Pilu di Balik ‘Menghitamnya’ Tanah Abang
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – “Habis semua. Barang-barang, uang, rumah saya tak ada yang tersisa. Paling saya pulang kampung ke Jawa. Di sini tak ada yang diharapkan lagi.”
Sambil menyeduh teh dalam gelas plastik, remaja berusia 16 tahun bernama Setu yang sehari-harinya bekerja sebagai pedagang martabak itu berbagi kepiluannya kepada satuharapan.com.
Langit sore di Jalan Jati Bunder, Kebon Melati, Tanah Abang, Jakarta Pusat Kamis (5/4) lalu nampak memerah. Bukan karena temaramnya senja, memerahnya langit Tanah Abang kala itu disebabkan oleh api yang membara, yang sontak menghenyakkan warga dengan bencana yang lagi-lagi melanda Jakarta. Diduga bermula dari korsleting, kobaran api merambat cepat dan menghangsukan tempat tinggal sekitar 600 kepala keluarga di perkampungan berpenghuni padat itu.
Dari kejauhan, bangunan-bangunan terlalap api nampak menghitam. Hanya terlihat tembok-tembok penyangga bangunan yang masih berdiri, namun tak utuh.
Tak hanya kehilangan tempat tinggal, harta benda, dan hal-hal material lainnya, korban sebanyak 1.800 jiwa dari sembilan rukun tetangga (RT) itu masih harus menghadapi getir psikologis pascakebakaran. Trauma seolah-olah menjadi bagian yang wajib diterima oleh para terdampak.
Belum lagi, kehidupan mereka beberapa waktu ke depan yang harus bergantung pada saluran bantuan.
“Daerah situ gampang kebakaran. Saya waktu itu tinggal di daerah itu 10 tahun, lima kali mengalami kebakaran. Kerugian setiap kebakaran ya pasti harta benda. Di situ juga banjir melulu. Banjir dan kebakaran sering terjadi,” seorang warga berujar, terdengar tengah menyuarakan ‘kelelahannya’.
“Ada 200 anak SD, 150 SMP, 50 SMA, 240 Lansia, 70 Lansia dari 9 RT dan 2 RW total 1.800 jiwa,” seorang lainnya terdengar tengah mendata jumlah keseluruhan korban kebakaran di salah satu titik pengungsian. Pendata tersebut bernama Farhah Umar, istri dari Ketua RW 12.
Korban-korban kebakaran itu kini memang tengah menempati lokasi-lokasi pengungsian yang terbagi menjadi tiga titik yang telah disediakan pemerintah daerah setempat.
Lapangan futsal dan kantor RW yang tergabung dalam satu kompleks merupakan salah satu lokasi strategis yang ditetapkan sebagai salah satu pos pengungsian. Pos ini secara kebetulan berbatasan langsung dengan pasar tradisional.
Tak bisa ditampik, pemandangan aktivitas pedagang dan pengunjung pasar yang lalu-lalang, aroma tak sedap dari sayur-sayur busuk, serta bisingnya kendaraan yang keluar-masuk menjadi kewajaran yang harus diterima pengungsi.
Berteduh di bawah terpal biru yang dibetangkan sepanjang lebih dari 10 meter, para pengungsi ini seakan cukup nyaman berada di ‘rumah kedua’, meski harus berbagi tempat satu dan lainnya. Anak-anak bermain, ibu-ibu menyapu, bapak-bapak memilih pakaian bekas adalah bagian kecil dari aktivitas besar yang terpusat di balik tenda darurat itu.
Hingga saat ini, bantuan terus mengalir dari berbagai dari perusahaan, suku dinas, dan personal.
“Bantuan kebanyakan baju bekas dan mie. Sebenarnya yang paling dibutuhkan pakaian sekolah, perlengkapan sekolah, handuk, selimut. Selain itu, pempers, celana dalam juga sangat dibutuhkan. Kalau baju bekas sudah banyak sekali,” ujar Farhah yang saat itu juga tengah mendata barang-barang yang dibutuhkan pengungsi.
Tak ingin terlampau lama memandang peristiwa sebagai bencana, Farhah dan pengungsi lainnya optimistis kehidupan ke depan setelah pelajaran berharga ini akan lebih baik.
Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja
KPK Geledah Kantor OJK Terkait Kasus CSR BI
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggeledah kantor Otoritas J...