Pilkada dan Keabsahan Pemimpin Non-Muslim
Salah satu isu pokok yang menandai Pilkada DKI 2017 adalah soal keabsahan pemimpin non-Muslim. Bagaimana sesungguhnya memahaminya?
SATUHARAPAN.COM - Pilkada DKI Jakarta 2017 benar-benar menjadi epos tragis bagi agama Islam. Bukan hanya dijadikan alat bagi pelemahan kekuatan lawan politik. Ia juga telah masuk ke wilayah yang paling keramat: penolakan pensholatan jenazah bagi mayat yang beda pilihan politik.
Dalam kaitan ini, umat Islam beserta segenap organisasi kemasyarakatannya semestinya belajar dari visi "Khittah NU 1926". Melalui khittah ini, Nahdlatul Ulama (NU) menegaskan netralitasnya dari politik. Mengapa? Bukan hanya karena NU adalah organisasi sosial keagamaan yang memang seharusnya bergerak di bidang non-politik; akan tetapi lebih dari itu, agama semestinya tidak dibawa ke ranah politik. Meskipun khittah ini sering dilanggar oleh pengurus NU, termasuk dalam momen pilkada kali ini, visi dasar khittah tetaplah murni.
Akan tetapi netralitas agama ini akan langsung ditolak oleh Muslim politik. Gerakan massa yang tergabung dalam aksi "411 & 212" menyiratkan keterlibatan agama di dalam politik. Konon tujuannya untuk menjaga agama dari penistaan dan "si penista agama", hingga kewajiban memilih Muslim sebagai Gubernur DKI. Di putaran pertama pilkada, isu penistaan agama menjadi common issue untuk melemahkan seorang Cagub non-Muslim. Di putaran kedua ini, cukup penekanan pada kewajiban memilih Cagub Muslim, menjadi strategi ampuh bagi pemenangan seorang calon.
Dalam kaitan ini, penulis pikir umat Islam kurang memahami konteks kepemimpinan politik Islam dalam pemilihan Gubernur DKI. Ini yang perlu diluruskan.
Berdasarkan al-Maidah: 51, al-Qur'an memang melarang Muslim memilih non-Muslim sebagai wali. Wali ini bisa diartikan sebagai pemimpin, teman, sekutu atau kekasih. Ayat ini turun dalam konteks perang. Jadi larangan bersekutu dengan non-Muslim tentu jika ia ditujukan untuk memerangi kaum Muslim. Memang pilkada dan segenap pemilihan pemimpin politik juga bisa dianggap sebagai perang. Tapi persoalannya lebih terletak pada konsep kepemimpinan Islam itu sendiri.
Munas Alim Ulama di Cipanas Bogor 1954 memberi keputusan penting terkait kepemimpinan di negeri ini. Menurut para ulama, Presiden Soekarno dan semua presiden RI adalah "pemimpin dalam keadaan darurat yang memiliki kewenangan menegakkan syariah Islam" (waly al-amri al-dlaruri bi al-syaukah). Terdapat penjelasan yang perlu ditekankan di sini.
Pertama, Presiden RI adalah pemimpin darurat (imam al-dlaruri) yang berbeda dengan pemimpin utama (imam al-a'dham) umat Islam. Pemimpin utama merujuk pada khalifah tunggal dalam kekhilafahan global. Misalnya khulafa’ al-rasyidin di masa klasik, atau Khalifah Kekhilafahan Turki Ustmani. Ini adalah pemimpin dunia Islam yang satu, di mana Islam masih memiliki kekuasaan tunggal yang imperial. Setelah runtuhnya Turki Ustmani, imam al-a'dham ini tidak ada lagi. Memang gerakan trans-nasional seperti Hizbut Tahrir ingin menegakkan kembali khilafah global, namun hal ini tinggal mimpi.
Kedua, oleh karena tidak ada lagi pemimpin tunggal dunia Islam yang ideal, maka yang ada ialah pemimpin dalam keadaan darurat. Para pemimpin atau presiden di negeri-negeri Muslim masuk kategori ini. Akan tetapi meskipun darurat, ia tetap memiliki kewenangan menegakkan hukum Islam, karena telah dipilih oleh umat. Maka Presiden RI berhak memilih Menteri Agama yang melaksanakan beberapa hukum Islam yang dilegalkan di Indonesia. Perlu dicatat di sini, hukum Islam yang diterapkan di Indonesia terbatas pada hukum ibadah dan mu’amalah, minus hukum pidana (jinayah). Hanya di Negara Islamlah, hukum jinayah boleh diterapkan.
Ketiga, kepemimpinan modern bersifat kolegial institusional, melalui trias politica: eksekutif, legislatif dan yudikatif. Maka, seorang presiden atau gubernur tidak langsung berkaitan dengan perumusan dan penetapan hukum (UU) karena ini merupakan wilayah legislatif. Kekuasaan eksekutif hanya menjadi pelaksana UU yang ditetapkan oleh parlemen. Oleh karena itu, kekhawatiran kepemimpinan non-Muslim tidak beralasan, karena presiden atau gubernur bukan perumus UU.
