Pinawetengan, Kain Demokrasi Ala Sulawesi Utara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Nama kain pinawetengan mungkin masih asing di telinga masyarakat Indonesia. Ya, kain ini memang pertama kali dirintis pada tahun 2007 melalui tangan-tangan perajin masyarakat lokal desa Tompasu, Sulawesi Utara.
Corak kain pinawetengan diambil dari guratan gambar yang ada di Watu Pinawetengan yang ditemukan dan digali pada akhir Juni 1888 oleh penduduk Desa Kanonang. Saat ditemukan, guratan gambar tersebut berusia sekitar 1200 tahun atau tepatnya pada abadi ke-7. Kemudian, penduduk Desa Kanonang melakukan upacara adat pertama di Batu Pinawetengan secara resmi pada tanggal 7 Juli 1888.
Ketua Yayasan Institut Seni Budaya Sulawesi Utara, Benny Mamoto mengatakan keunggulan kain pinawetengan ini ada di motif dan desain. Ada empat motif yang terinspirasi dari Batu Pinawetengan.
Pertama, Karema, Lumimuut, Toar. Tiga gambar manusia ini ada di sebelah barat batu bagian bawah. Dewi Karema, Lumimuut dan Dewa Toar memakai jubah atau penutup badan dari dedaunan karena 1000 tahun sebelum masehi, masa glasial belum berakhir dan cuaca lebih dingin dari sekarang ini.
Kedua, Toar dan Lumimuut. Gambar dua manusia yaitu Toar (kiri) dan Lumimuut (kanan) ditemukan di sebelah barat batu bagian samping sangat mirip dengan bentuk gambar manusia di gua alam Angano-Filipina Selatan yang berasal dari masa 3000 tahun yang lalu.
Ketiga, Gambar Lingkan Wene. Motif ini berbentuk perempuan sebagai dewi kesuburan yang merupakan tahap kelanjutan dari Dewi Bumi (Lumimuut).
Keempat, gambar Dewa Toar saat masih bayi, gambar ikan yang menunjukan musim tertentu atau pembagian wilayah penangkapan ikan di sungai, danau atau laut dan gambar pintu masuk memasuki lokasi negeri tempat pemukiman.
Benny menjelaskan ketika timnya mencoba mencari sumber asli motif tersebut, mereka menemukan situs. Digambarkan dalam situs tersebut ternyata masyarakat Minahasa mengenal sistem berdemokrasi.
“Ketika mereka menemukan konflik, mereka duduk bersama di situs tersebut dan berdiskusi. Meski ada perbedaan tapi tetap satu. Mina, esa. Itulah awal kata dari Minahasa,” kata dia di Restoran Merahdelima, Jakarta Selatan, dalam acara Fashion Show Kain Pinawetengan, hari Senin (21/11).
Dari beberapa kain tenun yang diperagakan, warna emas mendominasi koleksi kain pinawetengan yang kemudian dipadupadankan dengan warna penunjang lainnya seperti merah maroon, ungu, hijau, shocking pink dan oranye.
Menurut Benny, tidak ada yang khusus dalam pemilihan warna. Warna dan motif tergantung dari permintaan konsumen atau pasar. Pemilihan warna emas karena dinilai menambah nilai jual dari tenun itu sendiri sehingga terkesan lebih elegan.
Saat ini, sudah ada 20 perajin yang memproduksi kain pinawetengan di Desa Tompasu. Dalam satu hari, mereka dapat membuat satu lembar kain tenun. Selain kain tenun, mereka juga memproduksi kain ikat. Satu helai kain tenun dibanderol dengan harga Rp 2,8 juta. Sedangkan kain ikat harganya lebih murah yaitu sekitar Rp 400.000.
Benny mengatakan dengan memberdayakan perajin lokal yang didominasi oleh kaum perempuan, juga sebagai wujud upaya meningkatkan kesejahteraan mereka yang rata-rata memiliki penghasilan dari bercocok tanam maupun melaut.
“Jika ibu-ibu nelayan itu tidak dapat melaut atau gagal panen, otomatis kan mereka tidak mendapatkan penghasilan. Nah, dengan cara kami memberdayakan mereka, ini bisa jadi salah satu cara meningkatkan taraf hidup mereka. Saya berharap kelompok-kelompok kecil penenun lokal ini terus bertumbuh dan berkembang.”
Editor : Diah Anggraeni Retnaningrum
Gereja-gereja di Ukraina: Perdamaian Dapat Dibangun Hanya At...
WARSAWA, SATUHARAPAN.COM-Pada Konsultasi Eropa tentang perdamaian yang adil di Warsawa, para ahli da...