagai seniman paing senior hingga paling muda Aji Purnomo Sidi. Ketiga puluh delapan seniman-perupa tersebut adalah Afif AF, Andi Ramdani, Aji Purnomo Sidi, Andris Susilo, Angga Sukma Permana, Anto Sukanto, Awan Yozeffani, Azmil Umuuri, Bagus Pecut Sumantri, Bambang HR, Beni Riwmanto, Dani Heriyanto, Didik Wahyu Setiawan, Edy Sulistiyono, Hani Santana, I Made Kenak Dwi Adnyana, I Kadek Yudi Astawan, Iqro Ahmad Ibrahim, Joko Apridinoto, Kartika Affandi, Klowor Waldiyono, Laksmi Sitaresmi, M. Lukman, M. Andik, M Ghilmanul Faton, M Wira Purnama, Mahendra Satria Wibawa, Mola, Nasirun, Pande Nyoman Alit Wijaya Suta, Pupuk DP, Ruswanto, Seppa Darsono, Suciati Umanah, Sunardi St, Teguh Hariyanta, Tri Pamuji Wikanta, Yaksa Agus Widodo.
Dalam sambutannya Direktur Galeri RJ Katamsi I Gede Arya Sucitra memberikan apresiasi atas kehadiran alumni baik angkatan maupun lintas angkatan sebagai penanda yang baik ketika kembali ke kampus sebagai rumahnya dengan capaian yang mereka lakukan pasca menjadi sarjana. Ini menjadi cara alumni menunjukkan eksistensi berkesenian dengan segala perjuangannya.
“Menjadi petani itu tidak mudah. Banyak penderitaannya. Lebih enak menjadi petani beton. Membuat cor (pondasi bangunan yang kuat) untuk bangunan lantai dua dijadikan (kamar sewa untuk) kos-kosan hasilnya lebih jelas. Kalau jadi petani, mulai menyiapkan lahan, bibit, merawat dari serangan hama, belum lagi saat panen harganya tidak stabil dan dimainkan tengkulak. Jadi ketika kelompok Tani Rupa menghadirkan sekat/karakter petani di dalam seni rupa ini menjadi menarik. Berkesenian itu tidak gampang, membutuhkan proses,” jelas Arya Sucitra dalam sambutan pembukaan.
Dalam tema Iridescent yang memiliki arti warna-warni, setiap kelompok Tani Rupa diberikan kebebasan memaknai warna dalam tiga pilihan: dirinya sebagai satu warna, dirinya dalam banyak warna, serta dirinya sebagai satu warna yang berubah-ubah. Pilihan tersebut memberikan keleluasaan penerjemahan di dalam ide, pilihan medium, hingga eksekusi karya.
Karya dua-tiga matra dan instalasi dalam berbagai medium penyajian didisplay pada dua lantai Galeri RJ Katamsi. M Wira Purnama dalam dua karyanya berjudul Garis dan Merah dan Garis dan Kuning membaca satu warna dirinya dalam eksplorasi medium potongan benda-benda berbahan plastik serta resin di atas kanvas. Dalam medium tersebut visual warna yang disajikan Wira menjadi sebuah karya dua matra bertekstur.
Dalam karya instalasinya Anto Sukanto mengalihmediakan sketsanya ke dalam karya berjudul New Kalpataru dalam medium campuran kayu, botol bekas, dan lilitan kawat. Sebagai sebuah karya seni, New Kalpataru bisa menjadi penyekat ruangan yang artistik-estetik.
Pada lukisan berjudul Urban, Bambang HR memaknai banyak warna dalam realitas masyarakat perkotaan. Menariknya Bambang menuangkan dalam karya lukisan surealis yang bisa jadi bayangan sebuah masyarakat urban pada suatu masa. Bayangan masa datang?
Meskipun monochrome kerap menampilkan impresi dalam sebuah karya baik dalam visual maupun pemaknaannya, pilihan satu warna yang berubah-ubah lebih memiliki keleluasaan dalam interpretasi ataupun pembacaan realitas. Dalam tiga karya panel berjudul Peranan dengan obyek yang sama Mahendra Satria Wibawa memotret realitas peranan yang berbeda dalam perwajahan tiga kursi kekuasaan.
Pande Nyoman Alit memaknai perubahan warna dalam karya berjudul Beranjak Dewasa dalam sebuah lanskap kota yang terus bertumbuh bangunannya. Apakah sebuah kota yang semakin dewasa ditandai dengan semakin banyaknya bangunan yang semakin menjulang berebut langit ketinggian? Dalam karya Beranjak Dewasa, Nyoman Alit tidak menyertakan satupun obyek manusia.
Dari hal yang sederhana dan berada di sekitarnya, Andi Ramdani menangkap realitas banyak warna dalam karya instalasinya berjudul Local Food memanfaatkan obyek makanan tradisional lokal. Di tengah perubahan jaman yang semakin cepat, hari ini makanan lokal seolah terpinggirkan oleh makanan cepat saji di berbagai gerai makanan. Apakah realitasnya makanan tradisional lokal sudah benar-benar terpinggirkan? Anda bisa membacanya di pasar-pasar tradisional ataupun pedagang makanan di pinggir-pinggir jalanan. Menarik seandainya pembacaan Andi Ramdani dalam mengangkat makanan tradisional sampai pada perkembangan pemasaran kuliner dalam skema aplikasi daring (online) saat ini: think globally eat locally.
Pameran seni rupa dengan tema “Iridescent” dihelat 21-31 Juli 2019 di Galeri RJ Katamsi ISI Yogyakarta.
Bebras PENABUR Challenge : Asah Kemampuan Computational Thin...
Jakarta, satuharapan.com, Dunia yang berkembang begitu cepat memiliki tantangan baru bagi generasi m...