Pilpres Mendatang, Sebaiknya KPU Gunakan E-Voting
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Direktur Eksekutif Indo Barometer, M. Qudori mengatakan sudah saatnya Komisi Pemilihan Umum (KPU) memikirkan untuk menggunakan e-voting untuk pemilu berikutnya, sebagaimana ia sampaikan dalam acara diskusi publik yang diselenggarakan Emrus Corner bertema Mengawal Suara Rakyat Pilpres 2014 dari Kecurangan, di Restoran Horapa, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (17/7).
“Dulu di 2004, KPU pernah bicara soal e-voting, tapi saya heran di 2014 ini KPU tidak pernah bicara sama sekali. Memang dulu tidak bisa dilakukan karena regulasinya belum ada. Tetapi pada pemilu 2009 menggunakan contreng, sekarang diubah lagi undang-undangnya menjadi coblos, maka e-voting ini bisa saja dibuat undang-undangnya, kalaupun KPU mau,” ucap Qudori.
E-voting mengacu ke negara Amerika Serikat dan India yang sudah menerapkan lebih dulu. Kalau berbicara India, ada kemiripannya dengan Indonesia, di mana masyarakatnya masih banyak yang tradisional, bahkan warga buta huruf mungkin jauh lebih tinggi di India daripada Indonesia, dan secara geografis, India juga relatif luas.
“Kalau di India bisa diterapkan, kenapa di Indonesia tidak bisa?” ujarnya.
Kendati demikian menurut Qudori, e-voting ini hanya ide awal saja, bahkan belum banyak dibicarakan secara serius. Persoalannya sendiri sebenarnya bukan di teknis, tetapi lebih ke psikologis masyarakat Indonesia.
Qudori mengumpamakan misalnya anggota DPR mau bikin e-voting terkait hak budget atau hak angket saja ragu-ragu.
“Kalau tidak salah, sudah pernah disediakan alat e-voting, tetapi akhirnya tidak dipakai karena mereka (anggota DPR, Red) curiga disabotase,” tutur dia.
Oleh sebab itu, untuk membangun kepercayaan masyarakat terhadap e-voting, alangkah baiknya e-voting diberlakukan di DPR dulu sebelum hendak digunakan di Pilpres.
Mengenai teknis e-voting, masyarakat tetap datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS), tetapi tidak lagi mencoblos, melainkan menggunakan mesin yang mirip ATM, kemudian memilih capres di layar sentuh atau menekan tombol. Panitia sebelumnya juga telah mendata Daftar Pemilih Tetap (DPT). Sistem tersebut bisa langsung terkoneksi ke pusat (KPU, Red), maka tidak perlu lagi quick count.
Pada esensinya quick count berfungsi untuk mengontrol pemilu, dan tetap bisa digunakan pada e-voting untuk membandingkan hasil elektronik. Tetapi jika e-voting dilakukan, bisa jadi hasil rekapitulasi KPU lebih cepat daripada quick count. Perumpamaannya seperti mengirim uang via ATM, hanya beberapa menit sudah sampai.
Kalau e-voting dilakukan, maka bisa meminimalisir proses rekapitulasi bertahap seperti saat ini, di mana membutuhkan banyak orang, lama prosesnya, serta ada saja pihak yang melakukan kecurangan. Kalau e-voting diterapkan tentu tidak membutuhkan banyak orang.
Kelemahan sistem e-voting adalah, adanya kemungkinan manipulasi dalam proses IT (informasi teknologi). Tetapi yang perlu kita pertimbangkan, zaman dahulu orang sedikit yang percaya pada ATM untuk transaksi keuangan, bandingkan dengan zaman sekarang di mana hampir semua orang bertransaksi keuangan bahkan sampai miliaran rupiah lewat ATM. Maka sebetulnya ini hanya persoalan psikologis masyarakat.
Tantangan selanjutnya tinggal bagaimana menyediakan anggaran dan mesin e-voting itu sendiri, terutama untuk daerah yang belum masuk listrik maupun pelosok desa. Semua hal ini adalah sesuatu hal yang bisa dicari solusinya, misalnya e-voting dicoba di beberapa wilayah dulu seperti di kota-kota besar, dan daerah lainnya menyusul.
“Yang pasti sistem e-voting ini persiapannya akan sangat lama, kalaupun pembahasannya sekarang, belum tentu Pilpres 2019 mendatang sudah bisa digunakan. Maka, wacananya harus dimulai sesegera mungkin dari sekarang,” tandas Qudori.
Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...