Dalam konteks ini, akan muncul pertanyaan: lalu bagaimana hukumnya seorang gubernur non-Muslim? Terdapat beberapa jawaban. Pertama, ranah penerapan hukum Islam berada di level nasional, yakni melalui trias politica pada level nasional. Maka lahirlah Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang menjadi qanun bagi penerapan syariah secara nasional. Pada titik ini, karena presiden telah disahkan sebagai wali al-amri al-dlaruri di atas, maka penerapan syariah menjadi sah secara fikih.
Kedua, adapun gubernur dan segenap kepala daerah, lebih merupakan pembantu presiden secara administratif. Mereka tidak diarahkan sebagai otoritas hukum yang mengesahkan UU, salah satunya hukum Islam, tetapi pelaksana UU demi pembangunan daerah. Memang telah terdapat banyak Peraturan Daerah (Perda) syariah yang dibuat oleh pemerintahan daerah. Namun jika perda tersebut bertentangan dengan konstitusi, ia bisa dibatalkan atas nama hukum.
Dalam kaitan inilah, strategi pasangan Anies Baswedan-Sandi S. Uno yang mengonsolidasikan kekuatan politik Islam formal, perlu dikritisi. Apalagi konon mereka ingin menerapkan hukum jinayah di Jakarta, sebagai bagian dari program “Jakarta bersyariah”. Kita tentu mengetahui, bahwa misi para pendukungnya, semisal Front Pembela Islam (FPI) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ialah islamisasi negara. FPI memiliki misi “NKRI Bersyariah”. Sedangkan PKS sebagai partai Ikhwanul Muslimin Tarbiyah di Indonesia, tentu ingin mengislamkan NKRI secara evolusioner. Niatan politik ini bisa mengkhianati gentlement agreement para pendiri bangsa yang telah menetapkan Indonesia sebagai, bukan negara agama, meskipun bukan negara sekular.
Parameter Pancasila
Dengan demikian, penulis artikel ini sepakat dengan hasil Bahstul Masail Kiai Muda NU yang diadakan oleh Gerakan Pemuda Ansor NU pada 11 Maret 2017. Hasil bahstul masail tersebut mengabsahkan kepemimpinan non-Muslim dalam kepemimpinan politik di Indonesia. Alasannya, NKRI merupakan negara-bangsa berbasis konstitusi modern. Di dalam konstitusi tersebut, setiap warga negara berhak menjadi pemimpin negara, baik di level nasional maupun daerah, selama ia diinginkan oleh rakyat. Bangunan kebangsaan Indonesia tidak memperbolehkan “syarat-keagamaan” sebagai prasyarat kepemimpinan politik, karena Indonesia bukan negara agama.
Penggunaan identitas agama di dalam pertarungan politik jelas-jelas bertentangan dengan Pancasila, yang sejak awal meletakkan nilai ketuhanan yang bersifat umum, sebagai sila pertama. Artinya, paska dihapusnya kalimat “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya” di sila ketuhanan, pada 18 Agustus 1945; maka ketuhanan di negeri ini tidak dimonopoli oleh umat Islam. Artinya, negara juga tidak dimonopoli olehnya, melainkan dimiliki oleh semua umat beragama. Pada saat bersamaan, nilai ketuhanan yang bersifat umum dalam Pancasila menyiratkan ketiadaan hak istimewa bagi umat agama tertentu, untuk memonopoli negeri ini, termasuk untuk menjadi presiden atau gubernur. Satu-satunya parameter dalam pemilihan pemimpin ialah, apakah ia lolos ujian demokrasi, sehingga dipilih oleh mayoritas rakyat, atau tidak.
Sudah saatnya Pilkada DKI 2017 menghindari isu SARA, sebab ia akan mengantarkan republik ini ke titik balik, di mana justru para pendiri bangsa telah melampauinya. Sudah saatnya pula, pasangan Cagub-Cawagub Muslim, menghindarkan diri dari politisasi identitas, karena ia akan merusak tatanan kemajemukan yang telah apik dijaga oleh dialog antar-agama yang dijalin oleh masyarakat sipil. Jika tidak, Pilkada DKI tahun ini akan menjadi titik balik bagi Indonesia, dari negeri Muslim demokratis, menjadi negeri Muslim sektarian!
Penulis adalah Direktur Institut Pancasila dan Kewarganegaraan
Editor : Trisno S Sutanto
Prasasti Batu Tertua Bertuliskan Sepuluh Perintah Tuhan Terj...
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Prasasti batu tertua yang diketahui yang bertuliskan Sepuluh Perintah Tuha...